Lihat ke Halaman Asli

Nurulloh

TERVERIFIKASI

Building Kompasiana

Bersosial di Social Media (?)

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Pertumbuhan pengguna internet di seluruh dunia kian meningkat, terutama di Indonesia. Internet atau jaringan internasional yang kita manfaatkan sekarang ini, mulanya hanya "milik" orang-orang yang mempunyai kelas dan kebutuhan khusus serta usia yang tersegmentasi. Kini, hal tersebut tidak nampak lagi, dari ekonomi kelas bawah sampai kelas atas, dari usia muda sampai usia tua, dari pebisnis sampai pengangguran, merasa bahwa internet dengan segala layanan dan produknya sudah menjadi candu dan gaya hidup mereka di samping kebutuhan. Semalam (23/9), di program acara Mata Najwa milik salah satu stasiun televisi swasta, membedah tentang alasan orang bersosial di social media dan fenomenanya, dengan studi kasus jejaring sosial Twitter, dengan 140 karakter yag disediakan kita semua bisa "berkicau" layaknya burung. Social media yang sedang digandrungi seperti Facebook dan Twitter serta lainnya adalah layanan yang ada pada internet yang disediakan untuk semua orang dalam berinteraksi atau bersosial dengan sesama tanpa harus bertatap muka dan saling sapa secara nyata. Hanya melalui yang katanya dunia maya itu, semua orang bisa saling mengenal dan bercengkrama. kemudahan untuk bersosial di internet juga didukung oleh perangkat telepon selular yang memanjakan penggunanya dengan layanan internet. Dimanapun dan kapanpun serta siapapun bisa berselancar dan menikmati "kecanggihan" bersosial di internet. [caption id="attachment_266443" align="alignleft" width="401" caption="Ilustrasi (shutterstock)"][/caption] Namun, apakah dengan bergabungnya kita di dalam social media atau eksistensi kita di media tersebut sudah menjadikan kita sebagai makhluk sosial seutuhnya? Pertanyaan ini semalam memang sudah disimpulkan di program acara Mata Najwa tersebut, yang kurang lebih menyimpulkan bahwa social media atau bersosial di Twitter dan Facebook, nyatanya menjadikan kita asosial. Kesimpulan itu memang perlu dikaji dan cermati bersama. Tentunya banyak orang yang sudah menjadikan social media sebagai candu untuk bersosial atau bergaul, mungkin tidak menerima kesimpulan tersebut karena mereka merasa selama bergabung dan eksistensinya di media tersebut, ia telah mendapatkan banyak manfaatnya seperti memperoleh teman baru dan menemukan atau dapat melakukan kontak kembali dengan kerabat atau keluarga yang sudah lama tak berhubungan. Alasan itu ada benarnya, karena kita juga merasakannya. Tapi kenapa social media dapat dan bahkan menjadikan kita asosial? atau benarkah kehidupan sosial yang kita lakukan di social media hanya semu dan maya seperti dunianya internet? Jawaban yang dapat menjelaskan hal tersebut sebenarnya sangat mudah dan mendasar, yakni kita telah mengikis budaya tegur sapa dan tatap muka di dunia nyata. Merasa bahwa dengan chatting atau berhubungan di social media sudah lebih dari cukup untuk bersosial, menjadi pengikis budaya tersebut. Coba kita renungi bersama dan bayangkan, bila kita berlama-lama di depan komputer atau perangkat yang menyediakan layanan internet, sudah berapa kali kita bertegur sapa serta tatap muka dengan kerabat dan keluarga kita secara langsung ? Dipastikan, hal tersebut telah berkurang dari biasanya jika kita tidak mengenal yang namanya internet atau social media. Dukungan atau penolakan kita terhadap seseorang atau lembaga dan atau kelompok di social media seperti di facebook dan twitter, apakah menjadikan kita secara otomatis mendukung atau menolak dan rela melakukan apapun demi orang/lembaga/kelompok tersebut jika kita berada di dunia nyata ?. Tentunya keadaannya akan bicara lain, bukan?. Karena memberikan dukungan atau penolakan melalui social media dapat dilakukan dengan mudah dan cepat, cukup meng-klik atau menuliskan dan komentar beberapa kata, kita sudah menjadi pendukung atau penolak. Lain halnya jika kita mendukung atau menolak secara nyata yang harus benar-benar melakukan sesuatu untuk suatu dukungan atau penolakan secara riil. Selain itu karakter pengguna social media masih sering mengabaikan etika dan tata cara bersosial di dunia tersebut. Kita kerap menganggap orang yang berhubungan dengan diri kita di social media itu bukan manusia atau orang seutuhnya, sehingga tak sulit bagi untuk mengejek, menghina bahkan meneror. Beda jika kita bertatap muka atau tegir sapa dengan orang yang bersangkutan, ejekan atau makian rasanya sulit terucap. Tak ada larangan, hukumnya pun halal dan tidak ada batasan jika masih dalam koridor, dalam ber-social media tapi hendaknya social media dan semacamnya kita jadikan pendukung untuk hidup bersosial tanpa melupakan budaya tegur sapa dan tatap muka. Kurang elok jika halnya kita menjadikan social media sebagai satu-satunya media untuk bersosial. Sempatkan dan luangkan juga waktu kita untuk bertegur sapa dan bertatap muka dengan kerabat dan keluarga di sela kesibukan dan keasyikan kita berselancar di internet. NuruL

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline