Demokrasi sejatinya dimiliki oleh bangsa-bangsa yang peduli pada rakyatnya. Bangsa yang menghargai dan mengedepankan aspirasi rakyat sebagai tuannya.
Di Indonesia sendiri, sejak hari kemerdekaan 17 Agustus 1945 sangat jelas tergambar bahwa negara ini merupakan negara demokrasi. Namun, sejarah mencatat, demokrasi itu sempat redup saat era kepemimpinan Presiden RI ke-2 Soeharto, yang juga menerapkan demokrasi, tapi demokrasi semu.
Demokrasi mengalami reinkarnasi pada saat beralihnya era orde baru ke masa era reformasi. Akan tetapi, banyak yang berubah saat era pemerintahan itu silih berganti. Apalagi di era kepemimpinan Pak Jokowi saat ini. Demokrasi bukan saja semu, tapi sudah terbilang mati.
Matinya demokrasi saat ini, dapat dibuktikan dengan banyaknya kebijakan pemerintah yang tidak pro rakyat. Selalu mengedepankan kepentingan kelompok dan partainya sendiri.
Kepentingan kelompok dimaksud adalah, pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri (Mendagri) mengusulkan Rancangan Undang-undang (RUU) baru untuk pemilu 2019 kepada DPR.
Setidaknya, ada dua hal yang mengganjal dalam draft RUU yang diusulkan pemerintah kepada DPR. Pertama, dalam draft RUU tersebut disebutkan, bahwa hasil Pemilihan Legislatif (Pileg) pada 2014, akan dijadikan acuan bagi parpol yang ingin mengusung kadernya menjadi calon presiden saat Pilpres 2019 mendatang.
Kedua, berada pada pasal 190 yang berisi, bahwa pasangan calon yang diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol (koalisi) peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR, atau memperoleh 25% dari suara sah nasional pada Pileg sebelumnya.
Usulan ini jelas merupakan bentuk pengkerdilan terhadap demokrasi. Secara tidak langsung, Kemendagri yang notabene merupakan kader PDIP (Partai pemenang Pemilu 2014), perlahan ingin mengekang bahkan membunuh parpol-parpol kecil, termasuk parpol yang baru lahir.
UUD 1945 menjamin, bahwa setiap warga negara Indonesia berhak mencalonkan diri sebagai orang nomor satu di negeri ini. Artinya, siapapun yang ingin mencalonkan diri sebagai presiden, pemerintah harus mempersilahkan. Sebab, bangsa ini bukan hanya milik PDIP atau kelompok dan partai politik manapun, tapi bangsa ini milik semua rakyat Indonesia.
Kembali kepada draft RUU usulan pemerintah yang mengganjal tadi. Jika Pilpres 2019 mengacu kepada suara Pileg 2014, maka sudah pasti partai parpol baru tidak bisa mengusung kadernya untuk bertanding di pilpres 2019 nanti, karena parpol baru belum memiliki suara di DPR.
Lantas, apa gunanya diselenggarakan Pileg 2019 jika suaranya tidak bisa dijadikan acuan untuk Pilpres 2019? Apakah hasil Pileg 2019 nanti akan dijadikan acuan kembali di Pilpres selanjutnya, termasuk pada Pilpres 2024?. Jika iya, siapakah yang berani menjamin, namun jika tidak, apa fungsinya Pileg 2019 diselenggarakan?.