Pernikahan dini adalah perkawinan yang terjadi pada saat pengantin masih berusia di bawah batas UU No. 16 Tahun 2019 yaitu 19 tahun. Latar belakang budaya menjadi salah satu dorongan terjadinya pernikahan dini.
Masyarakat yang tinggal di pedesaan masih memegang teguh nilai budaya tentang pernikahan dini karena beberapa mitos tentang anak perempuan yang mereka percaya. Salah satu contohnya adalah pernikahan dini yang terjadi di Kabupaten Sumenep,Madura. Pada 2020-2021, pernikahan di bawah umur mencapai 2.029 kasus.
Menurut data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (2021), sekitar 64.000 anak di bawah umur mengajukan dispensasi menikah selama pandemi Covid-19. Lalu, data lain menurut Badan Pusat Statistik (2018), pernikahan dini meningkat dari tahun 2017 sebesar 14,18% menjadi 15,66% di tahun 2018.
Tradisi sendiri memiliki pengertian yang sama dengan adat istiadat, yang artinya kebiasaan. Hal itu berkaitan dengan nilai, hukum dan norma budaya yang tumbuh di masyarakat tersebut hingga membentuk suatu sistem yang mengikat serta mengatur tindakan sosialnya. Indonesia memiliki keberagaman tradisi. Tradisi tentang pernikahan ataupun perkawinan di Indonesia pun beragam dari setiap daerah.
Sistem perkawinan bagi setiap daerah di Indonesia selalu menyesuaikan tradisi dan adat masyarakat sehingga memungkinkan berbagai daerah untuk memiliki aturan dan adat yang berbeda daerah yang satu dengan daerah yang lainnya.
Berkaitan dengan beragamnya tradisi di Indonesia, terdapat juga tradisi kawin lari dari berbagai daerah di Indonesia yang umumnya berkaitan erat dengan pernikahan dini pula, berikut adalah contoh tradisi kawin lari yang berkaitan dengan implikasi pernikahan dini di Indonesia :
Tradisi Londo iha adalah tradisi perkawinan Masyarakat Donggo, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat. Tradisi perkawinan ini dilakukan atas dasar kemauan sepihak dari calon pengantin tanpa melalui proses pelamaran. Londo iha (kawin lari) di Kecamatan Donggo masih sering dilakukan, selain itu tradisi perkawinan ini sering dilakukan oleh remaja berusia 15-20 tahun.
Dalam tradisi perkawinan ini, pihak laki-laki akan menculik atau membawa kabur remaja perempuan dan mendatangi langsung rumah adat atau kepala dusun. Salah satu alasan tradisi ini dilakukan karena adanya hubungan pranikah yang telah terjadi menyebabkan perempuan hamil diluar nikah .
Tradisi ini masih dilakukan hingga saat ini karena ketidaksetujuan orang tua menjadi salah satu alasan remaja nekat melakukan tradisi ini, dan pihak laki-laki akan dikenai denda jika tidak melaksanakan Tradisi Londo iha.
Tradisi Selarian adalah salah fenomena pernikahan paksa yang dilakukan oleh laki-laki untuk menculik remaja perempuan, agar dapat menikahinya tanpa meminta restu dari keluarga perempuan.
Tradisi ini ditemukan pada masyarakat Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu. Dalam tradisi ini menunjukkan penyebab pernikahan dini karena adanya kejadian seks pranikah, kemauan sendiri, faktor ekonomi, sehingga budaya selarian yang berkembang dari generasi ke generasi pada lingkungan keluarga tersebut.