Lihat ke Halaman Asli

Nurulloh

TERVERIFIKASI

Building Kompasiana

Kenapa Harus Aceh ?!

Diperbarui: 26 Juni 2015   17:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ketika anak-anak Aceh kembali tertawa dan bermain riang serta masyarakat Aceh kembali ke kehidupan normal setelah gejolak separatisme Gerakan Aceh Merdeka (GAM), dulu, kini hal tersebut direnggut kembali oleh gerakan dan jaringan teroris yang memilih Aceh sebagai "rumah" mereka untuk melancarkan aksi-aksi teror selanjutnya di nusantara setelah terakhir kalinya terjadi di Jakarta. Pentolan-pentolan teroris di Indonesia yang berhasil diringkus dan dibunuh beberapa waktu lalu, tak menyurutkan niat pada teroris untuk melancarkan aksi-aksinya yang merupakan implementasi dari ideologi mereka. Jamaah Islamiyah (JI), yang memiliki jaringan luas di Asia Tenggara, diduga membangun jaringannya di Aceh. JI, sejak mencuatnya isu terorisme di Indonesia sejak tahun 2000-an, menjadi suatu kelompok yang dicurigai dan saat ini menjadi tersangka atas aksi-aksi teror di Indonesia. Trauma Masyarakat Aceh Bisa dikatakan, masyarakat Aceh mengalami traumatik tinggi akan aksi-aksi separatisme, yang telah membuat mereka terbelenggu selama bertahun-tahun. Hidup penuh dengan ketakutan dan kewaspadaan selalu menyelimuti mereka. Dahulu, ketika GAM masih unjuk "gigi", masyarakat Aceh sungguh menderita. Tiap hari bahkan tiap jamnya, masyarakat Aceh selalu disuguhi bentrokan fisik seperti baku tembak antara GAM dan TNI yang tak jarang menimbulkan pertumpahan darah. Masyarakat Aceh semasa GAM, juga dipertontonkan aksi pembantaian dan seringkali juga, masyarakat Aceh menjadi korban dan salah sasaran. Dengan masuknya jaringan teroris di Aceh, kehidupan mereka kian membelenggu, bukan saja terbelenggu oleh kegiatan teroris yang mengembangkan jaringannya di wilayah mereka, tapi juga dibelenggu oleh traumatik yang sangat mendalam. [caption id="attachment_91190" align="alignright" width="300" caption="Ilustrasi-Kawasan Alue Naga, Banda Aceh (Serambi Indonesia)"][/caption] ACEH, Ladang Basah Saat GAM bergerilya beberapa tahun lalu, Aceh menjadi tempat yang tepat bagi mereka, bukan hanya karena GAM adalah sebuah gerakan yang berasal dari Aceh, namun juga karena faktor kondisi alam Aceh yang masih terdapat hutan-hutan yang dijadikan kelompok separatis untuk bersembunyi dan sebagai markas. Banyaknya hutan-hutan, lembah dan areal pelosok yang jarang terjamah manusia di Aceh, membuat misi para teroris mudah dilakukan. Dengan merekrut beberapa masyarakat Aceh yang kecewa dengan pemerintahan kini (pasca perjanjian Helsinki), jaringan teroris yang katanya juga adalah jaringan teroris terbesar di Asia Tenggara itu dengan mudahnya mendapatkan orang-orang Aceh untuk dijadikan anggota kelompok mereka. Selain itu, Aceh dijadikan rumah oleh teroris karena mereka menganggap GAM masih eksis, yang dulunya pernah menentang dan melakukan aksi separatisme terhadap kedaulatan Indonesia. Teroris memanfaatkan momen ini, dalam proses perekrutan. Jaringan teroris itu juga, berpandangan bahwa masyarakat Aceh memeluk agama Islam, semuanya. Dengan membuka dan mengadakan pengajian-pengajian dan membuat suatu wadah diskusi yang membahas tentang keagamaan, khususnya agama Islam. Tentunya ajaran yang mereka sampaikan itu beraliran keras dan menyimpang serta jauh dari ajaran Islam itu sendiri, yang lembut dan cinta kasih. Melalui wadah dan pengajian tersebut, para teroris dengan mudah mendoktrin masyarakat Aceh, terlebih kepada masyarakat yang kecewa dan tak sepaham dengan pemerintah kota atau provinsi Aceh. Satu lagi, yang menjadikan alasan para teroris menjadikan Aceh sebagai camp mereka, yaitu posisi geografis Aceh yang sangat strategis, di samping geografis Aceh yang masih terdapat banyak hutan, lembah dan tempat-tempat yang "bagus" untuk bersembunyi. Maksud dari posisi Aceh yang strategis yaitu, Aceh berbatasan langsung dengan negara-negara di Asia Tenggara, Asia Tengah dan dapat meluncur langsung ke wilayah Afrika, Eropa dan Amerika. Hal ini membuat peredaran dan pemasokan materi, senjata, dan segala kebutuhan kelompok teroris termasuk logistik yang berasal dari luar negeri. Mereka pun dapat dengan mudah berkordinasi dengan jaringan yang ada di luar Aceh dan Indonesia pada umumnya. Keluar masuk Aceh dengan mudah inilah yang menjadikan alasan besar mereka berdomisli dan mengembangkan jaringannya di Aceh. [caption id="attachment_91192" align="alignleft" width="300" caption="Foto Teroris yang Mati (KOMPAS)"][/caption] Kekeliruan Jaringan Teroris Memilih Aceh Ketika perjanjian Helsinki disepakati antara Pihak RI dan GAM, Aceh kembali damai. Kondisi itu berlangsung hanya sepintas dan berlangsung begitu cepat karena kali ini Aceh kembali "digoyang" akibat masalah dijadikannya Aceh sebagai camp dan rumah bagi jaringan terorisme Asia Tenggara. Kelompok teroris ini memandang bahwa Aceh menjadi ladang basah mereka untuk melakukan aksi dan pembinaan terorisme. Mulai dari Letak geografis Aceh, faktor agama, dan pemanfaatan bekas anggota GAM yang mungkin masih memiliki rasa sakit hati terhadap pemerintah RI. Namun, ada beberapa kekeliruan kelompok teroris ini menjadikan Aceh sebagai rumah mereka, sehingga gerakan dan tindak-tanduk mereka mudah tercium oleh polisi. Pertama, GAM yang dijadikan tameng bagi mereka sudah tidak lagi berseteru dengan pemerintah RI karena telah menyepakati perjanjian Helsinki yang mengikat yang menyusul pada pembubaran GAM dan perdamaian antara RI dan GAM. Bekas anggota dan pemimpin GAM, kini justru membantu kepolisian akan keberadaan kelompok teroris di Aceh. Kerjasama antara bekas GAM, ini sebenarnya modal awal kepolisian dalam mengikuti jejak mereka, yang pada mulanya, GAM dipandang kelompok teroris itu sebagai teman mereka (teroris). Kedua, kondisi alam (geografis) Aceh yang masih terdapat banyak hutan, lembah dan daerah yang tak terjamah oleh manusia, memang merupakan lokasi yang strategis dan bagus untuk membina anggota teroris baru dalam menjalankan segala pelatihan dan pendidikan menjadi teroris. Namun, pada kenyataannya, Kelompok teroris itu bukanlah GAM yang dahulu mampu memanfaatkan kondisi dan keadaan alam di sana. Kelompok teroris dinilai kurang lihai dalam beradaptasi dan memanfaatkan keadaan alam seperti tinggal di hutan-hutan, lembah, rawa-rawa dan pegunungan. Tak heran jika banyak orang yang mudah mengendus keberadaan mereka. Hal ini mengingatkan saya ketika membaca reportase seorang wartawan, Alfian Hamzah yang ikut bersama TNI dalam operasi melawan GAM, pada konflik GAM dan RI terjadi, yang tulisannya itu di terbitkan majalah Pantau. Alfian menceritakan secara gamblang kondisi alam Aceh yang sangat berat untuk bertahan hidup, bahkan TNI saat itu kesulitan menghadapi konsisi alam Aceh. Ketiga, hal yang fundamental dalam setiap gerakan terorisme yaitu soal kepercayaan dan agama. Para teroris itu percaya dan bahkan yakin jika aksi-aksi terornya itu adalah dalam rangka membela agama Allah (Islam). Dari sini, mereka menyebarkan kepercayaan atas ajaran Islam yang menyimpang itu kepada masyarakat Aceh, yang menurut mereka beragama Islam fanatik, mungkin juga karena mereka melihat berlakunya hukum syariah di beberapa kota di Aceh. Kekeliruannya yaitu, pandangan dan keyakinan kelompok teroris itu yang beranggapan bahwa Aceh itu adalah provinsi Islam yang isinya juga orang-orang Islam semua. Padahal dalam kenyataan, Aceh dihuni bukan hanya orang Islam tapi ada juga pemeluk agama lain yang tinggal dan berdomisili di sana. Anggapan ini membuat mereka gencar menyelenggarakan forum/wadah diskusi ajaran Islam yang menyimpang dan radikal serta membujuk masyarakat Aceh melalui pengajian-pengajian yang dilaksanakan di lingkungan warga, padahal tujuan mereka adalah mendoktrin masyarakat akan ajaran Islam yang radikal dan menyimpang itu. Hal ini tentunya mengundang curiga masyarakat lain dan awal dari kegagalan kelompok teroris itu untuk merekrut lebih banyak masyarakat Aceh untuk dijadikan binaan mereka. Tapi walau bagaimanapun, Aceh tetap saja menjadi kurang aman dan masyarakatnya kembali menderita ketakutan akan konflik yang besar sehingga menggangu stabilitas keamanan di sana dan kehidupan yang normal serta tentunya juga menjadi masalah tersendiri dalam upaya pembangunan Aceh yang kini sedang gencar dilakukan, salah satunya dengan mengundang investor baik asing maupun lokal untuk menanamkan modalnya di sana. NuruL

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline