Lihat ke Halaman Asli

Nurul Hidayah

Jejak Pena

Mata Air yang Tak Pernah Kering

Diperbarui: 29 Desember 2022   15:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

MATA AIR YANG TAK PERNAH KERING

Nurul Hidayah

Ibu adalah malaikat yang Tuhan kirim ke bumi untuk menyirami seluruh makhluk dengan kasih sayang yang tak pernah surut. Ibu adalah pahlawan yang senantiasa maju di depan menghadang segala mara bahaya yang mungkin datang. Meski fisiknya tak sekuat ayah, namun hatinya sangat kokoh sekokoh baja. Jika kamu mencari sosok cinta sejati, maka tataplah wajah ibumu di kedua matanya yang sayu selalu terpancar binar semangat dan kasih sayang yang membara. Hati seorang ibu mungkin seringkali rapuh, tapi dengan segera pulih tersebab rasa cinta yang mengalahkan segalanya.

Kisah kebersamaan seorang anak dan ibunya tak pernah lekang oleh waktu. Ibu adalah aktor yang luar biasa dalam kehidupan kita. Beliau bisa menjadi sosok yang tangguh memikul beban keluarga. Tak jarang kita jumpai sosok ibu tunggal yang mampu melengkapi kekosongan peran sang ayah. Ibu juga bisa menjadi teman bagi anak-anaknya. Beliau dengan mudahnya mampu masuk dalam dunia pertemanan sang anak dan beralih peran menjadi sahabat sejati yang dinanti. Sebanyak apapun peran ibu bagi anaknya, menjadi madrasah pertama adalah peran yang paling mulia. Darinya kita belajar tentang hidup dan kehidupan. Mutiara petuah selalu tersimpan dalam binar matanya. Nasihat semanis madu selalu membasahi bibirnya. Lantas, sudahkah baktimu setara dengan pengorbanannya?

Baginya malam bisa berbalik menjadi siang, dan siangnya menggantikan malam yang panjang. Ada masa dimana sang anak belum tahu bedanya malam dan siang. Di tengah malam bayi masih asyik mengajak ibunya bermain. Hingga dini hari sang ibu tak pernah melepas senyuman. Baginya, letih tak lagi dirasa kala ocehan bayinya menemani malam-malam panjangnya. Tidurnya tak akan nyenyak jika demam mendera buah hatinya. Linang air matanya menjadi penyejuk yang perlahan meredakan demamnya. Mari kita tengok, apakah perjuangan kita untuk membahagiakannya sudah mencapai titik paripurna?

Ketika kaki kita perlahan mampu menapaki bumi, tangan lembut ibunda tak hentinya memapah dan mengiringi langkah. Tak sekalipun dibiarkannya kita terjatuh dan menangis. Kalau pun kemalangan menimpa sang anak, dengan segera ibu akan membasuh lukanya dan perlahan meniupnya. Tiupan lembut dan kata-kata manis sang ibu secara ajaib menjadi obat penyembuh luka. Sudah berapa kali kita mendekap erat ibu kita? Apakah pernah kita usap air matanya? Atau jangan-jangan kita sendiri yang menjadi sebab berlinangnya air mata ibunda? Semoga pertanyaan terakhir ini hanya sebuah prasangka dan tak pernah menjadi nyata.

Pagi itu ibu sudah memandikan kita dan mendandani kita bak putri raja. Diikatnya rambut kita seperti ekor kuda. Disematkannya bedak wangi di wajah manis kita. "Selamat belajar nak penuh semangat, rajinlah selalu tentu kau dapat, hormati gurumu sayangi teman." Bait-bait lagu ini selalu menjadi bekal kita sebelum melangkah ke sekolah. Mungkin ada di antara kita yang selalu diantar jemput oleh ibunda. Atau bahkan ibu ikut ke kelas dan menemani kita yang masih malu-malu duduk di belakang meja. Dengan sabar dan telaten ibu mendampingi kita hingga bel kepulangan dibunyikan. Sekali lagi aku ingin bertanya padamu. Ketika ibu telah memasuki hari tuanya, sabarkah kita merawatnya? Mampukah kita berganti peran dengannya? Kita bantu ibu kita untuk membersihkan badannya, kita suapi beliau dengan lembut, kita temani beliau kemana pun beliau pergi. Ataukah kesibukan kita dengan urusan kerja atau dengan pasangan kita selalunya jadi alasan untuk menunda?

Kini datang masa di mana omelan bunda yang tak kamu sukai tak terdengar lagi. Senyuman terakhir terpahat manis tanpa berganti ekspresi. Tangannya yang senantiasa menggenggam dan mendekapmu kini telah membiru dan terbujur kaku. Lalu kau hanya mampu berteriak dalam sendu, "Ibu, maafkan aku. Aku ingin kembali menjadi putri kecilmu yang mendapatkan limpahan kasih sayangmu. Ibu, tunggu aku sebentar saja, akan kutinggalkan kesibukanku dan kutemani engkau kemana pun kau mau." Ya.. begitulah ratapan penyesalan yang tak memiliki arti. Hingga hati mulai pulih kembali dan bertekad menjadi pribadi yang lebih baik lagi.

Ibu, maafkan anakmu ini. Genggam tanganmu tak akan lagi kulepas. Curahan kasih sayangmu akan kubagikan untuk anakku nanti. Kemarilah, mendekatlah, Nak! Ibu sudah lama rindu ingin mendekapmu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline