Lihat ke Halaman Asli

Nurul Fajriyah

Mahasiswa Hubungan Internasional

Suzy Buktikan Kualitas Vokal sebagai Pansori dalam Film "The Sound of Flower" (2015)

Diperbarui: 1 Juni 2022   12:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Film. Sumber ilustrasi: PEXELS/Martin Lopez

Dewasa ini kita melihat korea Selatan sebagai negara dengan industri permusikan yang sangat maju. Korean Pop (K Pop) dipandang sebagai representasi negara yang paling terkenal. Perkembangannya pun bukan hanya berputar di Korea Selatan sendiri, namun menyebar ke berbagai penjuru negara sehingga menciptakan istilah yang biasa dikenal sebagai Korean Wave. Korean Waves sendiri bisa diartikan sebagai gelombang doktrinasi dari budaya Korea Selatan baik melalui K-pop, relity show, drama-drama serta film-film yang menampilkan mengenai kemesraan dan alur cerita yang tak jarang meluluhkan hati.

Apabila kita tetap berkaca dari industri permusikan Korea Selatan, tidak luput pula dari pikiran kita mengenai boy band dan girl band (idol)  yang disetiap penampilan menggunakan pakaian modern dan lantunan musik yang bermacam-macam iramanya. Semua itu adalah bentuk dari perkembangan dunia permusikan. Sebab kita tahu bahwa Korea Selatan sendiri memiliki budaya tradisional yang tak kalah menarik pula. Tapi pemerintah Korea Selatan nampaknya lebih memusatkan diplomasi dan daya tarik negara kepada idol tersebut. Hal tersebut biasa tercermin dalam kegiatan kemanusiaan seperti UNICEF atau agenda PBB yang di wakilkan oleh salah seorang personil dari band atau keseluruhan personil band itu sendiri.

Tapi pernahkan dibenak kita terpikir tentang bagaimana perkembangan permusikan dari budaya klasik asli Korea Selatan itu sendiri saat ini? Walaupun di berbagai media sosial, mata dan telingan kita difokuskan dengan penampilan para Idol. Tetapi bila kita tilik kembali, ternyata Korea Selatan juga punya budaya tarik suara sekaligus akting dan musik berbentuk pementasan Theater  yang turut serta menjadi representasi kebanggaan negara ini. Pertunjukan itu disebut sebagai Pansori.

Pansori adalah seni tarik suara yang terdiri dari Pencerita sekaligus penyanyi (Sorikkun) dan sebuah alat penabuh dan di kendalikan oleh 1 orang pria. Pansori bahkan bisa dimainkan hanya oleh seorang Sorikkun dan seorang penabuh. Seni ini adalah salah satu cara bercerita yang sangat unik sebab pemainnya melantunkan bait-bait dan narasi cerita yang terdengar sangat berbeda dari kebanyakan gaya bercerita lainnya.

Dalam sejarah perkembangannya, Pansori telah ada sejak jaman keraaan Joseon yaitu pada abad ke17 sebagai bagian dari praktik perdukunan. Lalu selama masa trasisi ke abad-abad selanjutnya, seni ini lalu mengalami ratusan tahun dinamika perkembangannya, mantra-mantra yang dilantunkan kemudian diwariskan dari generasi ke generasi. Sehingga berlanjut ke abad 19, Pansori kemudian beradaptasi menjadi kesenian dengan ciri penampilan musikal dan pada kala itu sering di pentaskan sebagai hiburan untuk masyarakat-masyarakat kalangan bawah beserta raja-raja.

Dinamika perkembangan kesenian ini juga mengalami penurunan pada abad ke-20, sejak terjadinya invasi Jepang dan westerenisasi di semenanjung Korea Selatan yang kemudian mempopulerkan musik-musik modern yang berkembang saat itu. Namun, Pansori mulai aktif lagi berkat upaya dan kinerja dari berbagai pihak terkait yaitu pada tahun 1960.

Seiring dengan perkembangan jaman, Pansori ditetapkan menjadi warisan budaya sebagai "karya kemanusiaan lisan tidak berwujud" oleh UNESCO sejak tahun 2003 dan mendapat lebih banyak pengakuan lain setelah itu. Pada perkembangan sejarah pemain, sejatinya seni ini hanya bisa dibawakan dan hanya dilatih serta di pentaskan oleh kalangan Pria saja. Namun dinamika pada saat itu memberikan tempat bagi kaum wanita untuk bisa dilatih dan belajar di dalamnya.   

Dalam bahasa Korea, Pan berarti tempat orang-orang berkumpul dan Sori berarti suara. Kemudian, yang di sebut sebagai Sori adalah suara yang bentuk, asal dan maknanya berbeda-beda. Bisa jadi merepresentasikan suara binatang, suara air, suara keramaian orang-orang dan masih banyak lagi, sehingga terciptanya emosi dari narasi cerita yang dibawakan.  

Seorang sorikkun harus bisa melakukan 3 hal sekaligus yaitu bercerita, menyanyi dan berakting. Walaupun saat mendengar penampilan yang dibawakan sorikkun orang-orang tidak terlalu paham dibuatnya, tetapi emosi yang dibawakan oleh sorikkun itu sendiri sudah cukup untuk menjadi representasi makna cerita yang ia bawakan.

Menurut pengamatan Penulis, kesenian ini memang masih kalah saing dibanding perkembangan musik yang dibawah oleh bangsa asing pada abad ke 20. Asumsi ini di landasi oleh adanya kesulitan saat mencari berita dari sumber yang kredible serta Penulis melihat bahwa di tahun 2019 ini, Pansori tidak setenar pada tahun 2015.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline