Lihat ke Halaman Asli

Dua Puluh Tahun yang Tidak Sia-sia

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Hidup di dunia ini penuh dengan lika-liku kehidupan. Kadangkala, lika-liku yang kita jalanin terasa penuh dengan ke-tragisan. Satu tahun umur kita bertambah, seolah seratus  masalah sudah menunggu untuk menerpa diri kita yang akan membuat diri kita ironisnya seperti kapal karam yang sudah beratusan abad di lautan. Di dalam kisah ini, penulis ingin mengambarkan perjalanan seorang wanita yang berjibaku dalam menghadapi kehidupannya dengan cara selalu tegar dan bersyukur. Dia menutup hidupnya pada usia Dua Puluh Tahun, tapi s’mua hal yang dilakukannya tidak pernah sia-sia.

Lembaran Terakhir

Masalah demi masalah tak pernah kita bayangkan datang silih berganti, hanya dengan bersyukur kita dapat merasakan masalah dengan sukacita.

 

S

aya, selang dua hari lag berumur genap dua puluh tahun. Alangkah senangnya bagi orang-orang bahwa umur mereka bertambah pasti ada sukacita : “Traktir teman, saudara dll atau mengadakan perayaan kecil-kecilan. Tapi itu tak berlaku pada diriku, karena dua hari lagi aku tidak ada lagi di dunia yang indah ini. Kira-kira dua bulan yang lalu :

Kata dokterku yang merawat, kepada orangtua saya “ Maafkan saya!!” dengan muka yang pucat. “ Ada apa dok, apa yang terjadi dengan anak saya “Helena Josephine”??”. Maaf bapak-ibu!! team dokter sudah melakukan segala hal yang terbaik, tapi dari atas tidak mengizinkan, kita hanya bisa berharap dan berdoa untuk waktu yang tersisa sekitar dua bulan untuk anak ibu. Kedua orang-tuaku menangis dengan sangat keras dan ayahku berkata. “ Tuhan maafkan kesalahan kami kedua orang-tuanya karena kami menyiakan-nyiakan pemberian-Mu ini, seharusnya kami yang pergi bukan anak kami “(Suara Isak Tangis kedua orang-tua saya).

Sekitar kurang lebih dua minggu, saya berada di rumah sakit. Saya mengikuti perawatan intensif di rumah sakit atau disebut Kemoterapi kalau tidak salah sebutannya seperti itu. Saya di rumah sakit dikarenakan terkena penyakit kanker otak stadium dua, sejak saya ber-usia 17 tahun. Sekarang, saya tidak mempunyai rambut (Sembari ketawa geli dan menangis) seperti tentara saja rambut saya.

Setelah dua minggu berlalu, saya akhirnya dapat pulang dengan membawa badan kelihatan lansing, tidak seperti dulu “T-A-M-B-U-N” dan tidak ada rambut, tidak seperti dulu panjang seperti “K-U-N-T-I-L A-N-A-K” dan dengan kursi roda tidak seperti dulu berjalan dengan K-A-K-I.

Tepatnya setelah 5 hari kepulangan-ku, orang-tuaku tidak ada di rumah seperti biasa mereka mencari uang untuk membiayai aku di rumah sakit dan mencari dokter yang bisa mengobati aku. Aku tidak sengaja menemukan secarik kertas dimana ketika aku sedang ingin membereskan pakaian orang-tuaku di kamar mereka. Di dalam-nya ber-isi kabar hidupku yang hanya bertahan pada usia-ku 20 tahun. “ Hatiku terasa sesak ketika membaca hasil report dari dokter yang merawat-ku “.

“ Tuhan apa yang kau rencanakan pada hidupku, jika ini bagian dari rencana-Mu untuk saya dan keluarga saya akan saya syukuri”. (Saya menangis sembari memegang kertasnya).

Sekarang tanggal 5 Desember 2009, akhirnya genap sudah usia-ku 20 Tahun. Sekarang saya sedang berbaring di rumah sakit dengan impus. Seluruh tubuh-ku tidak bisa bergerak. Kulihat di sekeliling-ku, saya melihat keluarga besar saya.

“ Mama, Papa jangan menangis lagi Helen sudah gak pa2 lag” Sembari tersenyum

“ Mama, Papa makaci ya sudah merawat saya walaupun hanya dari umur 15 Tahun “

“ Paman Ang dan bibi ang makaci ya telah merawat saya waktu saya lahir dan telah mempertemukan saya dengan kedua orang tua saya “.

“ Kakak, Adik jaga Mama dan Papa ya ”

“ Semua jangan menangis lagi, Malaikat sudah ada disini, mereka bilang akan ajak saya berbincang sambil makan kacang dengan Tuhan di surga” Sembari mengeluarkan Air Mata.

            Setelah itu mesin pedeteksi jantung berbunyi… Tittttttttttttttt………………….. Tidak ada gelombang garis, yang ada yang tampak hanya garis lurus.

Diary Helen

Setelah Helen Josephine dikebumikan, kedua-orang tuanya menemukan Diary Helen yang isinya bertuliskan :

Dear Diary,

“ Umur 1 Tahun : Saya mengetahui bahwa saya cacat alias bicara tidak jelas.

“ Umur 5 Tahun : Saya baru menyadari, saya bukan anak dari kedua orang-tua saya. Tetapi saya bersyukur karena saya sudah berusia 5 tahun.

“ Umur 10 – 12 Tahun : Saya sudah mendapatkan pekerjaan, dan membantu perekonomian keluarga yang tinggal di Bantaran Kali. Saya bersyukur walaupun hanya sebagai penyapu jalan.

“ Umur 13 Tahun : Saya menemukan kedua orang-tua saya secara tidak sengaja ketika ingin mendonorkan darah. Ternyata Orang-Tua saya adalah penyelenggaranya. Dan dia mengetahui saya ketika mengetahui latar-belakang keluarga saya. Pertama-tama saya tidak bisa menerima karena dia telah membuang diri saya pada waktu lahir ketika saya hanya menjadi sandungan perekonomian keluarga saya. Saya dibuang di pinggiran Bantaran kali. Saya bersyukur karena telah mempertemukan dengan orang-tua yang asli dan menerima ketulusan permintaan-maafnya. Saya juga bersyukur bukan orang-tua asli saya tidak mengajarkan saya untuk mencari sensasi : Dengan mengajarkan saya rokok pada waktu muda atau hal lain seperti sekarang ini yang banyak diberitakan di TV.

“ Umur 14 – 16 Tahun : Saya hidup berbahagia dan betapa senangnya saya ketika beramal di lingkungan tempat tinggal saya dan sekitar dan orang tua asli saya mendukung. Sehingga perekonomian di sekitar tempat tinggal saya meningkat.

“ Umur 16 Tahun : Kepala saya sangat sakit sebenarnya sudah sejak dulu sakit tapi tidak terasa sakit seperti sekarang ini. Dan saya muntah-muntah entah kenapa sekarang saya muntah darah, lalu saya tidak sadarkan diri, ketika bangun saya sudah di Rumah Sakit. Saya bersyukur saya tidak apa2.

“ Umur 17 Tahun : Saya mengetahui bahwa saya kena penyakit Kanker Otak dan umur saya hanya sampai umur 20 Tahun. Saya bersyukur walaupun ini bukan harapan saya.

“ Umur 18 – 20 Tahun : Kondisi badan saya makin lemah.. Mama- Papa- Adik- Kakak dan keluarga besar lainnya bersyukurlah karena saya sudah mau ke rumah Tuhan.

Kedua orang tua Helen sembari menangis membaca Diary Helen. Pada halaman terakhir tertulis puisi pendek yang berbunyi.

TERIMA KASIH TUHAN

Terima Kasih Tuhan untuk kicauan burung pagi menyambutku

Terima Kasih Tuhan untuk nyanyian pagi pohon-pohon di daerah rumah-ku

Terima Kasih Tuhan untuk mentari yang menyinari raut muka-ku

Terima Kasih Tuhan untuk lembaran kalender yang membantu hitung usia-ku

Terima Kasih Tuhan karena kau telah menjaga keluarga-ku

Terima Kasih Tuhan untuk keluarga besar yang selalu sayang pada-ku

Terima Kasih Tuhan untuk sisa usia-ku di tanah yang telah kau persiapkan bagi-ku

Terima Kasih Tuhan untuk segala duka pahit, suka menggapai cita dalam perjalanan hidup-ku

Terima Kasih Tuhan semua kupanjatkan kepadamu dari diri-ku

Amin.

----------------------------------------------------------------------------

“ Selamat Jalan Helen, Usia-mu tidak akan pernah sia-sia”

Kisah ini hanya fiktif yang diambil dari inspirasi penulis untuk membuat kita selalu bersyukur di segala sesuatu masalah apapun yang kita hadapi. Walaupun pelik untuk bersyukur.

Join YM g : asang_fs@yahoo.com

Saya adalah penulis baru yang mencoba peruntungan di dunia maya ini.. Saya harap tulisan-tulisan saya dapat mendapatkan apresiasi yang luar biasa bagi para pembaca. Salam Kenal..

 

             

           

 

 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline