Lihat ke Halaman Asli

Nurul Muslimin

TERVERIFIKASI

Orang Biasa yang setia pada proses.

Konferensi Kafein #1: Ruang Belajar yang Asyik

Diperbarui: 14 September 2017   04:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: www.umy.ac.id

Secara tidak sengaja, saya mengikuti Konferensi Kafein (Kajian Film Indonesia) #1 yang dihelat beberapa hari yang lalu, tanggal 29-31 Agustus 2017 di UMY (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta). Mengapa tidak sengaja? Pada awalnya saya mengirim email ke BPI (Badan Perfilman Indonesia) yang berisi permohonan data tentang perfilman di Indonesia, untuk kebutuhan referensi di buku saya, ternyata BPI tidak/belum melakukan penelitian sendiri. Kemudian saya diarahkan untuk mengikuti Konferensi Kafein (Kajian Film Indonesia) yang pertama.

Saya senang mendapatkan teman baru dalam komunitas kajian perfilman, dan banyak hal yang bisa saya pelajari tentang film. Membedah film dari berbagai sisi dan pisau analisa. 

Mayoritas peserta yang hadir dari kalangan akademisi, dan jarang dari teman-teman praktisi film maker. Mereka dari kalangan dosen Jurusan Ilmu Komunikasi, Multimedia atau Perfilman dari beberapa universitas di Indonesia. Dari UGM, UMY, dan beberapa Universitas lain di Yogyakarta. Ada juga dari Jakarta, Malang, Surabaya, Banjarmasin, Jember dan kota-kota lainnya. Bahkan dari Malaysia dan Jepang juga hadir. Sebagai praktisi dan orang yang gemar belajar film, saya senang melihat semangat yang luar biasa dari teman-teman di sini. Bagi saya mungkin seperti anak kecil yang biasanya sibuk main sendiri, kemudian mendapatkan banyak teman, dan selanjutnya bermain bersama. 

Konferensi yang dibuka oleh Mas Seno Gumira Adjidarma (Rektor IKJ) yang gaul itu mengasyikkan. Beliau yang mempunyai basic Kajian Filsafat, mengawali 'pidato' sebagai keynotespeech yang berbau filosofis, dengan judul "Kritik Esensialis dan Kajian Konstruktivis". Pertama kali membaca teks keynotespeech-nya, saya merasa mendengarkan pidato Aristoteles yang mengkaji sebuah diskursus secara detail dan teliti. Meskipun saya mempunyai basic yang sama, filsafat; tapi pada awalnya merasa teks itu kurang pas untuk kajian dunia film. 

Seperti membahas hal-hal yang pragmatis dengan bahasa 'langit'. Tapi setelah membaca, mendiskusikan, dan mengkaji lebih dalam, apa yang saya lihat sebagai 'bahasa langit' itu menjadi penting untuk fondasi sebuah kajian film. Ini bisa sekaligus sebagai bekal para pengkaji (bukan kritikus lhoo) sebelum kita bicara banyak tentang film. Beliau memulainya dengan membedakan antara Pengkaji dengan Kritikus. Sekilas mungkin sama, tapi setelah ditelaah lebih dalam, secara terminologi dua istilah itu mempunyai perbedaan. Ini yang saya tangkap dari 'khotbah' beliau; semoga tidak meleset. 

Kritikus film sebagai orang yang mengkritisi film berada di luar proses produksi. Atau dengan kata lain berjarak dengan obyek kajiannya. Analisanya berangkat dari hipotesa-hipotesa dan teori-teori normatif sebuah karya seni (film). Kadang terkesan menjadi 'hakim' yang mudah mengetok palu vonisnya pada nilai-nilai tertentu tentang sebuah film. Seorang Kritikus film yang sudah mempunyai jam terbang tinggi, setiap kata-katanya seakan menjelma mantra-mantra yang akan menentukan layak-tidaknya sebuah film untuk ditonton. 

Kadang kritikus film 'dimanfaatkan' oleh produser sebagai corong promosi film yang akan di-launching

Dalam Kamus Bahasa Indonesia, 'kritik' dimaknai mengandung kata 'kecaman' dan sekaligus penilaian atas baik-buruknya sebuah film. Sepertinya ada rasa 'arogan' dengan definisi ini. Sedangkan kata 'kaji', 'kajian', mengandung makna belajar atau pelajaran. Jadi 'pengkaji' lebih dekat dengan makna 'orang yang belajar,' yang di situ lebih berasa 'rendah hati' dalam mempelajari sebuah film. Dalam konteks 'belajar', kajian film menggunakan 'rule of the game' (aturan main) yang jelas, logis, mempunyai referensi yang bisa dipertanggungjawabkan dan terukur. 

Dengan perbandingan ini, maka munculnya Kafein (Kajian Film Indonesia) menjadi ruang belajar yang relatif nyaman bagi saya. Karena --menurut saya-- dalam konteks pemahaman dan daya rekam ilmu, manusia sesungguhnya tak memiliki apa-apa, kecuali sedikit. Apalagi sombong dengan ilmu yang dimiliki, manusia tak berhak untuk itu.

 Film sebagai karya kolektif tentu diwarnai berbagai perspektif oleh setiap bagian dari pembuatnya. Bahasa simbol yang dimunculkan pun bukan untuk dimaknai pada penafsiran tunggal, meski ada semacam 'kesepakatan' akan nilai-nilai pemaknaan simbol-simbol tertentu. Maka sebuah kajian film tidak berhenti pada titik penilaian tertentu (statis), melainkan dinamis. 

Melihat fenomena ini, menurut saya akan lebih fair jika sebuah kajian film bisa mendeskripsikan secara jelas rujukan-rujukan yang digunakan dengan pisau analisa yang tajam dan alur logika yang benar. Dengan ini sebuah kajian film akan memberi pencerahan pada setiap penikmatnya. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline