Lihat ke Halaman Asli

Korupsi dan Pengingkaran Nurani

Diperbarui: 24 Juni 2015   11:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bangsa indonesia perlu melakukan tindakan-tindakan yang drastis dan strategis yang mungkin jarang atau bahkan belum pernah dilakukan oleh suatu negara dimana yang tingkat korupsinya sudah sampai ke hampir seluruh jajaran dengan pengakuan, pengampunan dan penjernihan. Pengakuan yang dimaksud ialah dengan memberi informasi formal atas kekayaan dan pemilikan oleh para pejabat negara yang diperoleh tanpa berpretensi sebagai hasil korupsi. Sedangkan pengampunan diberikan dengan penjernihan 30-40 persen dari kekayaan dan pemilikan masuk ke kas negara.

Kurang lebih itulah yang di kemukakan oleh Warsito Utomo dalam bukunya administrasi publik baru indonesia (2007). Setidaknya apa yang dikemukakan di atas, menjadi masukan dan bahan pertimbangan bangsa indonesia untuk melangkah maju dalam hal pemberantasan korupsi yang semakin terbuka, bebas dan transparan. Maraknya tindakan-tindakan korupsi yang disinyalir telah menjadi budaya penguasa bahkan masyarakat indonesia, telah menyebabkan sulitnya penanganan korupsi itu sendiri. Bahkan pemerintahan seakan mati langkah dalam membuat strategi untuk dilaksanakan dalam menangani tindakan yang berbau korupsi.

Sulitnya penanganan korupsi di indonesia juga di perparah oleh maraknya korupsi tingkat-tingkat daerah bahkan desa. Korupsi yang pada masa orde baru bisa dikatakan hanya terjadi pada tingkat pusat, pada era reformasi ini seakan mengalir pada tingkat daerah bak air mengalir dari pegunungan menuju tempat yang paling rendah. Korupsi yang dulunya bersifat sentralisasi mengiringi sistem pemerintahan yang sekarang sedang dijalankan (otonomi daerah).

PENANGANAN YANG GAGAL

Selama ini, penanganan pemerintahan terhadap tindakan-tindakan korupsi banyak menimbulkan pro-kontra dan tertarik menarik dalam konteks tingkat keberhasilannya. Namun, fakta tidak dapat berbohong dan dengan jujur mempertontonkan bahwa pemerintahan gagal menangani tindakan korupsi. Hal ini didasarkan pada semakin maraknya dan kompleksnya tindakan-tindakan yang berbau korupsi.

Pembentukan lembaga-lembaga yang khusus menanggulangi korupsi yang mungkin dinilai mampu dan efektif memberantas korupsi juga kandas. Lembaga-lembaga tersebut hanya mampu efektif dan mmemberikan gebrakan serta terobosan hanya pada awalnya saja, tanpa mampu mempertahankan idealitas dan sksistensinya. Hal tersebut tidak lepas dari permainan dan serangan balik para koruptor yang merasa terancam dengan adanya lembaga-lembaga tersebut. Sehingga lambat laun lembaga ini sangat memprihatinkan karena menjadi area strategis dan sarang para koruptor berkomunikasi, berinteraksi dan berkembang biak melahirkan koruptor-koruptor baru yang teruji dan handal serta menambah beban negara.

Keroposnya sendi-sendi kekuatan lembaga yang dibentuk khusus menanggulangi korupsi juga disebabkan oleh pelaku didalamnya merupakan kepajangan tangan dari partai-partai politik, hal ini tidak dapat dipungkiri dan sudah menjadi rahasia umum dengan berdasarkan pada banyak fakta yang terjadi, mulai dari penanganan kasus bank century yang sampai saat ini tidak kunjung ada kejelasan, kasus pembangunan wisma atlet hambalang yang menyeret beberapa petinggi partai dan bangsa ini, kasus suap di tingkat pusat maupun daerah, kasus pajak dan lain sebagainya.

Para pelaku penanggulangan korupsi masih merasa terancam akan terpental dari jabatanya ketika pemberantasan korupsi benar-benar dijalankan, walaupun sebenarnya pelaku-pelakunya tersebut orang-orang diluar partai politik. Namun, yang terjadi masalah adalah proses pengangkatannya harus melalui proses politik dan tidak lepas dari peran serta partai politik itu sendiri yang memiliki kepentingan-kepentingan untuk mencapai tujuan masing-masing. Sehingga yang satu dengan yang lain saling tergantung, mengintervensi, mengancam dan menyandera.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline