Lihat ke Halaman Asli

Street Art dalam Jerat Pemilik Modal

Diperbarui: 26 Juni 2015   07:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika ia (seni), memasuki sebuah ruangan, dia bukan lagi milik orang banyak dan dia tidak lagi dapat dinikmati tanpa memaksa sang penikmat untuk berpakaian bagus dan harus berperilaku seperti makhluk-makhluk paling berbudaya hanya sekedar untuk bisa menikmatinya.

Seni dan kesenian harusnya bisa dinikmati semua lapisan masyarakat. Karena seni sebagian besar muncul dan berkembang dari tradisi dan kebiasaan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Begitupun street art atau yang lebih di kenal dengan graffiti. Dalam sejarahnya, street art tidak memiliki tujuan untuk mendapatkan keuntungan secara materi karena street art adalah media untuk menggambarkan keresahan hati atas kondisi sosial yang carut marut, sebuah simbol perlawanan kelas.

Awal kemunculannya, Street art selalu di identikkan dengan coretan tembokdi jalanan oleh tangan-tangan usil yang membutuhkan eksistensi. Sebagian besar masyarakat masih beranggapan bahwa seni jalanan ini sebagai corat-coret tanpa makna. Mengotori dan memperburuk ruang-ruang publik. Namun dibalik itu, ada makna besar yang sebetulnya ingin di sampaikan para pelaku coretan itu.

Seni jalanan memiliki esensi sungguh mulia. Street art berangkat dari sebuah gagasan akan perlawanan atas dominasi penguasa terhadap yang dikuasai, atas mayoritas terhadap minoritas dan atas kapitalisme yang telah memasung seni itu sendiri dalam ruang-ruang privat, yang menjadikan seni hanya milik sebagian orang. Bagaimana tidak, seni saat ini hanya tersudut pada ruang-ruang formal seperti museum dan galeri saja.

Dan tak bisa dipungkiri, hal ini juga telah menjangkiti seni jalanan, di mana street art sudah mulai di bawa ke ruang formal. Para pemilik modal dengan liciknya telah mereduksi karya jalanan hanya untuk meraih pundi-pundi uang dengan cara memindahkan karya seniman jalanan ke galeri untuk di pamerkan dan kemudian di jual seperti yang pernah di lakukan di Jakarta beberapa waktu lalu.

Bagaimana mungkin street art memasuki ruang publik? Itu kenyataan yang tak bisa di hindari. Para pemilik modal dengan berbagai cara telah mampu melakukan hali itu. Mereka telah merobohkan tembok-tembok jalanan yang penuh dengan karya-karya tulus sang seniman jalanan dan kemudian memindahkannya pada galeri-galeri yang menawarkan materi yang mungkin tak terhitung jumlahnya. Sesuatu yang awalnya dianggap kotor dan tak bermakna mampu di kemas menjadi barang yang laku di jual. Betapa hebatnya kapitalisme mengambil alih elemen-elemen perlawanan yang kemudian di jadikan produk mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline