Lihat ke Halaman Asli

Surat-surat Hujan

Diperbarui: 27 Desember 2017   20:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sungguh, aku tak sampai hati menyaksikan pecahnya tangisan anak tuna rungu  sepuluh tahun itu ketika berpisah dengan Ibunya. Sang ibu memeluk erat tubuh mungil anaknya. Lalu ia mengeluarkan sebuah origami berbentuk burung dari saku bajunya. Dengan ketulusan hati ia memberikan origami itu kepada anaknya. Dari pancaran netranya aku dapat menangkap naluri keibuan yang begitu besar pada jiwanya.

            "Lara, origami ini yang akan menggantikan ibu untuk menemanimu. Ibu berjanji tahun depan akan menjemputmu saat hujan mengguyur semesta seperti sekarang ini." 

            Dengan bahasa isyarat tangannya ia mengatakan sesuatu sebagai respon ucapan manis ibunya.

            "Saat hujan nanti aku akan menunggu ibu. Aku pasti merindukan ibu."

            "Ibu juga akan selalu merindukanmu, baiklah Ibu akan pergi sekarang juga. Sampai bertemu lagi sayang, jadilah anak yang baik ."

            Sebelum berlalu sang ibu lantas mengecup kening Lara dengan hangat. Tangis Lara pun semakin deras ketika punggung bidadari hatinya semakin menjauh. Aku hanya bisa mematung kaku melihat peristiwa pahit itu. Andai saja ia tahu bahwa janji Ibunya itu adalah dusta. Aku mendengar dari mulut orang tuaku bahwa Lara sengaja dibuang oleh Ibunya. Hal itu dilakukannya lantaran  tak tega melihat  anaknya mendapat cibiran pedas orang-orang. 

Segala macam hinaan keji dan caci maki telah ia telan mentah-mentah. Tak sedikit yang mengatakan bahwa kebisuan Lara itu adalah sebuah hukum karma akibat perbuatan yang dilakukan oleh sang Ibu. 

Memang bukan kehendaknya dilahirkan dari rahim seorang pelacur. Bahkan  Ayahnya saja tak jelas siapa orangnya. Namun ia tak pernah memendam benci atas keaadan itu. Demi kebahagiaan putrinya, Ibu Lara memelas kepada orang tuaku agar mau mengadopsi Lara.

Musim hujan telah datang. Batinku miris melihatnya terpekur dibawah ganasnya hujan. Korneanya memandang lekat setiap orang yang melintas di jalan. Menanti asa yang tak mungkin datang. Bagiku itu hanya mengundang kesedihan untuknya. Kucoba menghampirinya dan kupasangkan payung diatas kepalanya agar tak kena terpaan hujan. 

Bau tanah basah karena hujan meraba syaraf penciuman hidungku. Irama kilatan petir menggelitik gendang telingaku. Dinginnya tamparan angin dan percikan hujan menusuk-nusuk epidermis kulitku hingga membuatku menggigil disampingnya. Orang tuaku juga berusaha membujuknya agar mau masuk ke dalam rumah. Namun, ia tetap bergeming. Kami pun menyerah akan keputusannya.  

            "Masuklah ke dalam rumah Lara. Nanti kamu bisa sakit kalau kena hujan terus."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline