Lihat ke Halaman Asli

Vonis Ahok dan Skenario "Licik" PDIP

Diperbarui: 10 Mei 2017   02:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Gambar: Merdeka.com

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) merupakan partai yang terlihat begitu getol mendukung Ahok dari awal untuk meraih kursi 1 DKI Jakarta. Begitu kira-kira anggapan masyarakat selama ini. Jarang orang berfikir bahwa sebenarnya ini adalah skenario yang dirancang dari jauh-jauh hari.

Para pendukung Ahok terlalu fokus pada sang majelis hakim yang memvonis Ahok 2 tahun penjara karena lebih berat daripada tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Hanya karena salah seorang hakim pernah men-share status facebook Felix Shiauw dalam akun facebooknya, pendukung Ahok lantas menganggap sang hakim tidak netral. Pokoknya hakim tidak netral. Begitu kira-kira yang difikirkan pendukung Ahok saat ini. Pertanyaannya, kemana PDIP selaku partai pengusung yang sedari dulu begitu getol membela Ahok mati-matian setelah Ahok meringkuk di penjara? Nah, pertanyaan ini yang jarang terbesit dalam benak banyak orang, terutama bagi para pendukung Ahok. PDIP seolah hilang bak ditelan bumi setelah Ahok diringkus ke Lapas Cipinang.

Untuk menjawab pertanyaan tadi, ada sebuah analisis yang sebenarnya sudah menjadi rahasia umum. Di tengah cobaan kasus “penistaan agama” yang didera Ahok, PDIP sebenarnya hanya menjadikan Ahok sebagai tumbal. Sebelumnya, banyak yang mengatakan bahwa sejatinya yang diingankan PDIP untuk menjadi gubernur Jakarta adalah Djarot, bukan Ahok. Jika Ahok-Djarot menang di Pilkda DKI kemarin, misalnya, Ahok akan dipenjara karena kasus penistaan agama dan Djarot yang akan menjadi gubernurnya. Lalu pertanyaannya, mengapa setelah Ahok-Djarot kalah, Ahok masih saja dikerangkeng?

Bisa dilihat bagaimana terpuruknya PDIP pada Pilkada serentak tahun ini. Bayangkan, sebagai partai pemenang pemilu 2014, PDIP menelan kekalahan di 45 provinsi dan kebupaten/kota. Prestasi buruk ini sungguh sangat menyedihkan bagi PDIP terutama Megawati. Maka tak ada cara lain selain menggeser Ahok ke Lapas Cipinang dan digantikan Djarot yang menjadi gubernur.

Ingat, terhitung dari bulan Juni, 4 bulan bukanlah waktu yang sebentar. Bagi Djarot yang sudah memiliki pengalaman di pemerintahan, waktu 4 bulan sudah dirasa cukup untuk mengotak-atik Pemprov DKI. Dan yang perlu diingat lagi, April hingga Oktober adalah masa-masa genting karena Pemrov DKI sedang membahas Anggaran Daerah. Selain itu, beberapa waktu lalu sebelum Ahok divonis, ia berjanji pada saat pembahasan anggaran akan mengundang Anies untuk ikut dalam rapat bersama jajaran Pemprov DKI. Nah, pada titik inilah yang menjadi kekhawatiran PDIP dan partai pengusung lainnya. Ahok yang anti korupsi dianggap sebagai ancaman besar bagi mereka-mereka yang ingin mengacaukan anggaran pemprov DKI. Darimana lagi PDIP akan mendapat pemasukan jika tidak melalui DKI. Begitu kira-kira bahasa kasarnya.

Prediksi ini bukanlah tanpa alasan. Pasalnya, selama menjalani sidang pembacaan tuntutan dari majelis hakim, Djarot terlihat tidak hadir ikut menemani Ahok selama persidangan. Djarot hanya datang ke lapas Cipinang menjenguk Ahok dan orasi di depan massa pendukung Ahok. Itu pun dilakukan setelah Djarot sah menerima jabatan menggantikan Ahok sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur DKI Jakarta dari Kemendagri Tjahjo Kumolo. Selebihnya, terlihat tidak ada perhatian khusus dari Djarot untuk Ahok yang sedang dirundung masalah besar.

Selain itu, ke depannya, PDIP maupun partai koalisi Ahok-Djarot tidak akan ngotot membebaskan Ahok dari jeratan hukum meski Ahok memutuskan akan melakukan banding. Karena posisi tersebut sama-sama diuntungkan, kecuali Ahok. PDIP dapat jatah gubernur meski hanya 4 bulan. Dan partai koalisi dapat menentukan bersama siapa yang akan menjadi Wakil Gubernur menggantikan Djarot yang telah naik kelas.

Ahok tidak akan dibela dalam kasus hukumnya secara mati-matian, karena selain bukan cetakan asli PDIP, sosok Ahok juga sulit dikendalikan partai pengusung, sementara jika Ahok bebas akan ada dampak yang luas dan berimbas kepada Presiden dan partai pengusung secara keseluruhan. Akan lebih bagus jika Djarot jadi Gubernur. Karena dengan begitu mereka akan mendapatkan keuntungan dengan resiko kecil untuk semua pihak.

Sedikit flash back. Kita sama-sama tahu bagaimana Ahok dan pendukungnya dulu pernah "Menyakiti" partai politik saat dirinya berencana maju dari jalur independen. Tidak mungkin Parpol pengusung dengan mudah melupakan kejadian tersebut, dan mereka merendahkan organisasi yang begitu besar dengan kalah kepada satu orang. Ego partai politik lebih besar, karena ini terkait dengan harga diri kader dan partai.

Dengan kondisi tersebut, para pendukung Ahok akan gigit jari. Mereka yang selama ini mati-matian berjuang, tidak bisa melihat sosok Ahok menghabiskan sisa waktunya menjadi Gubernur DKI Jakarta. Para pendukung Ahok hanya bisa mengirim bunga dan balon ke Balaikota DKI Jakarta, berteriak, menangis, dan bersimpuh lemah melihat Ahok melambaikan tangan saat menuju mobil sebelum berangkat ke lapas Cipinang. Dalam dunia politik kondisi semacam ini, boleh dibilang mungkin dan biasa terjadi.

Sumber Gambar: Liputan6.com

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline