Lihat ke Halaman Asli

Nurul Muslimin

TERVERIFIKASI

Orang Biasa yang setia pada proses.

Pajak dan Entrepreneurship

Diperbarui: 10 Oktober 2016   17:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber foto: http://www.rmol.co/images/berita/normal/831502_10390225062015_Pajak_ilustrasi.jpg"][/caption]Sudah menjadi mainstream pengelolaan sebuah negara, bahwa pajak merupakan elemen penting dalam pembiayaan pembangunan, bahkan faktor terpenting dalam konteks Indonesia, ketika pajak menjadi penerimaan terbesar (84,5%) Pendapatan Negara.

Merujuk pada esensi tujuan dikenakannya pajak adalah untuk 'kesejahteraan' rakyat, maka pajak menjadi 'kewajiban' kolektif dan menjadi 'kesepakatan' nasional, karena telah dituangkan dalam undang-undang yang notabene dibuat oleh rakyat melalui wakil-wakilnya di DPR bersama-sama Pemerintah dengan ukuran-ukuran tertentu pula.

Merujuk pada beberapa pengertian tentang pajak, disebutkan bahwa 'pajak' merupakan 'iuran' atau retribusi dari rakyat untuk negara dalam membiayai program-program pemerintah yang mempunyai tujuan (goal) 'kesejahateraan' rakyat tanpa penerimaan manfaat langsung oleh rakyat secara individu, meski mempunyai manfaat tidak langsung kepada masyarakat.

Di sini saya tidak akan membahas detail permasalahan-permasalahan perpajakan, namun saya ingin mengajak kita semua pada pemikiran tentang kesadaran pemahaman terhadap pola perpajakan dan pola entrepreneurship yang selama ini didengung-dengungkan oleh pemerintah sebagai pengelola negara. Sebab tanpa pola perpajakan yang baik, yang terjadi adalah pendistorsian nilai 'kesejahteraan' itu sendiri, munculnya ketidakadilan, dan ujung-ujungnya negara akan mendapatkan resistensi dari partisipasi masyarakat.

Mengapa saya hadapkan pada pola entrepreneurship? Karena bagi kaum entrepreneur --yang bermodalkan kreatifitas,-- prinsipnya adalah bahwa banyak jalan menuju Roma", banyak jalan untuk meraih kesejahteraan rakyat yang notabene menjadi tujuan adanya pajak. Artinya, pajak bukanlah satu-satunya jalan untuk mensejahterakan rakyat? Buktinya, Uni Emirat Arab tidak mengenakan pajak pada rakyatnya.

Mari kita cermati bersama. Kita sepakat bahwa muara manfaat pajak adalah 'kesejahteraan' rakyat. Sedangkan kita tahu, bahwa rakyat sendiri terdiri dari berbagai lapisan; mulai level kaya sampai strata ekonomi marginal, alias miskin. Maka pola pemungutan pajak, berikut nilai-nilainya seharusnya tidak 'melukai' nilai-nilai keadilan, tidak mendistorsi dan menghambat ekonomi masyarakat, sehingga melahirkan kesadaran kolektif masyarakat dalam membangun kesejahteraan.

Dalam konteks ini saya sepakat dengan Adam Smith dalam bukunya An Inquiry into The Natural of Wealth of Nations yang dicuplik Prof. Supramono dalam bukunya Perpajakan di Indonesia, bahwa pengelolaan perpajakan seharusnya berpijak pada asas-asas: equality (kesetaraan) atau keadilan, certainty (pemungutan pajak harus jelas dan tidak sewenang-wenang), convenience (pemungutan pajak di mana wajib pajak harus dalam kondisi nyaman), dan asas ekonomis; pemungutannya haruslah simpel dan tidak berbiaya mahal.

Banyaknya kegelisahan masyarakat terhadap pelaksanaan tax amnesty atau perpajakan secara umum, terutama para pelaku Usaha Mikro Kecil & Menengah patut dicermati, diteliti dan seharusnya muncul rasa empati dari pemerintah dan DPR. Karena di beberapa diskusi dengan teman-teman pelaku UMKM, yang muncul adalah persepsi yang sama, bahwa pola perpajakan yang ada bisa menjadi semacam momok (hantu) yang sewaktu-waktu mencengkeram, menakut-nakuti bahkan bisa bermuara pada pemenjaraan! Karena setiap sisi upaya warga negara dalam beraktifitas ekonomi dibidik dan dikenakan pajak! (Untuk tidak mengatakan dipalak!)

Besaran pajaknyapun patut dipertanyakan, dari mana angka-angka sebesar itu? Sebagai pelaku UMKM kadang saya heran, keuntungan tidak seberapa yang diperoleh dari usaha yang kadang-kadang cukup berdarah-darah, dipotong sedemikian enaknya untuk pajak.

Kemudian yang muncul adalah, adakah pola yang lebih manusiawi? Katanya untuk kesejahteraan? Kesejahteraan yang mana? Ini yang menjadi PR (Pekerjaan Rumah) bagi pemerintah sebagai eksekutor program dengan DPR sebagai pembuat Undang-undang.

Sekarang mari kita tengok pola entrepreneurship. Dunia entreprepeurship penuh dengan kreatifitas. Industri Kreatif pun disupport oleh Pemerintah, oke lah. Berdirinya Bekraf (Badan Ekonomi Kreatif) mungkin mewakili atau sebagai bukti bahwa Pemerintah mendukung industri kreatif, meskipun kiprahnya baru seumur jagung.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline