Pada hari senin, 21 Oktober 2024, museum transmigrasi mengadakan seminar permuseuman dengan tema "Kolonisasi Sukadana-Metro" seminar ini bertejuan untuk menggali informasi mengenai kolonisasi di Sukadana pada masa kolonial Belanda.
Dengan pemateri bapak Kian Amboro S.Pd. M.Pd. Beliau ialah seorang peneliti dan juga pengajar di Universitas Muhammadiyah Metro.
Pada seminar tersebut bapak Kian Amboro menyampaikan materi mengenai " Kolonisasi Sukadana, Menggali Memori, Mengenali Masakini.
Kolonisasi adalah bagian dari kebijakan pemerintah kolonial Belanda untuk mengatasi pemadatan penduduk di Pulau Jawa dengan memindahkan sebagian populasi ke wilayah Lampung.
Lampung dipilih sebagai lokasi kolonisasi karena tanahnya pinggiran kota, penduduknya belum padat, dan masyarakat lokalnya ramah terhadap pendatang. Program kolonisasi ini dilaksanakan melalui beberapa fase yang masing-masing memiliki karakteristik tersendiri.
Fase pertama yang sering disebut dengan fase percobaan pada tahun (1905-1931) pada fase pertama ini pemerintah Belanda memilih gedong tatan sebagai wilayah kolonisasi pertama.
Pada fase ini semua kebutuhan dan biaya kolonis ditanggung pemerintah kolonial. Pada fase percobaan ini banyak masyarakat kolonisasi yang kabur untuk kembali ke Jawa, hal tersebut menyebabkan kerugian terhadap pemerintah Belanda.
Kemudian kolonisasi fase perluasan pada tahun (1932-1941) pada fase perluasan ini wilayah yg dipilih ialah Teluk betung, Sukadana, Menggala, Kotabumi, Kota Agung.
Pada fase perluasan ini pemerintah Belanda menggunakan sistem Bawon yaitu para kolonis bekerja membawon untuk mengumpulkan modal awal kehidupanya. Hasil upah bawon tersebut akan menjadi modal awal para kolonis membangun kehidupan barunya di tanah yang nantinya diberi oleh pemerintah.
Kemudian kolonisasi Wilayah Sukadana (1935). Kolonisasi Sukadana dibuka pada 25 maret 1935 oleh Residen Lampung H.R. Rookmaaker dengan membuka desa induk pertama di Bedeng 1 Trimurjo.