Tinggal di Indonesia semestinya terbiasa dengan perbedaan. Entah dari suku, budaya, adat istiadat, agama atau kepercayaan. Sayangnya, tidak semua orang dapat perlakuan baik dari orang-orang yang berbeda dengan golongannya sehingga timbul intoleransi. Justru semboyan Bhineka Tunggal Ika menjadi penguat agar tetap bersatu meski berbeda.
Menguatkan perbedaan bisa dengan berbagai cara. Salah satunya membuat kegiatan seperti Festival Kebhinekaan yang sudah ada sejak tahun 2018 dan diusung oleh Ira Latief yang juga berprofesi sebagai tour guide dan pendiri Wisata Kreatif Jakarta. Kali ini saya turut hadir luring di Festival Kebhinekaan 7 "Unity In Diversity" di Perpustakaan Jakarta Pusat. Acara ini berlangsung dari tanggal 17-24 Februari 2024 secara hybrid. Kebetulan saya datang di hari pertama pembukaan.
Alasan saya datang di hari pembukaan karena agendanya menarik yaitu ada talkshow Menyelami Keberagaman Identitas Melalui Perjalanan bersama Agustinus Wibowo, sekaligus soft launching buku terbarunya yang ke-5 berjudul Kita dan Mereka. Setelah itu ada nobar dan diskusi film pendek berjudul Puan Hayati dan Si Malakama di Tanah Istimewa bersama filmakers-nya.
Agustinus Wibowo dikenal sebagai fotografer profesional, penulis buku dan tour leader. Lahirnya buku "Kita dan Mereka" terisnpirasi dari pengalaman hidupnya. Ia dibesarkan sebagai orang Tionghoa di Indonesia yang sejak kecil mendapatkan diskriminasi rasial pada masa orde baru. Berbekal pengalaman itu membuat ia bertanya-tanya tentang identitasnya. Apakah ia mengikuti identitas leluhurnya atau identitas tanah air yang ia tinggali yaitu Indonesia?
Dari kebingungan identitas itulah Agustinus Wibowo melakukan perjalanan ke banyak negeri, bahkan ke tanah leluhurnya. Perjalanan ini untuk mencari jawaban manakah tanah air Agustinus sesungguhnya? Dari perjalanan itu ia berhadapan dengan konflik manusia di negara yang berkonflik seperti India dan Pakistan bahkan ia sempat tinggal selama 3 bulan di Afghanistan.
Buku "Kita dan Mereka" ditulis selama kurang lebih 6 tahun dan diterbitkan oleh Mizan. Tantangan yang ia hadapi dalam penulisan buku yaitu bagaimana memahami konflik manusia yang sangat rumit dan menuliskannya. Bukan hanya konfliknya saja yang dibahas, tapi juga sejarah, bagaimana bangsa tercipta, mengapa bangsa yang satu benci dengan bangsa lain, dan soal garis batas. Tahun 2016 ia juga pergi ke negara Papua New Guinea dan tinggal lama di area perbatasan.
Agustinus Wibowo membuat buku "Kita dan Mereka" dari 3 jenis perjalanan yakni perjalanan fisik dengan pergi ke berbagai negeri dan tinggal bersama warga lokal sehingga tahu bagaimana sudut pandang mereka, kedua dengan perjalanan sejarah dengan membaca buku sejarah tentang agama-agama di dunia, ideologi, dan sebagainya. Ketiga yaitu perjalanan spiritual dengan menggali dalam diri agar memahami alasan manusia membutuhkan identitas.
After break, acara dilanjutkan dengan menonton 2 film pendek dokumenter yaitu Puan Hayati dan Si Malakama di Tanah Istimewa. Film pertama yaitu Puan Hayati yang menceritakan tentang penghayat kepercayaan terhadap Tuhan YME dengan aliran kerohanian Sapta Darma. Aliran kepercayaan ini diwahyukan oleh Bapa Panuntun Agung Sri Gutama pada tahun 1952 di Kediri, Jawa Timur. Penganut aliran ini sudah tersebar di sejumlah wilayah Indonesia seperti Pati, Klaten, Purworejo, Kalimantan dll.