Era perkembangan teknologi sekarang ini telah menjadi mainstream kiblat para generasi muda, khususnya di Indonesia dalam merujuk segala referensi. Baik menjadi sumber kebaikan (ilmu pengetahuan), ataupun informasi negatif; kebohongan (hoax), pelanggaran norma kesusilaan dan norma hukum.
Dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi, hampir bisa dipastikan setiap orang telah bisa mengakses informasi dari segala penjuru dunia. Dunia seakan tanpa batas. Siaran media elektronik televisi dan radio pun mengalami perkembangan demikian dahsyat.
Betapa anak-anak Indonesia sekarang, bahkan sejak SD (Sekolah Dasar) pun telah familiar dengan dunia gawai (gadget). Dengan gawai di tangan, mereka dengan leluasa berselancar kemana saja untuk mendapatkan informasi. Televisi dan Radio pun telah merambah dalam dunia gawai dengan live streaming-nya.
Tentu kita tidak menafikan manfaat yang baik dalam kemudahan mendapatkan informasi, tetapi di balik itu semua, menjadi resiko yang begitu besar untuk perkembangan generasi muda jika dunia penyiaran tidak dikontrol secara baik. Multiple effect-nya adalah beresiko pula terhadap perkembangan generasi muda Indonesia di masa mendatang.
Pendidikan untuk anak bangsa (generasi muda) di Indonesia tidak bisa kita abaikan. Karena di pundak merekalah masa depan Bangsa Indonesia dipertaruhkan. Oleh karena itu menjadi tanggung jawab pemerintah lah pendidikan bagi generasi muda Indonesia ke depan. Kita tidak bisa bergantung pada pendidikan formal di sekolah yang hanya 6 sampai 8 jam sehari. Sedangkan sisanya (16 sampai dengan 18 jam) karakter anak-anak sangat rentan dipengaruhi oleh lingkungannya.
Munculnya regulasi pemerintah tentang penyiaran, yakni Undang-undang No. 24 Tahun 1997 patut kita apresiasi. Meskipun pada gilirannya dinilai telah menjadi alat pemerintah untuk tujuan hegemoni negara yang kental dengan aroma politis. Terutama dalam pasal 7 UU No. 24 Tahun 1997 yang berbunyi : "Penyiaran dikuasai oleh negara yang pembinaan dan pengendaliannya dilakukan oleh pemerintah."
Kemudian seiring dengan laju sejarah dengan reformasi pada Tahun 1998, paradigma tata negara pun mengalami pergeseran. Maka dengan pola fikir yang lebih demokratis, kita patut bangga, pemerintah telah mengeluarkan Undang-undang No. 32 TAHUN 2002 tentang Komisi Penyiaran Indonesia yang dinilai lebih mengutamakan independensi lembaga penyiaran dan menekankan pada partisipasi masyarakat (publik).
Ini dilakukan tak lain karena dunia kepenyiaran dan media massa harus terbebas dari tekanan bahkan kooptasi oleh siapapun, termasuk kepentingan politis. Meskipun demikian, KPI (Komisi Penyiaran Indonesia) pun harus mempunyai "aturan main" (rule of the game) yang jelas dan berorientasi pada kebaikan bangsa Indonesia, terutama dalam mengontrol pendidikan anak bangsa.
Dengan fondasi inilah KPI bergerak dan melakukan kontrol pada media masa, khususnya kepenyiaran. Lalu, bagaimana implementasi dari fondasi tersebut? Di tulisan ini saya akan membahasnya dan bisa menjadi cerminan visi dan misi saya dalam memberikan kontribusi pemikiran pada langkah KPI ke depan.
KPI dan Realitas Era Digital
Era teknologi informasi sekarang ini seakan tak bisa dibendung. Dunia seakan tak ada batas antar negara. Sebelum munculnya telepon, gawai dan internet, komunikasi antar individu hanya mengandalkan tulisan dan dikirim secara manual. Setelah internet masuk di Indonesia sekitar tahun 1990 (Sumber), pergerakan informasi seakan melaju demikian cepat.