Bila Uang Membutakan Mata, Hak Ibu Lansia Dirampas
Perjalanan saya hari ini bersama anggota tim dikatakan cukup melelahkan karena mengikuti suatu perjalanan mengunjungi beberapa tempat tinggal di kota Ambon. Kota Ambon terkenal dengan keindahan lautnya, selain itu juga daerah yang berbukit sehingga banyak rumah berada di lereng maupun di atas bukit. Dan untuk mencapai tempat-tempat itu, bagi mereka yang belum terbiasa mendaki bukit, lebih memilih datang pada pagi atau sore hari agar lebih santai dan tidak cepat lelah. Hari ini kami mendaki gunung dalam cuaca yang panas matahari yang terasa membakar kulit tubuh kami.
Tentu saja, di mana pun kita berada, kita pasti akan menjumpai masyarakat dengan status dan latar belakang sosial yang berbeda-beda. Bagi masyarakat yang mampu, membangun rumah di atas gunung membutuhkan biaya yang mahal, tetapi mereka akan menikmati keindahan tersendiri. Bagi masyarakat miskin, membangun rumah kecil yang tidak layak dihuni, menempel di lereng gunung yang rawan longsor, sudah membuat hati bersyukur. Itulah warna-warni kehidupan sebagian masyarakat di kota Ambon.
Beberapa waktu lalu, pada tanggal 17 November 2023, saya menulis artikel di Kompasiana dengan judul "Mata: Lebih dari Indra Penglihatan, Sebuah Perjalanan Inovasi dan Kebaikan," menyoroti bagaimana upaya banyak orang merawat mata jasmani mereka, sekalipun dengan biaya yang sangat mahal. Namun, tidak selamanya mereka memiliki mata batin yang peka atau punya hati yang empati terhadap sesamanya yang hidup miskin seperti: janda duda, dan mereka yang terlantar di setiap persimpangan jalan yang selalu mengais rejeki disudut-sudt kota. Mereka yang mengumpulkan sisa-sisa makan yang terbuang dibak -bak sampah demi memenuhi perut mereka.
Pemerintah Indonesia telah melakukan banyak hal untuk mengatasi kemiskinan, yang dituangkan dalam tiga program langsung diserahkan kepada penduduk miskin, yaitu penyediaan kebutuhan pokok, pengembangan sistem jaminan sosial, dan pengembangan budaya usaha (https://djph.kemenkeu.go.id). Dikutip dari Kementerian Sosial Republik Indonesia tentang program Keluarga Harapan (PKH) kepada keluarga sebagai upaya penurunan kemiskinan.
Hari ini, dalam perjalanan yang cukup melelahkan, saya menemukan sebuah realita yang menggoncangkan jiwa tentang bagaimana kisah seorang lansia miskin yang diambil haknya sebagai penerima uang PKH dari pemerintah selama delapan bulan.ini baru salah satunya, sudah tentu masih ada banyak yang punya nashi serupa. Lansi aini hnaya menghuni sebuah gubuk kecil dan kurang diperhatikan oleh keluarganya, hidup bergantung pada uluran tangan para tetangga demi mempertahankan hidupnya. Ia termasuk lansia yang terdaftar untuk menerima uang PKH sebagai hak seorang warga negara Indonesia.
Dengan sedihnya, ia mengisahkan kronologi dari tragedi yang dialaminya. Penanggung jawab yang membantu mengurus hak ibu lansia ini ternyata sudah dimanipulasi secara licik dan mendatangkan kerugian baginya. Sudah berjalan delapan bulan, ia tidak lagi menerima seperser pun dari uang PKH. Akibatnya, ibu lansia terus menghuni gubuk kecil yang tidak layak huni. Begitulah akibatnya jika masih ada banyak orang yang buta mata hati dan tidak lagi peduli dengan sesama manusia.
Untuk mendapatkan kembali haknya sebagai penerima uang PKH, lansia miskin ini harus melibatkan jasa pengacara yang bisa membantunya. Meskipun ia tidak mampu membayar jasa pengacara ini, ia tetap berusaha agar ketidakadilan dapat diatasi dan tidak menyusahkan masyarakat miskin lainnya.
Dari peristiwa ini, kita dapat menyaksikan bahwa buta mata batin menyebabkan seseorang menghalalkan berbagai cara untuk memperkaya diri sendiri tanpa rasa bersalah. Uang dapat membutakan mata dan tidak lagi melihat penderitaan orang lain termasuk para lansia yang punya hak. Inilah sedikit kisah perjalanan dan perjumpaan dengan mereka yang layak ditolog namun diabaikan dan ditindas demi kepuasan pribadi. Semoga bermanfaat