Lihat ke Halaman Asli

NURUL WAHIDAH

Nrlwhidah17

Teori empati menurut Martin hoffman

Diperbarui: 19 Januari 2025   05:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Empati adalah kemampuan untuk merasakan, memahami, dan berbagi perasaan orang lain. Konsep ini telah menjadi fokus perhatian dalam berbagai bidang psikologi, terutama dalam perkembangan sosial dan emosional individu. Salah satu teori empati yang paling berpengaruh adalah yang dikemukakan oleh Martin Hoffman, seorang psikolog perkembangan yang meneliti bagaimana empati berkembang pada anak-anak dan mengapa kemampuan ini penting dalam interaksi sosial. Teori empati Hoffman berfokus pada proses perkembangan empati dan berbagai faktor yang mempengaruhi kemampuan individu untuk merasakan dan memahami emosi orang lain.

Hoffman melihat empati sebagai kemampuan yang tidak hanya penting dalam konteks hubungan antarpribadi, tetapi juga dalam pengembangan moral dan sosial seseorang. Menurutnya, empati bukanlah sekadar respons emosional terhadap perasaan orang lain, melainkan sebuah proses kompleks yang berkembang seiring bertambahnya usia dan pengalaman.

Empati sebagai Proses Perkembangan

Hoffman mengemukakan bahwa empati berkembang melalui beberapa tahap yang dapat dipahami dalam konteks perkembangan psikologis anak-anak. Tahap-tahap ini mencerminkan cara anak-anak belajar untuk merasakan dan memahami perasaan orang lain, mulai dari tahap yang sangat dasar hingga bentuk empati yang lebih kompleks pada usia dewasa.

1. Tahap Empati Pribadi (Personal Distress) Pada tahap awal kehidupan, bayi dan anak-anak kecil lebih cenderung merespons perasaan orang lain dengan cara yang sangat egosentris. Ketika mereka melihat orang lain merasa kesakitan atau sedih, mereka mungkin merasa terganggu atau cemas, tetapi perasaan tersebut lebih berfokus pada ketidaknyamanan diri mereka sendiri. Tahap ini, yang disebut Hoffman sebagai personal distress, menunjukkan bahwa meskipun mereka bisa merasakan perasaan orang lain, itu lebih terkait dengan perasaan mereka sendiri daripada pemahaman terhadap perasaan orang lain.

2. Tahap Empati yang Tertuju pada Orang Lain (Egocentric Empathy) Seiring bertambahnya usia, anak-anak mulai mengembangkan kemampuan untuk merasakan empati yang lebih tertuju pada orang lain. Pada tahap ini, anak-anak mulai bisa membedakan perasaan mereka sendiri dengan perasaan orang lain, meskipun mereka mungkin masih kesulitan untuk sepenuhnya memahami perspektif orang lain. Mereka mulai merasa kasihan terhadap orang lain yang terluka atau sedih, tetapi masih melihatnya dari perspektif mereka sendiri. Mereka mungkin menawarkan bantuan dengan cara yang tidak sepenuhnya relevan dengan kebutuhan orang lain, namun niat mereka untuk membantu sudah mulai terlihat.

3. Tahap Empati yang Lebih Kompleks (Sympathetic Empathy) Pada tahap yang lebih lanjut, terutama sekitar usia 4 hingga 6 tahun, anak-anak mulai mampu merasakan empati yang lebih mendalam dan kompleks. Mereka bisa merasakan perasaan orang lain dan mulai memahami bahwa orang lain memiliki kebutuhan, keinginan, dan perspektif yang berbeda dari mereka sendiri. Pada tahap ini, anak-anak dapat mengekspresikan empati yang lebih penuh, seperti memberikan dukungan emosional atau menawarkan bantuan yang sesuai dengan kebutuhan orang tersebut. Mereka mulai mengembangkan rasa simpati dan keinginan untuk membantu orang lain tanpa hanya berfokus pada perasaan mereka sendiri.

4. Tahap Empati yang Berorientasi pada Moralitas (Moral Empathy) Pada usia yang lebih dewasa, empati berkembang menjadi sesuatu yang lebih terhubung dengan prinsip moral dan etika. Remaja dan dewasa muda mampu merasakan dan memahami perasaan orang lain dengan cara yang lebih mendalam, yang mengarah pada tindakan moral dan prososial yang lebih kuat. Pada tahap ini, individu tidak hanya merasakan empati terhadap orang yang dekat dengan mereka, tetapi juga terhadap orang yang mungkin berada dalam situasi yang tidak menguntungkan atau yang jauh dari mereka. Empati moral ini mendorong individu untuk terlibat dalam perilaku prososial, seperti memberikan bantuan kepada orang yang membutuhkan atau memperjuangkan keadilan sosial.

Peran Pengalaman Sosial dalam Pengembangan Empati

Hoffman juga menekankan pentingnya pengalaman sosial dalam pengembangan empati. Anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan yang kaya akan interaksi sosial yang positif cenderung mengembangkan kemampuan empati yang lebih baik. Misalnya, anak yang sering diajarkan untuk mengenali dan memahami perasaan orang lain melalui percakapan dan observasi akan lebih mudah mengembangkan empati. Selain itu, pengalaman positif yang melibatkan berbagi dan bekerja sama juga dapat memperkuat keterampilan empatik.

Namun, Hoffman juga mencatat bahwa pengaruh negatif, seperti kekerasan atau pengabaian emosional, dapat menghambat perkembangan empati pada anak-anak. Anak-anak yang mengalami perlakuan buruk atau sering melihat kekerasan mungkin kesulitan untuk merasakan dan memahami perasaan orang lain, yang dapat memengaruhi kemampuan mereka dalam membentuk hubungan sosial yang sehat.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline