Scenario thinking merupakan salah satu mata pelatihan Moderasi Beragama. Pelatihan ini sangat menarik karena mengajak peserta aktif dan melakukan analisis terhadap lingkungannya. Scenario thinking adalah proses mempertimbangkan dan merencanakan hasil potensial di masa depan. . Seolah-olah, melakukan scenario thinking seperti bekerja dalam alam khayalan. Seseorang seperti merenungkan berbagai kejadian yang mungkin terjadi di masa depan. Sebenarnya tidaklah demikian, dalam scenario thinking diperlukan pemikiran in-depth, mempertimbangkan kemungkinan skenario masa depan yang terjadi. Pendapat yang lainmengatakan bahwa scenario thinking sebaiknya dilakukan oleh expert. Dengan demikian, scenario thinking dapat dipahami sebagai suatu langkah memprediksi suatu kondisi yang akan datang pada suatu kondisi awal dengan cara menyusun rangkaian tahapan dengan asumsi tanpa adanya sama sekali intervensi dari luar.
Bagaimana memanfaatkan scenario thinking untuk dapat menjelaskan tentang urgensi moderasi beragama? Berdasarkan Modul Pelatihan Moderasi Beragama dijelaskan bahwa scenario thinking diawali dengan (1) menjelaskan situasi umum kehidupan beragama di Indonesia saat ini; (2) menyajikan fenomena intoleransi dan ekstremisme keagamaan; dan (3) mengkaji arus paradigma praktik keberagamaan: substantif-inklusif versus eksklusif-legal formalistis.
Kondisi umum kehidupan beragama kita pada sebagian besar masyarakat berlangsung dengan aman dan damai. Toleransi sedemikian rupa terbentuk sehingga tidak tampak konflik di permukaan. Namun, sebagai bangsa besar yang memiliki kekayaan beraneka termasuk di dalamnya sosial, budaya, dan agama, sangat terbuka datangnya konflik yang dapat mengarah kepada perpecahan bangsa. Fenomena intoleransi dapat saja terjadi karena dalam masyarakat yang majemuk dapat timbul pandangan dan sikap yang tidak menyukai bahkan memusuhi kelompok lain. Mengapa? Karena kekurangan atau ketiadaan pemahaman terhadap kelompok di luar dirinya. Seseorang dapat merasa segala yang berbeda dengan dirinya adalah buruk atau tidak baik. Perbedaan tersebut dapat meliputi agama, suku, ras, warna kulit, gender, difabilitas, dan lain-lain. Fenomena ekstremisme keagamaan juga terjadi pada sebagian masyarakat kita. Sikap ekstremisme ini dapat muncul dari kaum terpelajar yang tidak mendapatkan pendidikan agama sejak dini, sebagian adalah di bangku sekolah menengah atas bahkan di perguruan tinggi. Tanpa dasar yang kuat, mereka sangat mudah didoktrin tentang kebenaran ajaran agama islam yang 'mutlak' benar. Dengan demikian, mereka mudah meng-klaim diri sebagai muslim yang paling taat beragama dengan benar, selainnya adalah tidak sesuai alias berbeda. Berikutnya, 2 arus besar paradigma praktik keberagamaan: substantif-inklusif versus eksklusif-legal formalistis juga sedang menjadi tren di sebagian kalangan masyarakat kita. Keduanya berbeda dalam hal keterbukaan terhadap sumber dasar teks keagamaan, misalnya. Sangat diinginkan dalam era yang terbuka dewasa ini di tengah masyarakat yang berwarna, tentu yang substantif-inklusif. Inklusif berarti orang meyakini ajaran agamanya. Meyakini bahwa kebenaran Tuhan itu ada di dalam kelompoknya, tetapi ada ruang-ruang hidup bersama dengan yang berbeda keyakinan dengannya, dan keyakinan tersebut karena Tuhan menciptakan semua manusia. Bukan hanya menciptakan kelompok agamanya, maka prinsip-prinsip dasar ini juga berlaku pada semua manusia.
Selanjutnya, bagaimana tahapan scenario thinking yang dilakukan? Peserta dikelompokkan menjadi 6 kelompok, misalnya. Disediakan 2 kondisi kasus yaitu yang eksklusif dan inklusif. Kelompok ganjil membahas kasus eksklusif dan kelompok genap membahas kasus inklusif. Kasus eksklusif adalah perumahan khusus muslim dan masjid yang berdampingan dengan gereja di Magelang sebagai kasus inklusif. Peserta menggambarkan scenario thinking masing-masing sesuai dengan tugasnya lalu mempresentasikan. Berikut ini scenario thinking yang disusun oleh perwakilan peserta.
Kasus 1. Perumahan khusus muslim. Kondisi awal yang digambarkan adalah masyarakat muslim di perumahan tersebut hidup aman dan damai. Prediksi 15-20 tahun ke depan adalah mulai timbul konflik. Mengapa? Hakikatnya secara wilayah mereka bersama, namun pemahaman keagamaan tidak dapat tersekat seiring dengan perkembangan dan kemajuan teknologi informasi. Ternyata, meskipun semua adalah muslim, pemahaman mereka terhadap agama Islam selanjutnya berbeda-beda. Apalagi pada generasi ke-2 (anak) dan ke-3 (cucu), sangat terbuka ruang pergesekan karena adanya perbedaan tersebut. Ditambah lagi karena kondisi yang sudah tidak nyaman, terdapat beberapa keluarga yang menjual rumah mereka kepada pihak lain, meskipun sama-sama muslim. Potensi konflik semakin besar.
Kasus 2. Masjid yang berdampingan dengan gereja di Magelang. Posisi ini banyak terdapat di wilayah Indonesia, seperti Jakarta dengan Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral. Berdasarkan diskusi kelompok, mereka sepakat, kondisi aman dan damai penuh toleransi ini dapat terjaga selalu. Yakinkah demikian?
Hasil diskusi kelompok di atas adalah dengan asumsi tiada intervensi dari pihak luar terhadap kondisi awal scenario thinking. Di akhir sesi, fasilitator moderasi beragama mengajukan pertanyaan, "apakah diperlukan intervensi agar kasus eksklusivisme perumahan khusus muslim dapat menjadi inklusif; dan bagaimana mempertahankan agar kasus inklusif masjid berdampinagn dengan gereja dalam suasana toleransi yang senantiasa damai?" Ternyata jawabannya adalah urgensi moderasi beragama. Moderasi beragama menjadi gerakan yang hendaknya dilakukan oleh segenap masyarakat . Kebutuhan memiliki cara pandang, berpikir, dan tindakan moderat adalah untuk saat ini dan yang akan datang. Marilah kita terus menggelorakan moderasi beragama untuk mewujudkan masyarakat yang bahagia hidup berdampingan, meskipun dalam berbagai perbedaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H