Lihat ke Halaman Asli

Belas Kasih di Pinggiran Kehidupan

Diperbarui: 13 Juli 2021   09:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

BELAS KASIH DI PINGGIRAN KEHIDUPAN

Kita pasti sudah menyatu-akrab dengan istilah'belakasih'. Artinya, istilah ini sudah sangat sering kita dengar; dalam pembicaraan harian, dalam renungan-renungan/kotbah, dalam buku-buku rohani, juga sering kita sebut dalam berbagai kesempatan, dll. Artinya belaskasih adalah terminologi yang tidak asing untuk kita.

Selanjutnya kita juga tidak asing dengan Konsep "pinggiran kehidupan". Terminologi pinggiran kehidupan berbeda dengan orang pinggiran yang biasa diartikan sebagai orang-orang kecil. Pinggiran kehidupan adalah sebuah ungkapan untuk menggambarkan sebuah situasi khusus dimana orang berada pada keadaan 'diluar yg normal, diluar yang ideal: entah karena cacat cela dan dosa, nama buruk dalam komunitas kehidupan serta situasi dimana orang tak berdaya secara fisik entah karena sakit maupun karena usia".

bertolak dari konsep di atas, maka sebagai manusa kita menyadari bahwa kita adalah orang-orang yang sedang berada di pinggiran kehidupan. Paus Fransiskus, setelah dipilih menjadi Paus, diwawancarai oleh pater Antonio Spadaro SJ, dengan pertanyaan awal: siapakah anda sesungguhnya? Jawaban paus singkat: saya pendosa yang dipandang Tuhan. Jawaban ini menunjukn keyakinan dasar sekaligus kerendahan hati seorg paus Fransiskus bahwa kita dipanggil dan dipilih oleh Allah hanya melulu karena belaskasihan-Nya.

Kelompok 'pinggiran kehidupan' inilah yg biasanya menjadi sasaran tindakan belaskasih. Wujud tindakan belaskasih biasanya/umumnya masih seputaran hal-hal yg terkait dengan 'pemenuhan kebutuhan 'jasmani'. (makan-minum, pakaian, pengobatan, perawatan, dll). Tentu ini hal yg mulia. Tetapi Belaskasih tidak berhenti pada urusan penderitaan lahiriah (misalnya: menderita karena sakit, karena miskin, karena cacat, karena yatim piatu, karena usia tua). Melainkan sampai kepada 'hal yang rohani dan batiniah".

orang-orang yang berada di pinggiran kehidupan adalah mereka yang 'tidak hanya menderita secara fisik" tetapi jauh dari itu adalah 'mereka yang menderita secara batiniah'. Mereka tidak hanya menderita karena keterbatasan fisik, tetapi bisa saja menderita batin karena selalu bertanya: mengapa ia diciptakan demikian. 

Mengpa fisik saya tidak selengkap dan segagah yg lain, apakah Tuhan menghukum saya? Apakah saya masih bernilai di mata sesama, dan beragam pergulatan batin lainnya. 

Begitu juga dengan yang lanjut usia, yang purna bakti, yang memasuki usia sepuh. Mereka tidak hanya secara fisik melemah, tetapi juga bisa saja mengalami guncangan psikologis-sosial: perasaaan tidak berdaya dan tidak 'bermanfaat/bernilai' lagi bagi sesama. Perasaan dijauhkan dari sesame. Situasi demikian membutuhkn kehadiran kita yang penuh belaskasih.

Maka, Memberi makan kepada yang 'kecil dan menderita' adalah mulia. Tetapi jauh lebh mulia jika kita juga berhasil 'mengenyangkan rasa lapar batiniah: perhatian, kasih sayang, peduli. Orang sakit akan bahagia jika diobati tetapi akan jauh lebih bahagia jika ia menemukan seorang sahabat yg mampu mengobatinya dgn senyuman pengharapan, dgn tatapan mata penuh kasih, dgn sapaan penuh persaudaraan. Dengan demikian mungkin fisik masih menunggu proses penyembuhan tetapi batinnya terlebih dahulu sembuh. 

Selain itu, kita juga memperhatikn kebutuhan rohani: perminyakan, komuni orang sakit, doa, dll). Belaskasih juga mesti kita arahkan kepada para saudara/i yang 'cacat sosial-dan moral'. 

Caranya? Merangkum kembali, menerima bukan menjauhi, mendengrkan bukan menghakimi. Dgn cara ini: kita menguatkn hati mereka bhw mereka masih berharga di mata Tuhan dan sesama. K

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline