Lihat ke Halaman Asli

Nurulloh

TERVERIFIKASI

Building Kompasiana

MLM, Tumbuh bersama Stigma

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1387184267241705243

[caption id="attachment_309064" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi-Multi-Level Marketing (foreverliving.com)"][/caption] Saya kerap mengernyitkan dahi ketika ada orang lain yang mencoba menawarkan untuk bergabung dalam bisnis multi-level marketing atau lebih dikenal dengan akronim MLM dan atau direct selling. Bukan saja karena agen atau anggota dari MLM tersebut yang terlalu mengejar-ngejar calon pembeli atau anggota yang ditawarinya sampai pada kesan memaksa, tapi mereka juga sering mengiming-imingi keuntungan yang di luar nalar. Misalnya saja, seorang teman pernah menawari saya untuk menjadi anggota MLM dan dia menjelaskan dari nol bisnis tersebut hingga menunjukkan melalui video terstimoni orang-orang yang sudah sukses menggeluti bisnis itu sampai memiliki kapal pribadi "speed boat" sampai rumah bak istana. Sesuatu yang mustahil dimiliki terlebih menjanjikan itu semua dapat diraih dalam waktu singkat. Melihat faktor di atas justru timbul sifat pesimis dan antipati bahkan cenderung mencurigai sang penawar bisnis MLM tersebut. Ternyata bukan saya saja yang merasa demikian. Beberapa teman dan kerabat saya juga banyak yang bersikap demikian juga mendengat kata "MLM". Tumbuh bersama Stigma Apakah sudah seperti itu stigma masyarakat terhadap bisnis MLM tersebut? Pada hari Kamis (12/12) siang, kebetulan saya bertemu dengan seorang pengurus APLI (Asosiasi Pedagang Langsung Indonesia) Bangun Simbolon di sebuah cafe di kawasan Sudirman, Jakarta. Di APLI, pak Bangun menjabat sebagai ketua bidang Anti-Money Game. Sesuai jabatannya, dia memiliki banyak referensi tentang bisnis MLM di Indonesia. Sikap saya dan beberapa teman di atas, sempat saya ungkapkan kepadanya dan menyimpulkan pandangan masyarakat yang kian antipati bahkan cenderung mencurigai bisnis seperti ini. Menanggapi hal itu, pak Bangun membenarkan sebagian pandangan saya---dan sebagian masyarakat---terhadap bisnis MLM di Indonesia. "Masih banyak bisnis atau perusahaan MLM yang bermain curang dan belum mendapatkan izin membuka usahanya di Indonesia," aku pak Bangun seraya sedikit membenarkan pernyataan saya. Namun, katanya lagi, dia dan APLI terus berupaya untuk memverifikasi tiap perusahaan MLM yang ingin beroperasi baik yang berasal dari Indonesia maupun luar negeri. Lantas, apa saja yang menjadi syarat dan kriteria bahwa perusahaan MLM itu dapat dipercaya? pak Bangun dengan lugas menyebutkan beberapa kriteria dan syarat untuk mempercayai perusahaan yang bergerak dalam bisnis MLM, diantaranya:

  • Memiliki Perijinan SIUPL (Surat Izin Usaha Penjualan Langsung) dari Kementerian Perdagangan
  • Memiliki compensation plan
  • Sistem berdasarkan performa (margin)
  • Menjadi anggota APLI
  • Memilki produk barang/jasa yang jelas

Tentu masih ada syarat dan ketentuan lain yang bisa menjadi referensi kita sebagai konsumen untuk mempercayai setiap perusahaan yang begerak pada bisnis MLM atau direct selling. Hal yang paling penting menurut saya adalah etika menjajakan suatu barang/jasa oleh penjual harus dikedepankan, jangan sampai ada kesan memaksa! Di samping itu, ada kendala lain yang dihadapi oleh para pelaku bisnis ini, yaitu sikap pemerintah dalam hal ini Kementerian Perdagangan dan BadanKoordinasiPenanaman Modal (BKPM) yang belum serius mengembangkan bisnis MLM. Pengetahuan yang minim terhadap bisnis ini menjadi salah satu batu sandungan untuk mengembangkan bisnis seperti ini. Padahal, menurut laporan World Federation of Direct Selling Association (WFDSA) di tahun 2012 sajaindustridirect sellingmemilikipendapatan 1,088 juta dollar Amerika dan bisnis ini sudah sejak lama ada dan dapat dilihat contoh perusahaan---terpercaya---yang sukses mengembangkannya. APLI melalui pak Bangun mengaku sudah berkordinasi dengan Komisi III (DPR RI) untukdibuatkanundang-undangdirect selling/MLM. Hal tersebut menjadi salah satu bentuk perjuangan mereka agar "diakui" dan "dipercaya" oleh masyarakat luas serta dapat menjadi salah satu jenis usaha yang dapat mengurangi angka pengangguran dan menambah kesejahteraan masyarakat Indonesia.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline