Lihat ke Halaman Asli

Sengketa Sultan Ground dan Reformasi Pertanahan di DIY

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Manusia melakukan berbagai aktifitas di atas tanah sehinggamanusia selalu berhubungan dengan tanah. Untuk itu manusia melakukan transaksi yang objeknya adalah tanah untuk memenuhi kebutuhan dasarnya misal untuk tempat tinggal, seseorang bisa menguasai tanah dengan berbagai hak seperti hak milik, hak pakai, hak sewa, dan sebagainya. Hal-hal yang menyangkut tanah ini diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3 disebutkan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Ketentuan tentang tanah ini juga diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-Pokok Agraria. Sehingga diharapkan jika ada sengketa tanah yang terjadi di masyarakat khususnya di DIY dapat diselesaikan secara administrasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku di atas.

Banyaknya kasus-kasus sengketa tanah yang terjadi di DIY, mendorong berbagai pihak dan instansi terkait untuk lebih menegaskan adanya UU No 5 Tahun 1960 tentang UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) yang mengatur tentang kepemilikan tanah perseorangan maupun tanah milik instansi tertentu. Meskipun dari konteks kesejarahannya, DIY memakai konsep lama yaitu kerajaan adalah pemilik tanah dan semua sumber agraria yang ada. UUPA baru berlaku secara penuh pada tahun 1984 dengan dikeluarkannya Keppres No. 33 Tahun 1984. Tetapi disisi lain DIY tetap memiliki keistimewaan yaitu memberlakukan hubungan hukum dan perbuatan hukum antara masyarakat umum dengan tanah negara yang masih menggunakan status Kesultanan (Sultan Ground).

Sultan Ground sendiri adalah tanah yang dimiliki oleh Kesultanan baik institusi atau individu dan pemanfaatannya harus dengan mendaftarkan diri dahulu untuk memperoleh kekancingan dalem. Permasalahan tanah di DIY semakin pelik ketika fungsi tanah yang diberikan Sultan awalnya adalah membantu rakyat miskin yang kemudian beralih fungsi untuk meningkatkan potensi ekonomi mereka. Salahsatu contoh adalah ketika di atas tanah Sultan Ground dibangun mall yang dapat meningkatkan perekonomian bukan digunakan untuk kepentingan umum, maka pihak Kesultanan akan meminta tanah tersebut sedangkan kepemilikan tanah swapraja menurut UUPA telah melebur menjadi tanah milik negara yang dapat dikuasai dengan hak milik. Hal ini menimbulkan berbagai problematika yang berkepanjangan sampai saat ini. Tak hanya berhenti sampai disini, tanah Sultan Ground ini administrasinya dengan sistem tradisional (kekancingan dalem) sehingga tidak didaftarkan ke Badan Pertanahan Nasional yang berakibat bahwa tanah tersebut tidak memiliki kekuatan hukum di dalamnya.

Melihat berbagai problem yang terjadi sudah semestinya ada reformasi di bidang pertanahan khususnya Sultan Ground, baik di bidang administrasi dan pendaftaran tanah agar kelak di kemudian hari tidak terjadi masalah dan konflik yang dapat memecah belah masyarakat Daerah Istimewa Yogyakarta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline