Lihat ke Halaman Asli

Nurul Huda

Pemikir dan penganut personifikasisme

Hari ke-8 Perayaan Maulid Ada Tradisi Tekwinan

Diperbarui: 17 Juni 2015   14:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

142001716928912701

[caption id="" align="aligncenter" width="480" caption="Sajian lauk pauk untuk makan compreng penutup acara muludan"][/caption]

Jika kamu berkunjung ke Jawa, khususnya ke Jawa Tengah pada minggu-minggu ini, pada pagi atau malam hari akan banyak ditemui kegiatan masyarakat, khususnya kaum laki laki, yang dipusatkan di mesjid atau surau, hingar-bingar bacaan sirah nabawiyah (sejarah biografi Nabi Muhammad saw) yang dirangkum dalam bait-bait syair kitab Albarzanji, karangan syeikh Ja'far Al barzanji (1183M) mengalun melalui pengeras suara. Ya! Mereka sedang mengadakan rangkaian acara Maulid Nabi, menyambut hari kelahiran Rasulullah. Acara ini berlangsung dari tanggal 1 bulan Rabiul Awwal hingga 12 hari ke depan, tepat hari kelahiran Nabi. Meski Nabi Muhammad bukan orang Jawa dan Islam juga tidak lahir di Jawa, sosok Rasulullah sebagai utusan Allah sangat melekat dan seolah hadir di tengah masyarakat Jawa saat bulan maulid tiba.

[caption id="" align="aligncenter" width="453" caption="Buah - buahan untuk tradisi Tekwinan"]

14200170671249352012

[/caption]

Tekwinan = Layahan

Setiap malam selama 12 hari rangkaian acara maulid, pada akhir acara setelah do'a selalu ditutup dengan acara makan bersama menggunakan compreng, yaitu semacam wadah makan raksasa yang muat untuk 10 porsi. Pada hari ke-8 maulid, selain makan compreng, biasanya porsi suguhan untuk acara maulid ditambah dengan buah buahan khas orang lahiran seperti pisang, jeruk bali, apel, dan buah-buahan asam lainnya. Selain buah-buahan, jajanan pasar juga disajikan, seperti kembang goyang, bongko, semprong, dan jajanan khas lain yang disukai anak kecil. Tradisi ini dikenal dengan istilah tekwinan. Buah-buahan dan jajanan disajikan per porsi dengan wadah piring yang terbuat dari tanah, yang disebut layah. Itulah sebabnya tekwinan disebut juga dengan layahan. Pada kesempatan ini, setiap jama'ah akan mendapatkan jatah satu layah.

Makna Tradisi Tekwinan

Saya sendiri juga belum mendapatkan referensi yang jelas mengenai sejarah tradisi tekwinan ini karena minimnya artikel yang membahasnya. Konon menurut cerita para sesepuh kampung yang saya tanya, tradisi tekwinan ini mempunyai makna filosofi yang menggambarkan suasana penyambutan orang tua dalam menanti kelahiran bayinya yang sudah menginjak tujuh bulan dalam kandungan. Seperti halnya tradisi nujuh bulanan pada saat hamil, dalam tradisi Jawa si orang tua akan membuat rujak buah dan membagikannya kepada tetangga dan keluarga sebagai bentuk kode atau isyarat bahwa si pembuat rujak sebentar lagi akan melahirkan anak. Nah, 7 hari dalam rangkaian acara maulid diqiyaskan seperti kondisi ibu yang sedang menyelenggarakan acara nujuh bulan, itu sebab di tradisi tekwinan dipenuhi dengan suguhan buah-buahan khas nujuh bulan.

Tekwinan menurut Saya

Dalam filosofi Jawa, angka tujuh mengandung makna filosofi yang dalam, seperti nujuh bulanan saat hamil dan nujuh hari setelah kematian, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan kehidupan manusia.

Dalam ilmu kedokteran, pada usia tujuh bulan atau 28 minggu, bayi dalam kandungan sudah mulai tumbuh rambut, kelopak matanya mulai membuka, otaknya mulai aktif, detak jantungnya sudah normal seperti manusia sempurna, si bayi juga sudah bisa mendengar suara dari lingkungan luar rahim (alam dunia). Demikian juga saat proses kematian, di mana tujuh hari setelah kematian, terjadi pembusukan darah dalam tubuh, dan pada fase ini jasad manusia mulai hancur.

Dalam proses menuju dan meninggal dunia inilah yang bagi orang Jawa perlu dikawal atau ditemani, khususnya berlaku bagi orang yang masih hidup, tentu didasari dengan falsafah orang Jawa yang penuh rasa toleransi tinggi. Jika dalam tradisi Jawa kuno "pengawalan" ini bersifat kepercayaan animisme dan dinamisme, seiring datangnya ajaran Islam yang dibawa oleh walisongo, aroma animisme dan dinamisme diganti dengan bacaan-bacaan dzikir dan shalawat nabi. Jadilah tradisi yang bernuansa Islam yang seperti dikenal sekarang. Angka 7 yang "sakral" diganti pengertian atau esensinya dengan hal-hal yang berbau Islam, seperti contoh 7 ayat surat Alfatihah, 7 langit dan 7 bumi yang semuanya berdasarkan pada kitab Al-qur'an dan hadits.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline