Lihat ke Halaman Asli

Nurul Mahmudah

Generasi Sandwich Anak Kandung Patriarki

Story of Life: Living with Borderline Personality Disorder

Diperbarui: 14 Juli 2020   21:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

weheartit.com

Pernah denger kata "baperan, lebay, cengeng, aneh, atau bahkan gila?"

Pernah gak sih kita sadar kalo ternyata kata yang menurut kita sepele itu keluar dari mulut kita, bisa berdampak pada kerusakan mental health orang lain?

Aku tau, pasti kalian bilang ini lebay, tapi percayalah, kalimat itulah yang menjadikan aku berada di fase depresi, dan puncaknya? Aku di diagnosis menjadi penyintas BPD (Borderline Personality Disorder).

Menurut data, 1 dari 4 orang di dunia mengalami mental illness, sayangnya isu ini masih dianggap tabu di masyarakat Indonesia. Masih banyak sekali orang-orang yang tidak peduli atau bahkan tidak tau apa itu mental health.

Parahnya lagi, sedikit sekali dari penderita mental illness ini yang berani speak up ke khalayak umum tentang apa yang di derita nya. Karena stigma negative dari masyarakat yang belum bisa membedakan gangguan mental dengan gila.

Ini pengalamanku dengan BPD. Sebagai seorang penyintas BPD, aku punya tingkat perubahan mood yang bisa berubah-ubah secara drastis. Kadang perasaan kecewa bisa saja mampir di dalam diri ini tanpa permisi. Bahkan pernah sesekali perasaan bahagia yang ku ekspresikan dengan tawa lepas direnggut oleh perasaan emosi dan kecemasan secara tiba-tiba. Senyumku menjadi murung dan di moment seperti itu mereka meneriaki aku dengan sebutan "joker".

Dalam beberapa moment aku juga merasakan kesedihan yang amat teramat mendalam untuk hal-hal yang menurut orang lain itu sepele. Mereka memintaku untuk bercerita tentang apa yang aku rasakan, tetapi belum selesai mulutku tertutup mereka sudah berkomentar "lebay banget sih, Cuma gitu doang juga"

Satu lagi yang paling menghancurkan pikiranku adalah, ketika perasaan sensitive ku menghampiri dan aku menjadi mudah tersinggung dengan ucapan dan sikap perilaku orang-orang disekitarku. Tebak apa yang mereka ucapkan padaku? Mereka bilang aku "baperan".

Kupikir awalnya mereka yang tidak bisa mengerti aku, mereka yang selalu menyakiti aku, mereka yang selalu mengabaikanku. Namun setelah ku renungkan lebih dalam, ternyata bukan mereka. Tapi aku. Akulah yang menyebabkan mereka menyakiti aku, akulah yang membuat mereka mengabaikanku, akulah yang membuat mereka membenci aku. Semua perasaan ku yang campur aduk mendorong aku untuk berpikir bahwa lebih baik aku tidak hidup saja, lebih baik aku yang pergi agar mereka tidak lagi bertindak menyakiti perasaanku.

Pikiranku semakin kacau, suara teriakan kebencian mereka semakin nyaring terdengar di telingaku. Semakin kuredam semakin menggema. Tubuhku, pikiranku, jiwaku, semuanya hanya dipenuhi emosi kekecewaan yang berakhir pada goresan demi goresan luka nyata di setiap kulitku. Entah apa hubungan nya, tapi goresan luka ini mampu melampiaskan setiap emosiku. 

Menyakiti diriku sendiri adalah bentuk kekecewaan pada diriku yang selalu merasa tak pernah diinginkan orang lain.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline