Lihat ke Halaman Asli

Subsidi BBM; Polemik dan Realita Indonesia

Diperbarui: 17 Juni 2015   16:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dewasa ini perubahan alokasi anggaran untuk subsidi BBM selalu berubah-ubah, sudah 15 kali pemerintah menaikkan harga BBM dan sudah yang kesekian kalinya pula masyarakat Indonesia dipaksa untuk menyesuaikan dengan apa yang diinginkan pemerintah, entah itu alasannya karena harga minyak dunia sedang naik, atau malah harga dunia sedang turun-pun pemerintah tetap menaikkan harga BBM dengan janji-janji seperti meningkatkan infrastruktur lain serta tambahan anggaran untuk bidang lain dalam APBN. Kalau diingat-ingat tentu apa yang Jokowi katakan sama seperti yang SBY katakan 2013 lalu. Pertama, Harga BBM naik untuk peningkatan infrastruktur dan kegiatan lain yang lebih produktif. Kedua, diberinya BLT yang berubah menjadi BLSM dan saat ini berubah menjadi kartu keluarga yang tercatat miskin untuk diberikan kompensasi bulanan sebesar Rp. 200.000,- lebih besar Rp. 50.000,- dari zamannya SBY. Dan ketiga, pemerintah tidak bisa menekan naiknya harga-harga kebutuhan pokok yang lain. Pada akhirnya kebijakan SBY menambah 500.000 masyarakat miskin di Indonesia di tahun berikutnya. Bagaimana Jokowi?.

“Masyarakat Indonesia memiliki kebiasaan Pemaaf, Pelupa, dan Penerima”, ujar Dr. Iman Sugema sebagai pakar ekonomi. Kebiasaan ini membuat masyarakat lupa bahwa terdapat pola yang sama yang dilakukan oleh Jokowi seperti yang pernah dilakukan oleh SBY, masalahnya adalah kelupaan itu tidak dibarengi pengawalan yang ketat dan bahkan mahasiswa-pun kebanyakan lupa akan pola yang sama ini sehingga pengawalan relokasi anggaran subsidi BBM yang dikurangi itu masuknya ke “kantong” siapa; APBN atau mafia migas tidak menjadi masalah saat ini meskipun polanya sama.

Akan tetapi di sisi lain Bank Indonesia, Kadin, bahkan ABKASI (Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia) sekalipun menyatakan sebaiknya memang subsidi BBM itu dihapuskan. Prof. Emil Salim hari minggu lalu menulis soal keuntungan mafia migas sekitar 43 Milyar perhari dan di koreksi oleh Dr. Iman Sugema bahwa sebenarnya mafia migas itu sekitar 50 milyar perhari mendapatkan keuntungan dari uang negara. Memang ada ketidaksesuaian capaian dari subsidi BBM yang dilakukan pemerintah sehingga tidak mencapai sasaran. Bahkan bisa dimanfaatkan oleh para mafia yang berkeliaran di tataran elit nasional. Sehingga pencabutan subsidi BBM itu dirasa perlu menimbang sudah sangat banyak merugikan negara. Itu pendapat yang didesak oleh Korea Selatan kepada Indonesia dalam pertemuan G-20 beberapa tahun lalu. Karena Subsidi BBM hanya merugikan negara.

Sebenarnya saya kurang sepakat jika subsidi begitu saja dihapuskan, bukan hanya karena pemahaman pasar bebas yang dicita-citakan liberalisme saja, tapi karena realitasnya masyarakat Indonesia sangat berkeberatan akan hal itu. Dinaikkan Rp. 2000,- saja sudah melakukan demonstrasi dimana-mana bahkan nelayan sekitar 40% sudah tidak bisa melaut lagi karena tidak mampu membeli BBM. Jadi upaya yang bisa dilakukan sebenarnya bagaimana agar subsidi BBM ini tepat sasaran. Misalnya subsidi diberlakukan untuk angkutan umum, agar harga transportasi tidak ikut naik. Lalu subsidi dilakukan untuk truk-truk pengangkut barang agar harga-harga barang yang diangkut tidak ikut-ikutan naik juga, atau bahkan dewasa ini motor seharusnya terkena subsidi juga karena orang termiskin di sebuah kampung sekalipun saat ini bisa memiliki motor sehingga subsidi tidak berlaku bagi pengendara mobil saja karena faktanya sekitar 49% konsumsi BBM justru dipakai oleh mobil.

Sebenarnya Jokowi tidak perlu memandang sumber energi itu hanya BBM saja, banyak energi alternatif lain dan bahkan fungsi uranium yang melimpah di negara kita juga tidak dimanfaatkan. Kalau logikanya untuk menaikkan infrastruktur di bidang lain, mengapa tidak menaikkan pajak motor saja?, atau menaikkan pajak-pajak yang lain?, apakah karena perpajakan kita pernah “dinodai” korupsi sehingga hal ini tidak efektif?, sama saja apa yang saya fikirkan bahwa skeptisisme mahasiswa terhadap pemerintah Indonesia dari sisi anggaran selalu bernuansa korupsi sehingga kebijakan BBM ini yang jelas-jelas menyangkut anggaran dan hajat orang tak mampu yang sangat banyak lalu kemudian negara membuat kebijakan sepihak dengan dalih “lagu lama” yang pernah didengungkan tentu tidak menjadi rasional.

Masyarakat tidak tahu soal pola yang sama, wajar mereka lupa. Akan tetapi mahasiswa seharusnya tidak lupa akan pola yang sama ini, sehingga titik isu yang dinaikkan tidak hanya terpusat pada penolakan kenaikan BBM saja melainkan pengawalan dan kesepakatan bersama bahwa janji Jokowi akan direalisasikan, serta apa upaya pemerintah dalam meng-counter harga-harga pokok yang akan naik juga. Maka kebermanfaatan itu jelas akan terasa jika kompherensif dalam menaikkan bargaining dengan pemerintah.

Terlepas dari berbagai macam polemik yang terjadi akhir-akhir ini, beginilah realitas masyarakat Indonesia akan ke-acuhannya terhadap kebijakan pemerintah karena merasa mampu, atau bahkan ke-riuhannya karena merasa memberatkan, dari keduanya kita bisa melihat siapa yang peduli dan tidak peduli.

Andi Muhammad Nurdin

IP FISIP UNPAD




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline