Lihat ke Halaman Asli

Nurul Wahyuni

Mahasiswa

Jangan Biarkan Intoleransi Menghancurkan Kita

Diperbarui: 27 Juli 2022   16:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Kekerasan dan kebencian dengan mengatasnamakan Tuhan adalah suatu tidakan yang sama sekali tidak bisa dibenarkan" (Paus Fransiskus, Kompas, 27/11/2015) Pernyataan Paus diatas disampaikan ketika berkunjung ke Benua Afrika untuk membantu mencari penyelesaian konflik antara Muslim-Kristen di benua tersebut. Paus Fransiskus sangat berharap pada kaum muda untuk melanjutkan hidup bangsanya. Ditangan kaum muda inilah sebuah bangsa akan maju dan berkembang, sekalipun para elitnya bergelimang kekuasaan dan harta kekayaan.

Kita tentu tidak ingin negara ini bergelimang darah karena pertumpahan warga sesama anak bangsa bahkan saudara setanah air. Kita tidak ingin yang terjadi di Timur Tengah, Afrika maupun di beberapa negara di Eropa seperti Perancis, Turki, dan Irlandia melanda Indonesia. Cukuplah kekerasan yang mengatasnamakan kesucian Tuhan buat mereka. Kita telah dibuat ngeri melihatnya. Kita tak sanggup melihat kekejaman yang dipraktekkan atas nama Tuhan. Timur Tengah dan beberapa negara Eropa bergolak. 

Indonesia tidak boleh terjadi seperti itu. Salah satu kuncinya adalah sesama umat beragama menghindarkan sikap arogan, menindas, menelikung serta ingin menang sendiri sehingga orang lain dianggap kafir, sesat serta harus pula dimusnahkan. Bukankah Tuhan telah memberikan pilihan pada kita, akan kafir atau beriman. Beriman atau kafir akan mendapatkan tempatnya sendiri. Kita juga bukan panitia masuk surga atau neraka. Itu hak Tuhan belaka. Kenapa kita sering melihat adanya orang meributkan dengan keras ketika seseorang atau kelompok tidak berbuat seperti dikehendaki oleh pihak lain yang berbeda, sehingga otoritas Tuhan seakan-akan berpindah tangan pada kelompok tersebut. Terjadinya kekerasan antara agama di Indonesia, dan di tempat lain tidak pernah berhenti pada analisis dan tindakan untuk mencegahnya lebih luas.

Mengapa orang bersedia melakukan aksi-aksi teror-kekerasan atas nama agama atau sebagai teroris? Apakah alasan-alasan yang menjustifikasi aksi terorisme di Indonesia? Siapakah mereka para pelaku teror di muka bumi itu? Berdasarkan pertanyaan sederhana ini, jawaban sederhana yang dapat diajukan disini adalah mereka itu dapat perorangan, kelompok maupun organisasi bahkan lembaga (individual atau negara). Dimanakah mereka melakukan aksi teror, sebagai target sasaran teroris. Serta pertanyaan sampai kapankah aksi-aksi terorisme akan berlangsung dilakukan di sebuah wilayah, menjadi pertanyaan penting yang hendak diuraikan dalam karangan ini. Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut diatas, ada beberapa asumsi yang dapat menjelaskan mengapa semua itu terjadi.

Dengan perspektif sosial politik, ekonomi, dan psikologi dalam melihat adanya kekerasan atas nama agama atau bahkan terorisme di Indonesia ternyata hal tersebut dari segi aktor atau kelompok pelaku adalah ada beberapa kelompok agama (Islam, Kristen, Hindu, dan Yahudi) yang bersedia melakukan aksi-aksi kekerasan terhadap pihak lain dan sekaligus sebagian membenarkan perilaku kekerasan tersebut. Para aktor pelaku kekerasan datang dari pelbagai kelompok yang memiliki alasan masing-masing. Terdapat alasan teologis sampai alasan sosial dan juga alasan pragmatis karena tidak memiliki dasar argumen yang memadai tentang perbuatan yang dikerjakan tentang kekerasan. Oleh sebab itu, dapat dikatakan radikalisme-terorisme terdapat banyak penyebab. Faktor-faktor tersebut adalah faktor politik, ekonomi, psikomagic dan budaya (agama). Hal itu menjadi dasar legitimasi yang sering muncul dipermukaan ketika seserorang mengamati tindakan kekerasan atas nama agama di Indonesia bahkan di luar negeri. Dasar pijakannya beragam namun ujungnya satu saja yakni kekerasan atas nama agama.

Penyebab Radikalisme-Terorisme

Jika kita perhatikan terjadinya kekerasan atas nama agama, para ahli dalam hal sosiologi agama, politik maupun ilmu sosial lainnya memberikan penjelasan sekurang-kurangnya terdapat beberapa penyebab mengapa orang bersedia melakukan tindakan kekerasan atas nama agama, sekalipun sebagian ahli agama melarangnya. Beberapa penyebab seperti yang akan saya kemukakan disini adalah penyebab yang sudah lazim dipahami oleh masyarakat dan para akademisi atau intelektual, tetapi tidak mengapa untuk mengulang penjelasan para ahli tersebut saya akan kemukakan dengan ringkas.

Pertama, persoalan pemahaman keagamaan. Oleh sebab karena adanya keyakinan akan teks suci yang mengajarkan tentang terorisme dari kata jihad. (Falahuddin, 2016). Pemahaman keagamaan merupakan bagian penting dari kekerasan agama (radikalisme-terorisme) yang dilakukan. Kedua, radiakalisme-terorisme juga dikaitkan dengan adanya pemahaman tentang ketidakadilan politik, ekonomi dan hukum yang berjalan dalam sebuah negara. Sebuah rezim politik dan partai tertentu dianggap berlaku tidak adil kepada sekelompok masyarakat. Ketiga, radikalisme-terorisme juga buruknya dalam hal penegakan hukum sehingga menimbulkan apa yang sering disebut sebagai ketidakadilan hukum.

Penegakan hukum yang tidak berjalan dengan maksimum, sehingga menumbuhkan kejengkelan dalam perkara hukum yang ada dalam sebuah negara. Ketidakadilan hukum dianggap sebagai salah satu faktor yang masih dominan dalam sebuah negara termasuk di Indonesia, sehingga apparat penegak hukum sering menjadi sasaran kekerasan kaum radikalis-teroris. Peristiwa penembakan apparat kepolisian di beberapa daerah di Indonesia, seperti di Poso, Mataram, Solo, Mataram dan Jakarta adalah bukti-bukti yang menjelaskan kalau posisi dianggap tidak adil dalam menegakkan hukum. Keempat, persoalan pendidikan yang lebih menekankan pada aspek ajaran kekerasan dari agama, termasuk pendidikan yang lebih menekankan aspek indoktrinasi, tidak memberikan ruang diskusi tentang suatu masalah.

Oleh sebab itu, pendidikan semacam itu merupakan masalah lain lagi yang sangat mungkin mendorong terjadinya radikalisasi karena kebebalan perspektif pendidikan agama. Oleh sebab itu harus dipikirkan kembali pendidikan agama yang bersifat transformatif dan pembebasan pada umat manusia. Pendidikan agama tidak hanya mengajarkan persoalan jihad dalam makna kekerasan atau perang tetapi jihad dalam makna yang luas seperti memberantas kemiskinan, memberantas mafia hukum, memberantas politik uang dan partai yang buruk adalah jihad yang sesungguhnya harus dilakukan.

Laporan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) tahun 2017 menyebutkan bahwa prilaku intoleran dan sikap radikal dalam beragama ditemukan bahwa perilaku tersebut muncul disebabkan oleh kesenjangan ekonomi di kalangan masyarakat yang semakin melebar. Hal ini menyebabkan munculnya suasana ketidakadilan yang dirasakan oleh warga masyarakat. Akibatnya ini, sebagian masyarakat mulai mencari cara untuk memberontak terhadap keadaaan. Sumber masalah yang lain penyebab perilaku radikal adalah penegakan humum yang lemah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline