Lihat ke Halaman Asli

Tionghoa, dari Foreign Subject Menuju Kewargaan

Diperbarui: 31 Oktober 2018   21:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Masalah Tionghoa adalah masalah minoritas etnis, yang secara historis terkait dengan pemisahaannya dengan pribumi. Pemisahaan tersebut berimplikasi secara sosial-politik, alih-alih hanya sebatas status hukum.

Sejarah menjelaskan tentang pemisahaan etnis tionghoa secara binner dengan pribumi telah ada sejak masa kolonial Hindia Belanda. Pada masa itu, terjadi penggolongan penduduk berdasarkan ras antara pribumi (inlanders) dengan kelompok-kelompok etnis timur asing (foreign orientals) dan Eropa pada sisi lainnya, dengan menjadikan etnis Tionghoa, Arab, India dan timur asing lainnya sebagai foreign subject (Lan, 2011).

Pada kasus tionghoa, Pemerintah kolonial memang tidak berniat adanya percampuran kelompok Tionghoa dengan pribumi. Pertimbangan politisnya adalah menciptakan semacam kelompok sosial perantara bagi kepentingan ekonomi kolonial dari golongan pribumi dengan menciptakan hirarki sosial dan legal. Salah satu bentuknya adalah membangun pemukiman eksklusif (Pacinan) (Lan; 2011 dan Asgart, 2006).

Hirarki sosial dan legal tersebut seolah-olah menguntungkan kelompok Tionghoa, namun pembagian tersebut memperkuat status foreign subject. Artinya, tidak hanya soal perbedaan Tionghoa secara primodial berbeda dengan pribumi, namun juga secara hukum terdapat hak-hak dan kewajiban legal yang berbeda.

Perbedaan diperjelas sejak pemberlakukan pajak per-kepala bagi orang Tionghoa, sementara warga pribumi tidak. Oleh sebab itu, warga Tionghoa yang tidak mau membayar pajak memotong rambutnya dan menjadi pribumi. Mereka ini kemudian dikenal dengan kelompok "peranakan." Puncak protes terhadap pembedaan pembayaran pajak tersebut melahirkan peristiwa Chinese massacre di Batavia, 1740 (Lan, 2011).

Membangun Kewargaan

Pascakemerdekaan, UU kewarganegaraan 1948 tidak mempermasalahkan identitas etnis foreign orientals dengan basis stelsel pasif berasaskan ius soli, sehingga semua warga Tionghoa dinyatakan sebagai warga Indonesia.

Persoalan muncul setelah klaim RRC yang menganut asas ius sanguinis atas warga Tionghoa di Indonesia, yang kemudian berlanjut dengan persetujuan penyelesaian dwi-kewarganegaraan antara RI dengan RRC. Sejalan itu, Indonesia mengubah stelsel pasif menjadi stelsel aktif berdasarkan UU No.62/1958 tentang kewarganegaraan dan aturan pelaksananya melalui PP No.20/1959.

Akibatnya, warga Tionghoa menjadi asing kembali dan harus memilih sebagai warga negara Indonesia dan menyatakannya secara resmi di depan Pengadilan Negeri, termasuk di dalamnya golongan peranakan Tionghoa. Pemberlakukan UU No.62/1958 merupakan kelanjutan konsep status foreign subject yang diadopsi dari politik kolonial Belanda terhadap kelompok Tionghoa.

Pada akhirnya, UU ini dicabut melalui UU kewarganegaraan baru (UU No.12/2006) pada masa reformasi. (Lan, 2011). Secara prinsipnya, pemberlakukan UU Kewarganegaraan baru mengakhiri dualisme kewarganegaraan kelompok Tionghoa dengan menghilangkan prosedur pengajuan warga negara Indonesia dan penghapusan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI) yang deskriminatif, terkecuali bagi mereka yang naturalisasi (Anam, 2016).

Dalam konteks ini, kelompok Tionghoa mempunyai status yang sama sebagai warga negara. Ekspresi budaya dan bahasa Tionghoa juga telah secara bebas dilaksanakan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline