Historiografi merupakan penulisan maupun pemaparan laporan hasil penelitian sejarah yang telah dilakukan, sehingga memberikan gambaran yang jelas mengenai proses penelitian sejak awal (fase perencanaan) sampai dengan akhirnya (penarikan kesimpulan) (Abdurrahman, 1999 : 79). Jika diperhatikan, Indonesia memiliki perkembangan dalam historiografi yang terdiri dari Historiografi Tradisional, Historiografi Kolonial, dan Historiografi Modern. Historiografi memiliki berbagai fokus kajian aspek kehidupan yaitu segi ekonomi, politik, sosial, kebudayaan, dan lainnya yang digunakan sebagai sarana informasi sejarah. Salah satu Historiografi yang meninggalkan kearifan lokal di Indonesia yaitu Historiografi Tradisional.
Historiografi Tradisional merupakan sumber hasil penelitian yang ada pada zaman Hindu sampai perkembangan Islam di Indonesia. Penulisan sejarah pada zaman ini biasanya mengenai pemerintahan raja, kerajaan-kerajaan di Indonesia dengan cerita bersifat istanasentris. Dalam penulisan historiografi tradisional selalu erat dengan unsur-unsur sastra, sebagai karya imajinatif dan mitologi, sebagai pandangan hidup yang dikisahkan, sebagai uraian peristiwa masa lampau, seperti cerita dalam babad ataupun hikayat. Hal ini tidak terlepas dari sejarah kerajaan Hindu di Indonesia salah satunya yaitu Kerajaan Majapahit. Kerajaan Majapahit merupakan kerajaan Hindu tersohor yang mengalami kemajuan pada pemerintahan Hayam Wuruk dan kendali Patih Gajah Mada.
Gajah Mada merupakan tokoh paling menarik dalam sejarah Indonesia. Namanya terus hidup sebagai negarawan besar yang dikatakan mempersatukan seluruh Indonesia dibawah satu raja. Gajah Mada sering digambarkan sebagai “patih Majapahit, berani, bijaksana nasihatnya, dapat diandalkan, setia dengan jujur kepada raja, mahir berdebat, jujur, sederhana, bersiaga, dan bertekad bulat ketika menjalankan perintah Yang Mulia” (Vlekke, Bernard. 2008 : 87). Perjuangan dan kepatuhan Gajah Mada menjadikan Kerajaan Majapahit mencapai puncak, sehingga hal ini sangat menarik untuk dibahas karena mengandung kajian historiografi bertema politik yang dilakukan oleh Gajah Mada.
Awal Mula Karir Gajah Mada
Pada Buku “Gajah Mada: Makar Dharmaputra” Karya Langit Kresna Hariadi merupakan seri pertama Gajah Mada yang terdiri dari 51 bagian berisi mengenai perjalanan awal Gajah Mada. Buku ini menjelaskan terjadinya pemberontakan besar pada pemerintahan Jayanegara pada kerajaan Majapahit saat itu. Pemberontakan ini membuat Gajah Mada diperintahkan dan dipercaya menjadi pemimpin pasukan khusus untuk menyelesaikan masalah ini. Gajah Mada dijelaskan sebagai sosok pemuda bertubuh kekar, badan dan pikirannya sehat, prajurit muda yang memiliki kelebihan khusus dibanding prajurit lain, menguasai kemampuan bela diri, juga memiliki kecerdasan dalam menghadapi keadaan rumit. Semangat Gajah Mada dan Pasukannya dapat mengalahkan lawan dan menyelamatkan Jayanegara di salah satu desa terpencil di Bojonegoro. Memenangkan pemberontakan yang telah berjalan 9 tahun merupakan awal keberhasilan Gajah Mada.
Historiografi Politik Kejayaan Gajah Mada pada buku ini membahas mengenai perjalanan awal karir seorang Gajah Mada sebagai pemimpin pasukan perang Ra Kuti. Gajah Mada juga digambarkan sebagai sosok pemuda yang kuat, cerdas, dan tangguh. Gajah Mada juga diceritakan sebagai sosok yang berhasil membereskan pemberontakan yang berlangsung selama 9 tahun tersebut.
Perjalanan Hingga Berhentinya Karir Gajah Mada
Lalu, perjalanan Gajah Mada dilanjutkan buku karya Langit Kresna Hariadi seri selanjutnya. Dalam seri ketiganya yang berjudul “Gajah Mada: Sumpah Di Manguntur” dengan 47 bagian ini menceritakan kesibukan Gajah Mada saat menyiapkan penyambutan Raja Aditiawarman dengan menunjukkan kekuatan militer dan tidak mengetahui benda pusaka Kerajaan Majapahit hilang. Keberhasilan menampilkan kekuatan militer membuat Aditiawarman bersedia menerima kerja sama dengan Gajah Mada. Lalu, saat Gajah Mada mengetahui benda pusaka Kerajaan Majapahit hilang, ia membagi pasukannya melawan kawasan Keta dan Sadeng. Atas kekuatan dan bantuan Aditiawarman, Gajah Mada berhasil menjadi pemimpin pertempuran yang membawa kemenangan dan benda pusaka kembali. Dalam buku ini juga dijelaskan Arya Tadah menurunkan kekuasaanya kepada Gajah Mada, sehingga muncullah Sumpah Hamukti Palapa yang berisi keinginan Gajah Mada untuk memperluas wilayah Majapahit. Selain itu, Gajah Mada juga memutuskan tidak beristri dan ingin mengabdikan diri sepenuhnya kepada negara untuk mewujudkan Majapahit yang besar, jaya, dan gemilang.
Historiografi Politik Kejayaan Gajah Mada pada buku ini membahas usaha Gajah Mada dalam memperluas kerajaan Majapahit bahkan mengajak kerjasama kerajaan lainnya. Hingga Gajah Mada berhasil memenangkan pertempuran dan mengembalikan benda pusaka Kerajaan Majapahit. Pada Historiografi ini Gajah Mada dipercaya Arya Tadah untuk menjadi penerus Mahapatih Kerajaan Majapahit sehingga ia mengeluarkan Sumpah Hamukti Palapa sebagai bentuk perwujudan pengabdiannya pada Kerajaan Majapahit.
Namun, pada buku “Gajah Mada: Hamukti Moksa” Karya Langit Kresna Hariadi seri kelima ini dijelaskan pada 58 bagiannya bahwa semua orang termasuk Hayam Wuruk menyalahkan Gajah Mada sebagai penyebab Perang Bubat karena dianggap salah menyampaikan informasi pada Kerajaan Sunda yang memicu pertempuran. Melihat Maharaja hancur, masyarakat dan beberapa pejabat yang tidak suka dengan Gajah Mada menyerbunya di Istana Kepatihan. Sebelum Gajah Mada memberikan penjelasan, ia diputuskan oleh Maharaja untuk dicopot jabatannya sebagai Mahapatih yang merupakan hasil dari surat perintah dari sidang Pahom Narendra. Menceritakan mengenai karir dan perasaan Gajah Mada yang hancur. Buku ini menjelaskan juga mengenai arti Gajah Mada moksa yaitu menghilang dari istana kepatihan dan melakukan perjalanan pengasingan diri ke Madakaripura. Setelah mengasingkan diri, ia kembali memegang jabatan Mahapatih. Namun, keutuhan Majapahit tidak lagi seperti dulu karena kecanggungan Mahapatih dan Maharaja menjadi tanda awal kemunduran Majapahit.