Kasih meyakini dirinya untuk tidak menyerah. Hari demi hari yang dilewatinya terasa begitu berat. Entahlah, dia sendiri bingung akan sikap dan caranya menjalani hidup.
"Aku harus bisa," batinnya.
Dia terkadang menabalkan diri sebagai ibu tidak berguna. Sering dia marah berlebih kepada anaknya karena dorongan emosi dan kejengkelannya yang tidak beralasan. Emosi yang tidak jelas dan kejengkelan yang tidak bersebab.
"Yah, tolong bawa keluar kain yang udah Bunda cuci ya!" pintanya di saat suaminya terburu-buru ke kantor.
"Maaf, Bunda ... ayah sedang buru-buru harus segera pergi. Hari ini ada pengawasan di kantor" jawab suaminya.
Sang suami bergegas pergi setelah menyelesaikan sarapannya. Begitu terburu-burunya hingga dia benar-benar lupa menyempatkan diri mencium bayinya hari ini. Dia hanya berkata, "Bunda ... Ayah pergi ya!" Suara terucap beriringan dengan suara pintu depan rumah ditutup.
Bayi mungil bertubuh montok, berkulit bersih karunia Tuhan untuk mereka. Usianya kini baru memasuki sebelas bulan. Masa di mana dia sedang aktif-aktifnya belajar berjalan. Kehadirannya benar-benar dinanti. Masa-masa sang buah hati masih di dalam kandungan dijaga dan dididik dengan baik.
***
Kasih berusaha sebaik mungkin menjadi calon ibu. Ia berusaha memperkaya diri membaca berbagai sumber bacaan terkait dengan kehamilan. Ia yang sedang berada di semester akhir perkuliahan harus menjalani pernikahan jarak jauh atau oleh orang-orang jaman now menyebutnya long distance married (LDM).
Masa-masa LDM dilaluinya dengan semangat, penuh rasa percaya diri dan dorongan dalam diri yang begitu luar biasa.
Dia begitu antusias melalui hari-hari tanpa suami. Kasih seorang diri di perantauan. Kala itu, Kasih memutuskan tinggal di sebuah rumah kontrakan yang berjarak tidak begitu jauh dari kampus biru.