Lihat ke Halaman Asli

Nurul Muslimin

TERVERIFIKASI

Orang Biasa yang setia pada proses.

The Trust Is No. 1 (Sharing Pola Kerja Modal Percaya)

Diperbarui: 28 Desember 2015   11:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pada pertengahan 2007, setelah gempa Jogja, saya mendapat order kerajinan satu container 20 feet dari Uruguway, Amerika Selatan. Tanpa pernah bertemu dengan buyer, dan hanya komunikasi melalui internet (e-mail), meski dengan negosiasi selama hampir 6 bulan, karena banyak hal yang harus didiskusikan dengan buyer. Warna produk, ukuran, space container, quantity dan tentu, tawar-menawar harga.

Saya pun hanya bermodalkan foto produk, tanpa punya kantor perusahaan, tanpa workshop, apalagi karyawan!. Saya hanya bermodalkan keyakinan untuk meyakinkan buyer saya, bahwa saya bisa dipercaya, serta bermodalkan relasi-relasi bisnis. Uang saya saat itu sekitar Rp. 300.000,- Praktis tak bermodalkan uang. Tapi transaksi itu bisa terjadi dan Alhamulillah lancar. Meskipun buyer sempat tanya ke sana-ke mari mencari tahu siapa saya. Kebetulan yang ditanya adalah teman-teman saya. Tanpa kongkalikong, teman-teman mereferensikan buyer saya untuk tetap melangsungkan transaksi dengan saya. Semua itu kuncinya satu kata ”trust”! Tanpa kepercayaan, semua itu mustahil terjadi.

Lagi tentang ’kepercayaan.’ Pada sebuah pengajian di kampung, seorang kyai pernah bertanya kepada audiens; ”Mengapa penumpang bus itu bisa tidur”? Saat itu semua jawaban audiens salah. Sang kyai menjawab : ”Karena para penumpang itu percaya kepada sopir. Bahwa sopir akan mengemudikan dengan baik dan selamat. Maka para penumpang bisa tidur. Coba tanpa kepercayaan kepada sopir, penumpang akan resah, bahkan takut, serta tak dapat tidur. Kuncinya hanya satu kata ”trust”!

Tentang ’kepercayaan’ dalam bisnis, saya pernah mendapatkan wejangan dari guru saya Prof. Dr. Musa Asy’arie (mantan Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), bahwa dalam bisnis, ”uang bukanlah segala-galanya, meski itu penting. Yang utama adalah ’kepercayaan’. Unsur ’kepercayaan’ inilah yang menjadi fondasi sebuah bisnis, bahkan segala aktifitas pola relasi kita dengan klien, rekan kerja, relasi bisnis atau siapa pun pasti melibatkan unsur kepercayaan. Tanpa kepercayaan, bisnis tidak akan terjadi.

Sekali lagi kisah tentang ’kepercayaan’, dalam sebuah pengajian sekitar tahun 1987, di Masjid tertua di Kudus Jawa Tengah, KH. Thuraihan Al-Bajuri mengatakan bahwa seorang pe-rawi Hadits harus dapat dipercaya. Maka, jika dia mengundang seekor ayam untuk diberi makan dengan menurunkan/melambai-lambaikan tangannya –seakan-akan menggenggam makanan ayam--, tapi ternyata dia tidak memegang jagung/beras/makanan ayam yang lain, maka dia tidak layak untuk menjadi perawi Hadits. Untuk ajaran suci, kasus seperti itu –meski sepertinya sepele—bisa menjadi hal yang sangat menentukan bisa-tidaknya perawi Hadits untuk dipercaya.

Begitu pentingnya unsur ’kepercayaan’, hingga banyak orang yang menempatkan unsur ini menjadi unsur yang sangat krusial. Unsur ini yang menjadi fundamental dari segala urusan. Dalam konteks agama Islam, orang akan masuk agama Islam harus mengucapkan dua kalimat syahadat yang substansinya adalah kepercayaan/iman kepada Tuhan dan Rosulnya.

Berbicara tentang ’kepercayaan’ memang mudah. Tapi merealisasikannya adalah sangat berat. Seperti halnya ketika saya merealisasikan komitmen bisnis, dengan situasi dan kondisi yang berat. Karena faktor bahan baku, pengiriman, regulasi dan lain sebagainya. Itu sungguh menguras enerji. Hanya untuk sebuah ’kepercayaan’ dalam relasi bisnis. Karena jika ini telah terkikis, bahkan hilang, maka resiko yang kita hadapi adalah kita diblack-list, dan klien tak mau lagi berhubungan bisnis dengan kita.

Orang yang mengutamakan ’kepercayaan’, adalah orang yang mempunyai visi bisnis jauh ke depan, berjangka panjang dan berfikiran luas. Sebaliknya orang yang sembarangan mengumbar janji tanpa memberikan komitmen konkrit, adalah sejenis orang yang berfikiran pendek, dangkal dan suka bunuh diri!

Unsur ini (kepercayaan) adalah fondasi segala macam permasalahan hidup. Tidak hanya bisnis di wilayah ekonomi, tetapi relasi sosial juga membutuhkan unsur kepercayaan.

Seniman dengan area ‘kebebasan’ fikir yang kadang terkesan seenaknya sendiri, mestinya bisa memilah dan membedakan dalam pola relasi dengan pihak-pihak lain, apalagi di wilayah bisnis. Seniman profesional seharusnya bisa mengikuti ritme dan aturan main yang ada di dunia bisnis maupun sosial. Sehingga menempatkan unsur ’kepercayaan’ juga di atas, bukan diletakkan di sembarang tempat yang mudah raib.

Menurut saya, pola yang ideal dalam hal pola bisnis adalah profesional dan fairness. Dalam hal dagang, saya sepakat dengan pola Muhammad (Rosulullah SAW), yang mana menerapkan pola fairness. Menjual barang tidak harus menipu dan mengarang cerita! Dengan pola fairness, pelaku bisnis bisa dengan lugas menerapkan dan menginformasikan harga, dan –jika dibutuhkan-- sekaligus HPP (Harga Pokok Produksi/Perolehan) yang ada. Tanpa harus mengarang-ngarang cerita, bahwa barang ini sudah ditawar oleh si Anu sekian! Ini menambah beban hidup dalam skala jangka panjang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline