Lihat ke Halaman Asli

Pelanggaran Hak Asasi (HAM) Rumoh Geudong Aceh

Diperbarui: 15 September 2023   08:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Mengutip dari berita harian CNN Indonesia (2023) dengan judul artikel "Sejarah Kasus HAM Berat Rumoh Geudong dan Janji Pemulihan Hak Korban". Presiden Joko Widodo melakukan peluncuran atau kick off implementasi rekomendasi Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Masa Lalu di Rumoh Geudong, Pidie, Aceh. Kick off ini diinisiasi oleh Ketua Pengarah TPP HAM sekaligus Menko Polhukam Mahfud MD. Rumah Geudong merupakan bukti sejarah penyiksaan terhadap masyarakat Aceh yang dilakukan aparat TNI dan Polri selama masa konflik Aceh (1989-1998). Rumoh Geudong menjadi basis Pos Satuan Taktis dan Strategis (Pos Sattis) selama masa DOM (Daerah Operasi Militer) di Aceh.

Sebelum acara kick off dilakukan, sisa-sisa bangunan Rumoh Geudong telah dihancurkan untuk alih fungsi menjadi bangunan masjid. Hal ini menuai pro dan kontra, dengan beberapa pihak yang mempertanyakan keputusan tersebut. Namun, Penjabat Bupati Pidie Aceh, Wahyudi Adi Siswanto, menjelaskan bahwa penghancuran bangunan tersebut dilakukan untuk menghilangkan dendam dan mencegah generasi muda terjebak dalam kesedihan atas peristiwa masa lalu. Selain itu, terdapat juga perdebatan mengenai korban pelanggaran HAM berat yang belum terdata. Mahfud MD menyatakan bahwa masih ada korban yang belum terdata dan data yang masuk saat ini masih dalam tahap pertama. Namun, LSM Paska Aceh menyatakan bahwa mereka telah menyerahkan data 53 korban kepada Komnas HAM. Dalam hal ini, perlu dilakukan validasi data yang masuk agar tidak terjadi kesalahan dalam mengidentifikasi korban.

Faktor utama dari peristiwa ini yaitu kesewenangan aparat TNI (Kopassus) terhadap masyarakat Aceh yang diduga pasukan GAM selama masa konflik Aceh (1989-1998). Adapun dampak yang terjadi pada isu ini dapat dilihat dari segi sosial budaya, ekonomi, dan politik. Penghancuran sisa-sisa bangunan Rumoh Geudong yang dialihfungsikan menjadi bangunan masjid memiliki dampak sosial budaya yang signifikan. Tindakan ini dapat menjadi simbol transformasi dan rekonsiliasi dalam masyarakat Aceh. Bangunan masjid yang baru dapat menjadi tempat ibadah yang melambangkan perdamaian, toleransi, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Namun hal tersebut juga dapat menimbulkan perdebatan  dan perpecahan dalam masyarakat. Beberapa pihak mungkin merasa bahwa penghancuran tersebut menghapus jejak sejarah yang penting dan menghilangkan bukti pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi.

Pada segi ekonomi berdampak pada sektor pariwisata di Aceh, bangunan masjid yang baru dapat menjadi daya tarik wisata dan meningkatkan kunjungan wisatawan ke daerah tersebut. Hal ini dapat memberikan dampak positif bagi perekonomian lokal, seperti peningkatan pendapatan dari sektor pariwisata, peningkatan lapangan kerja, dan pertumbuhan ekonomi. Namun, penghancuran sisa-sisa bangunan Rumoh Geudong juga dapat mempengaruhi sektor ekonomi tertentu. Misalnya, jika bangunan tersebut memiliki nilai sejarah dan menjadi objek wisata yang populer, penghancuran tersebut dapat mengurangi jumlah wisatawan yang datang dan berdampak negatif pada pendapatan dari sektor pariwisata.

Pada segi politik dampak yang terjadi adalah pihak-pihak yang tidak setuju dengan tindakan penghancuran bangunan Rumoh Geudong dapat menggunakan isu ini sebagai alat untuk mengkritik pemerintah dan memperoleh dukungan politik. Dalam konteks politik, isu ini dapat mempengaruhi opini publik, persepsi terhadap partai politik, dan dinamika politik di Aceh. Selain itu, isu ini juga dapat mempengaruhi hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Penghancuran bangunan Rumoh Geudong merupakan inisiatif dari Pemkab Pidie, Aceh, tanpa melibatkan pemerintah pusat secara langsung. Hal ini dapat memunculkan pertanyaan tentang otonomi daerah dan hubungan antara pemerintah pusat dan daerah dalam penanganan isu-isu sensitif seperti pelanggaran HAM berat.

Tuntutan  masyarakat  Aceh  terhadap  penyelesaian  pelanggaran  hak  asasi  manusia yang  tergolong  'berat'  memang  bukan  pekerjaan  ringan.  Pemerintahan  Indonesia  pasca reformasi,   dihadapkan   pada   situasi   yang   sangat   dilematis   untuk   mengupayakan keberhasilannya  menjawab  tuntutan  masyarakat  terkait  penyelesaian  pelanggaran  HAM masa lalu. Bagi  masyarakat  Aceh  prosesi  memaafkan  adalah  sebaik-baiknya  perbuatan  dan sebagai   salah   satu   tanda   ketaqwaan   kepada   Allah   SWT.   Sangat   penting   untuk memulihkan  harkat,  martabat  dan  harga  diri  mereka  sebagai  rakyat  yang  bebas,  dimana dengan  begitu  mereka  dapat  menjalankan  kewajiban  sebagai  bagian  anak  bangsa  dalam Negara  Kesatuan  Republik  Indonesia  (NKRI)  yang  merdeka,  damai,  dan  adil.

Terlebih lagi  masyarakat  Aceh  menjadikan  Islam  sebagai  pandangan  hidup,  sehingga  proses penciptaan   perdamaian   merupakan   suatu   yang   dianjurkan,   karena   Islam   melarang menyebarkan suatu kebencian dan peperangan atau dendam. Oleh  karena  itu  usaha "rekonsiliasi" sangat  dibenarkan  dengan  klausul  yang  jelas atas   dasar   pertimbangan   kepentingan   yang   sama.   Klausul   yang   jelas   itu   tentunya bertujuan  untuk  mencapai  kedamaian  dan  saling  menghormati,  tanpa  merugikan  salah satu pihak, apalagi yang dirugikan itu adalah pihak yang lemah.Untuk  itu  bila  ada  suatu  perdamaian  tetapi  merugikan  pihak  yang  lemah,  maka seorang   pemimpin   atau   penguasa   (negara)   dalam   hal   ini,   wajib   menolak   klausul perdamaian  atau  rekonsiliasi  tersebut. (Daudy, 2019)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline