Sejumlah pria paruh baya dan pemuda menggunakan pakaian adat lengkap dengan wajah yang dilukis menari membentuk sebuah lingkaran diiringi tabuhan tifa menarik sejumlah pengunjung Festival Danau Sentani (FDS) ke-9 pada Minggu, 19 Juni 2016 di kawasan wisata Khalkhote, Sentani Timur, Kabupaten Jayapura.
Tarian itu dinamakan Tawareh, sebuah tarian persahabatan Suku Kamoro. Khusus pada momentum ini diperuntukkan kepada masyarakat di Sentani Timur, Kabupaten Jayapura yang menjadi tuan rumah penyelenggaraan acara tahunan FDS. Sekitar 25 orang Suku Kamoro yang tinggal di Kabupaten Mimika, Kota Timika, Papua mendapatkan kesempatan untuk menampilkan tarian adat sekaligus memamerkan hasil kerajinan tangan seperti ukiran dan anyaman.
Tawareh yang hanya berlangsung beberapa menit tersebut dilakukan sebelum mereka naik ke atas panggung untuk menampilkan sebuah tari kolosal yang dinamakan Erkata atau tarian ikan. Tarian ini menceritakan dua pihak yang bertikai karena berebut ikan hingga keduanya terlibat perkelahian. Pihak ketiga yang melihat dan mengetahui pertikaian tersebut segera mengeluarkan seluruh kekuatan sehingga muncul banyak ikan dari sungai. Dengan banyaknya ikan, kedua pihak tersebut lekas damai dan hidup rukun. Mereka akhirnya saling berbagi kebahagiaan.
Selain tarian ini, ada satu tarian dari Suku Kamoro lainnya yang menceritakan soal kesetaraan dalam kehidupan dalam sebuah keluarga. Hampir di tiap tarian mereka menyimpan pesan kesetaraan seperti cerita kakak beradik yang mulanya bertikai hingga akhirnya saling mengerti.
Suku Kamoro dikenal sebagai suku asli papua yang tinggal di pesisir bagian selatan pulau. Sebagian besar dari mereka pun adalah nelayan yang lebih senang menangkap udang dibandingkan dengan ikan. Suku ini dahulunya dikenal sebagai pengukir terampil namun banyak kegiatan dan ritual yang secara tidak langsung membunuh kreatifitas dan eksistensi Suku Kamoro karena menyita waktu. Apalagi, kegiatan keagamaan yang dibawa misionaris memberikan ekses yang dinilai terlalu menyita waktu.
Pemerintah mulai mengatur beberapa tradisi dan upacara adat yang dinilai tidak produktif dan bertentangan dengan norma sosial. Pemusnahan senjata tradisional yang digunakan untuk perang antarsuku dilakukan pemerintah agar tidak lagi terjadi peperangan.
"Kami buat lubang besar, semua tombak, panah kami bakar dan kubur. Kami tidak lagi mengenal perang," ungkap Herman Kiripi, pemuda Suku Kamoro.
Namun, bukannya malah dikenal dengan kekhasannya, Suku Kamoro justru tenggelam dalam ketidakpercayan diri dalam menunjukkan eksistensi melalui sebuah karya yang bisa diakui, seperti ukiran atau anyaman serta tidak ketinggalan seni tari. Anak muda Kamoro enggan dengan tradisi dan kebiasaan lama para pendahulunya.
"Harkat dan martabat sebuah suku dinilai dari ukirannya. Makin dikenal makin tinggi," kata Herman.
Kepercayaan diri mereka hampir hilang sebelum seorang pria kelahiran Hungaria Kal Muller pada tahun 1994 membina Suku Kamoro. Melalui pembinaan intensif yang diberikan Kal dalam pengembangan budaya dan pelestarian keahlian yang dahulu dikenal sebagai pengukir dan pengrajin terampil, Suku Kamoro kembali memiliki semangat mengenalkan budaya dan kekhasan melalui tarian dan hasil karya ukiran kepada dunia luar, bahkan sampai Brazil, Belanda dan negara lainnya.
Kal Muller yang saat ini berusia 77 tahun pertama kali menginjakkan kaki di Timika pada tahun 1985. Saat itu, dia belum masif menjalin komunikasi dengan Suku Kamoro sampai kepada tahun 1994, PT Freeport Indonesia merekrutnya sebagai konsultan dan ia mengemban tugas menggali budaya dan kehidupan sosial Suku Kamoro.