Mengutip dari berita harian CNN Indonesia (2023) dengan judul artikel "Sejarah Kasus HAM Berat Rumoh Geudong dan Janji Pemulihan Hak Korban". Presiden Joko Widodo melakukan peluncuran atau kick off implementasi rekomendasi Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Masa Lalu di Rumoh Geudong, Pidie, Aceh. Kick off ini diinisiasi oleh Ketua Pengarah TPP HAM sekaligus Menko Polhukam Mahfud MD. Rumah Geudong merupakan bukti sejarah penyiksaan terhadap masyarakat Aceh yang dilakukan aparat TNI dan Polri selama masa konflik Aceh (1989-1998). Rumoh Geudong menjadi basis Pos Satuan Taktis dan Strategis (Pos Sattis) selama masa DOM (Daerah Operasi Militer) di Aceh.
Sebelum acara kick off dilakukan, sisa-sisa bangunan Rumoh Geudong telah dihancurkan untuk alih fungsi menjadi bangunan masjid. Hal ini menuai pro dan kontra, dengan beberapa pihak yang mempertanyakan keputusan tersebut. Namun, Penjabat Bupati Pidie Aceh, Wahyudi Adi Siswanto, menjelaskan bahwa penghancuran bangunan tersebut dilakukan untuk menghilangkan dendam dan mencegah generasi muda terjebak dalam kesedihan atas peristiwa masa lalu. Selain itu, terdapat juga perdebatan mengenai korban pelanggaran HAM berat yang belum terdata. Mahfud MD menyatakan bahwa masih ada korban yang belum terdata dan data yang masuk saat ini masih dalam tahap pertama. Namun, LSM Paska Aceh menyatakan bahwa mereka telah menyerahkan data 53 korban kepada Komnas HAM. Dalam hal ini, perlu dilakukan validasi data yang masuk agar tidak terjadi kesalahan dalam mengidentifikasi korban.
Faktor utama dari peristiwa ini yaitu kesewenangan aparat TNI (Kopassus) terhadap masyarakat Aceh yang diduga pasukan GAM selama masa konflik Aceh (1989-1998). Adapun dampak yang terjadi pada isu ini dapat dilihat dari segi sosial budaya, ekonomi, dan politik. Penghancuran sisa-sisa bangunan Rumoh Geudong yang dialihfungsikan menjadi bangunan masjid memiliki dampak sosial budaya yang signifikan. Tindakan ini dapat menjadi simbol transformasi dan rekonsiliasi dalam masyarakat Aceh. Bangunan masjid yang baru dapat menjadi tempat ibadah yang melambangkan perdamaian, toleransi, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Namun hal tersebut juga dapat menimbulkan perdebatan dan perpecahan dalam masyarakat. Beberapa pihak mungkin merasa bahwa penghancuran tersebut menghapus jejak sejarah yang penting dan menghilangkan bukti pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi.
Pada segi ekonomi berdampak pada sektor pariwisata di Aceh, bangunan masjid yang baru dapat menjadi daya tarik wisata dan meningkatkan kunjungan wisatawan ke daerah tersebut. Hal ini dapat memberikan dampak positif bagi perekonomian lokal, seperti peningkatan pendapatan dari sektor pariwisata, peningkatan lapangan kerja, dan pertumbuhan ekonomi. Namun, penghancuran sisa-sisa bangunan Rumoh Geudong juga dapat mempengaruhi sektor ekonomi tertentu. Misalnya, jika bangunan tersebut memiliki nilai sejarah dan menjadi objek wisata yang populer, penghancuran tersebut dapat mengurangi jumlah wisatawan yang datang dan berdampak negatif pada pendapatan dari sektor pariwisata.
Pada segi politik dampak yang terjadi adalah pihak-pihak yang tidak setuju dengan tindakan penghancuran bangunan Rumoh Geudong dapat menggunakan isu ini sebagai alat untuk mengkritik pemerintah dan memperoleh dukungan politik. Dalam konteks politik, isu ini dapat mempengaruhi opini publik, persepsi terhadap partai politik, dan dinamika politik di Aceh. Selain itu, isu ini juga dapat mempengaruhi hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Penghancuran bangunan Rumoh Geudong merupakan inisiatif dari Pemkab Pidie, Aceh, tanpa melibatkan pemerintah pusat secara langsung. Hal ini dapat memunculkan pertanyaan tentang otonomi daerah dan hubungan antara pemerintah pusat dan daerah dalam penanganan isu-isu sensitif seperti pelanggaran HAM berat.
Tuntutan masyarakat Aceh terhadap penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia yang tergolong 'berat' memang bukan pekerjaan ringan. Pemerintahan Indonesia pasca reformasi, dihadapkan pada situasi yang sangat dilematis untuk mengupayakan keberhasilannya menjawab tuntutan masyarakat terkait penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu. Bagi masyarakat Aceh prosesi memaafkan adalah sebaik-baiknya perbuatan dan sebagai salah satu tanda ketaqwaan kepada Allah SWT. Sangat penting untuk memulihkan harkat, martabat dan harga diri mereka sebagai rakyat yang bebas, dimana dengan begitu mereka dapat menjalankan kewajiban sebagai bagian anak bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang merdeka, damai, dan adil.
Terlebih lagi masyarakat Aceh menjadikan Islam sebagai pandangan hidup, sehingga proses penciptaan perdamaian merupakan suatu yang dianjurkan, karena Islam melarang menyebarkan suatu kebencian dan peperangan atau dendam. Oleh karena itu usaha "rekonsiliasi" sangat dibenarkan dengan klausul yang jelas atas dasar pertimbangan kepentingan yang sama. Klausul yang jelas itu tentunya bertujuan untuk mencapai kedamaian dan saling menghormati, tanpa merugikan salah satu pihak, apalagi yang dirugikan itu adalah pihak yang lemah.Untuk itu bila ada suatu perdamaian tetapi merugikan pihak yang lemah, maka seorang pemimpin atau penguasa (negara) dalam hal ini, wajib menolak klausul perdamaian atau rekonsiliasi tersebut. (Daudy, 2019)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H