Lihat ke Halaman Asli

Nurul Hanifah Nasution

Ilmu Hubungan International 22, Universitas Sriwijaya

Kudeta di Myanmar Memakan Banyak Korban Jiwa

Diperbarui: 8 November 2024   00:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Masyarakat Myanmar saat melakukan aksi demonstrasi. Foto: pexels.com

Kudeta Myanmar yang menggulingkan pemerintah sipil terpilih Aung San Suu Kyi dan Liga Nasional untuk Demokrasi ( NLD ) mengakhiri satu dekade transisi demokrasi yang terjadi di Myanmar. Kudeta Myanmar memunculkan tindakan represif oleh militer terhadap demonstran damai dan kelompok-kelompok etnis bersenjata telah menimbulkan kekacauan dan ketidakstabilan yang meluas.


Solusi untuk krisis politik yang telah berlangsung di Myanmar sejak runtuhnya pemerintahan sipil pada 1 Februari 2021, masih belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Ketidakpercayaan dunia internasional tercipta dari sikap junta militer yang tetap bersikukuh dengan kritiknya terhadap kekuasaan dan tindakan kekerasan yang diterapkan pada aksi protes anti-kudeta.

Dalam merangkum krisis politik yang terjadi di Myanmar, ASEAN, seperti biasa, tidak dapat dilepaskan dari prinsip-prinsip dan prinsip-prinsip yang ada di dalam Piagam ASEAN. Salah satu prinsip yang sering dibicarakan selama krisis politik yang terjadi di salah satu negara anggota ASEAN adalah non-interference (atau dikenal juga dengan istilah tidak campur tangan). 

Oleh karena itu, krisis politik yang terjadi di salah satu negara anggota ASEAN menjadi sumber tekanan bagi negara anggota lain yang tidak dapat membenarkan tindakan mereka.

Intervensi ini lebih tepat dikatakan sebagai upaya terakhir untuk menjamin keselamatan warga negara asing di negara lain, tanpa diketahui oleh negara yang sedang mengalami krisis karena suatu hal yang belum tuntas. Solusi alternatif pertama yang dapat dilakukan adalah meminta bantuan Tatmadaw (Militer Myanmar) untuk menyampaikan situasi ini kepada pemerintahan sipil.

 Karena adanya tekanan dari organisasi internasional, seperti ASEAN, negosiasi antara pihak militer dan kepala negara harus dilakukan dengan cara yang sesuai dengan keinginan dan lokasi negara sastra Myanmar secara demokratis.

Solusi alternatif kedua yang mungkin dilakukan adalah dengan menciptakan pemerintahan yang bersifat sementara dengan pemimpin yang bukan dari kalangan militer atau bahkan sipil (bukan Tatmadaw atau Aung San Suu Kyi/NLD). Pembentukan ini dengan catatan jika Tatmadaw setuju karena menolak kekuasaan kepada sipil. 

Selain itu, fokus pemerintah ini hanya untuk mengembalikan kondisi negara secara umum kepada stabilitas dan menyelenggarakan pemilu ulang yang bersifat adil sehingga apapun hasil akhirnya, hal tersebut harus dapat direalisasikan. Karena saat ini sedang berlangsung pemilu ulang, masyarakat internasional dapat berpartisipasi dalam memastikan kelancaran proses pemilu. 

Solusi ketiga yang dapat diberikan adalah melakukan apa yang diinginkan Tatmadaw yaitu pemilu ulang dalam jangka waktu satu tahun setelah pernyataan tidak sah dari hasil pemilu November 2020. Ketidakstabilan di Myanmar juga memicu dilema keamanan, di mana tindakan negara-negara tetangga untuk memperkuat pertahanan perbatasan menghadapi arus pengungsi dapat dianggap sebagai ancaman, yang justru memperburuk ketegangan regional.

Teori kompleks keamanan regional menggambarkan bagaimana krisis domestik di satu negara, seperti Myanmar, dapat mempengaruhi stabilitas kawasan secara keseluruhan, dengan dampak yang meluas ke negara- negara tetangga. Dalam konteks ini, kerjasama pertahanan ASEAN diuji, karena masalah domestik Myanmar telah berdampak lintas batas. 

Selain itu, pendekatan institusionalisme liberal berargumen bahwa institusi regional seperti ASEAN harus memainkan peran yang lebih aktif dalam menciptakan stabilitas melalui dialog dan kerjasama multilateral. Namun, meskipun ASEAN telah membentuk Konsensus Lima Poin untuk menyelesaikan krisis, pelaksanaannya terhambat oleh lemahnya komitmen junta militer Myanmar.

Di sinilah dilema kedaulatan dan non-intervensi ASEAN menjadi hambatan, memperlambat respons kolektif terhadap pelanggaran hak asasi manusia dan ketidakstabilan politik. Jika ASEAN dapat memodernisasi pendekatannya dan lebih fleksibel dalam menghadapi krisis semacam ini, kawasan Asia Tenggara bisa menghindari potensi konflik yang lebih luas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline