Lihat ke Halaman Asli

Aforisma Cita-Cinta

Diperbarui: 26 Juni 2015   00:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1 Agustus 2011

Geger Kalong menampilkan sisi jumawanya, angin malam membuat situasi menjadi kian hening. Aku membalut badanku dengan selimut lalu merebah di atas kasur milik Shanti. Malam ini aku memutuskan untuk tidur di kamar Shanti, teman satu kostku, agar aku tidak terlalu kesepian.

Aku berbaring sembari menekan dua belas digit nomor lalu menekan tombol panggil selama lima belas kali dan selama lima belas kali itu operator selalu menjawab, “Periksa kembali nomor tujuan Anda,” mungkin nomornya sudah tidak aktif, aku tidak menyerah, ku tekan lagi nomornya berkali-kali walau hasilnya nihil.

“Mungkin dia udah ganti nomor, Nai,” Ujar Shanti tanpa mengalihkan tatapannya dari layar notebook, dia masih sibuk mengerjakan tugas Fisika.

“Mungkin. Tapi tenang aja, aku bakal terus berusaha ngehubungin dia,”

“Naila, dengar! Sahabat bukan tempat untuk menggantung. Kamu mustinya sadar, dari tadi kamu cuma ngabisin waktu buat ngehubungin dia. Coba kalau waktumu dipake buat ngelakuin kegiatan yang bermanfaat, pasti hidup kamu lebih bermakna.” Shanti meninggikan nada suaranya, matanya yang sayu berubah menjadi tajam setajam kata-kata yang ia lontarkan.

“Nai, kamu tau ga? Kalo kita bakal nemuin berjuta-juta kesenangan saat kita menemukan orang-orang baru dan hal-hal yang baru, coba bandingin kalo kita melulu dengan sahabat kita?”

“Shanti, itu Teori Gua Plato! Itu Teori Gua Plato!”

Teori Gua Plato, kata-kata itu tiba-tiba meluncur dari mulutku, kata-kata yang selama ini aku cari maknannya, kata-kata yang menghubungkanku dengan masa lalu, kata-kata yang dijadikankata kunci olehnya untuk pergi, pergi tanpa pesan, pergi meninggalkanku.

~nu~

“Oi, Nanai! Kesotoyan apa yang kamu dapet hari ini?Ini adalah jenis kalimat pembuka setiap kami bertemu di dalam dunia maya.

“Ketemu orang unik, Gi. Sotoy, kan?” Aku menjawab

“Unik gimana? Cerita atuh!”

Dasar orang Garut! Karakter Sundanya selalu saja melekat bahkan dalam tulisan.

“Tadi siang, aku ketemu sama Mas Bakso Alhamdulillah, Gi. Setiap akhir kalimatnya selalu dibubuhi kalimat Alhamdulillah. Inti dari cerita ini, dia selalu bersyukur, di setiap kalimatnya gakada cercaan atau makian, hanya bersyukur. Ia hanya terus bersyukur,”

“Wow, sangat sotoy!”Dalam kamus kami, sotoy berarti hebat.

“Dan kamu, Gi. Kesotoyan apa yang kamu dapet hariini?” aku kembali bertanya.

“Kesotoyan yang susah diungkapkan, hari ini hanya terus deg-degan,” dia menjawab.

“H-3 ya?”Aku bertanya, hanya untuk sekedar memastikan.

“Iya, Nai. Deg-degan karena perjalanan ke sana gak cuma menembus batas geografis, tapi menembus budaya baru, bahasa baru, iklim baru, orang-orang baru, semuanya baru,”

“Iya, aku ikut senang, aku bangga punya sahabat kaya kamu, bisa kuliah di luar negeri,”

“Kamu bakal nyusul dengan gratis, kuliah di sana dengan gratis, sama kayak aku,” dia memberi harapan.

“Mana ada jalan untuk orang yang gak pintar?” emosi negatifmenyengat rongga dada, aku mengetik tanpa rasa semangat.

“Bukan pintar, tapi beruntung. Jadilah orang yang beruntung, namun jangan hanya mengandalkan keberuntungan, ingatlah bahwa Tuhan menghargai proses, jadi maksimalkan dulu prosesmu lalu mintalah keberuntungan.” Kadang harus kuakui bahwa kalimat yang ia utarakan selalu mengandung makna yang sangat dalam.

“Terima kasih,” aku tersenyum.

“Kita ketemuan 5 tahun lagi, ya” ketiknya dengan penuh keyakinan.

“Tunggu aku di depan Musee de Louvre, di depan piramida kaca, aku bakal nyampe kira-kira pukul dua belas siang, aku pake kaos putih. Jangan lupa, badanku yang gendut ini suatu saat akan berubah menjadi kurus, jadi pastikan bahwa kamu bertemu dengan orang kurus dalam kaos putih.”

“Gila, kamu!”ujarku

“Haha…” ketiknya

“Nai, tahu Teori Gua Plato?” dia membuka topik baru.

“Ngga, aku gak tahu,” ujarku di tengah-tengah tegukan pahitnya kaffeine

“Teori Gua Plato mengatakan tentang orang yang lebih senang diam di gua, dia memilih jalan itu karena dia merasa menemukan kesejahteraan di sana, dia tidak tahu dan tidak mau tahu bagaimana keadaan sebenarnya di luar gua, dan…” dia menghentikan kata-katanya, aku pikir dia hanya ingin mengusik perhatianku.

“Dan? Lanjutkan!” aku kembali mengetik tanpa menambahkan emoticon-emoticon untuk menggambarkan ekspresiku.

“Dan ketika dia mencoba untuk menghirupudara di luar gua dia sangat kaget!”

“Kaget kenapa?” mataku tidak berpaling dari layar laptop saat itu.

“Dia menemukan beribu-ribu kali lipat keindahan dibandingkan dengan keindahan di dalam gua!”

“Waw!” tambahku

“Kamu mengerti maksudku?” dia bertanya.

“Aku nggak ngerti, apa maksud kamu menceritakan ini? Kamu sebenernya mau bicara apa? Ayo ceritakan, Gi! Gak usah muter-muter ke Teori Gua Plato!”

“Suatu saat, kamu pasti akan mengerti =) ,” kadang dia menjadi sangat sulit dipahami.

“Oia, Sekarang jam dua belas malam, aku hampir mati, aku ngantuk,” dia menambahkan.

“Baik, kalau begitu,” Aku hanya tertegun pasrah, pertanyaanku tak kunjung ia jawab

“Selamat tidur,” dia menutup perbincangan kami malam itu.

Sekarang, aku baru sadar, bahwa itu adalah percakapan terakhir kami.

Dan aku lebih hampir mati ketika harus menyadari itu.

~nu~

“Apaan, Sih, Nai. Kamu rempong banget, ga mau diem! Teori Gua Plato itu apa, heh?”Shanti mengusik hayalan alur mundurku.

“Ah, Lu tuh, ya! Bawaannya komentar mulu!”Aku bersungut sambil bersandar di ranjangnya. Sedikit demi sedikit kupelintir bulu-bulu pada selimut Shanti sampai membentuk pilinan kecilyang terdiri dari bulu selimut lalu kumasukan ke lubang hidungku sembari sedikit menggoyang-goyangkannya, suatu kebiasaan yang kubawa sedari kecil, rasanya kurang afdol jika tidak melakukan hal itu sebelum tidur. Tidak sopan.

“Woy! Itu selimut gue! Lepasin, ga?!” Shanti berteriak mengancam. Tangan kirinya menarik paksa selimutnnya, sedang tangan kanannya membentuk sebuah kepalan, matanya menajam mengancam, aku tersenyum santai dengan mata sedikit terpejam.

“Nai, gue serius, nih! Lepasin dong, ko kamu dzalim banget sih sama selimut orang!”

“Iya, deh aku cerita,” Ucapku seraya memberinya senyuman manis.

“Iya, tapi lepasin dulu selimut gue!” dia masih mengancam, menatap bola mataku lekat, sekonyong-konyong kulepaskan selimutnya, lamat-lamat tatapannya kembali pada layar komputernya, aku mulai bercerita.

~nu~

Ini bukan cerita FTV yang biasa tayang di TV swasta sore-sore yang menceritakan tentang dua siswa SMA yang saling kenal karena rebutan taksi, bersamaan mengambil buku yang jatuh, atau bertabrakan saat berjalan. Kami mengenal satu sama lain saat kami yang masih memakai seragam putih abu beradu argumen di depan layar komputer. Kami selalu bertengkar, aku sempat membencinya, namun di lain sisi aku mengagumi pemikirannya, dia lebih dewasa daripada umurnya.

Aku mencoba mengenalnya, ternyata dia tidak seburuk yang aku pikirkan, kami sering larut dalam malam hanya untuk berbagi kebodohan yang menjerat kami, kepenasaran yang menghantui kami dan ketidaktahuan yang tidak kami ketahui.

Suatu saat aku dibuatnya hampir begadang, dia bercerita tentang cinta pertama dan cinta matinya, Putriana Husnun Nisa. Dia berpikir bahwa gaya gravitasi antar planet bisa benar-benar dia aplikasikan untuk mendapat cinta Putri.

“Semakin dekat jarak kami, semakin besar cinta Putri padaku, Nai!” dia mengetik dengan penuh keyakinan.

“Terserah! Tapi Albert Einstein pernah bilang; you can’t blame gravity for falling in love. Camkan itu!”

“Maksudnya?”

“Artinya gravitasi gak bertanggung jawab untuk orang jatuh cinta, kalo gravitasi melibatkan massa per jarak, artinya sebesar apapun cinta kamu dan sedekat apapun jarak kamu dengannya, itu semua gak akan ngejamin kalo Putri bakal jatuh cinta sama kamu,”

“Kamu jahat, Nai!”

“Makanya, jatuh cinta itu harus ikhlas, jangan pamrih. Kalau kita pamrih dan mengharapkan balasan, kita hanya akan menjadi korban perasaan,” aku mengetik tanpa menghiraukan perasaanya, jahat memang, tapi itulah caraku agar dia bisa menerima realita.

“Benar juga,” dia berkomentar

Saat itu pukul tiga dini hari, pukul lima aku harus bangun dan pergi ke sekolah. Waktu tidurku hanya dua jam. Gara-gara dia, aku selalu menggunakan jam sekolah sebagai waktu tidur.

‘Dia adalah racun pembuat begadang!’ jeritku dalam hati

~nu~

Harus aku ceritakan, bahwa dia adalah seorang penulis handal yang selalu berani menumpahkan ide-idenya dan menumpahkan isi hatinya,

Verba valent, scripta manent. Ingatlah itu, Naila,” Ketiknya dengan penuh semangat, aku dibuat lupa akan rasa dingin pada malam itu.

“Apa maksudnya?” ungkapku dengan penuh penasaran.

“Perkataan itu tidak abadi, namun tulisan akan senantiasa abadi.Pernahkah kau berpikir bahwa kamu lebih mengenal seorang Leonardo Da Vinci ketimbang buyutmu?”

“Da Vinci telah berhasil menuangkan idenya dalam tulisan atau karya sehingga semuanya berbekas dan abadi, sedangkan buyutku, beliau hanya memberi wejangan-wejangan atau nasihatmelalui lisan, tidak ada tulisan, tidak berbekas, dan itu akan terhapus seiring waktu,”

“Benar!”

“Terima Kasih.” Aku tersenyum kembali.

Verba valent, scripta manent. Selama enam tahun aku mencintai Putri, selama enam kali aku menyatakan perasaanku pada Putri, selama itu pula Putri tersenyum kecut padaku dan berkata, ‘gak mau!’, sakit hati itu pasti, namun aku gak mau peduli, seperti yang kamu bilang tempo hari bahwa gravitasi tak bertanggung jawab untuk orang yang jatuh cinta, aku semakin tidak peduli apakah Putri akan mencintaiku atau tidak, yang aku peduli adalah perasaanku yang selalu mencintai Putri.”

“Yang aku peduli adalah perasaanku, aku harus menyatakan perasaanku padanya, aku harus membuat kata-kata cintaku menjadi abadi. Kalau kemarin aku menyatakan cintaku padanya melalui lisan, sekarang aku akan merombak semuanya, lisan tidak abadi, namun tulisan itu abadi. Aku akan menuliskan ungkapan-ungkapan cintaku untuknya, aku akan membuat cerita-cerita tentang kami. Dalam cerita yang aku tulis, akan kubuat dia seperti apa yang aku mau, aku tidak peduli dia suka atau tidak, ini adalah ceritaku, dalam ceritaku dia adalah tokoh yang bisa kujadikan apapun seperti yang aku mau, aku ingin membuatnya abadi, walau ini tidak nyata,”

“Seperti tembok baja yang terus dilempari oleh lumpur. Mungkin akan sulit menjatuhkan hati Putri, namun yakinlah, lumpur-lumpur yang kamu lemparkan pasti akan berbekas, pasti!” Ketikku dengan penuh kekaguman, kagum karena usahanya yang sangat gigih.

“Pasti,” aku melihat siratan senyum dalam setiap alfabetnya.

~nu~

“Jadi, apakah sekarang dia telah berhasil mendapatkan cinta Putri?”Shanti bertanya, mulutnya menganga penuh dengan pertanyaan.

“Tidak, tapi dia berhasil mengabadikan ungkapan cintanya,” Aku bangun, duduk untuk beberapa saat, lalu melanjutkan menelponnya untuk ke-enam belas kali. Di sela-sela rasa penasarannya, Shanti menatap waspada pada selimut yang kini sedang kupelintir lagi.

“Maksudmu, dia terus menulis?”Mata Shanti belum beranjak dari selimut yang ku genggam. Aku menggodanya dengan memasukan sedikit bulu selimutnya pada hidungku.

“Naila!” Dia berteriak geram, aku berhenti sambil menjulurkan lidah.

“Iya, bahkan dia berhasil melahirkan sebuah novel,” Jawabku, operator masih konsisten dengan kalimatnya, ‘periksa kembali nomor tujuan Anda.’Aku berdecak kesal.

“Waw, beruntung sekali Si Putri itu, ya,” ujar Shanti sambil mengangguk kepala

“Telingaku belum panas untuk cerita-ceritamu. Lanjutin lagi dong Nai!,” Temanku yang satu ini terlihat sangat lucu. Ketika dia serius, matanya yang sayu menjadi besar dengan terpaksa, dahinya mengerut yang tanpa sengaja menjatuhkan poninya.

~nu~

1 April 2011, hampir tepat dua tahun kami saling mengenal.

Facebook dan Yahoo Messenger menjadi musuh terselubung karena beberapa minggu lagi Ujian Nasional akan dimulai.

Kami semakin jarang berkomunikasi. Namun, suatu saat dia mengirimiku pesan.

Dia:“Semangat untuk UN-2011,”

Aku:“Kita maksimalkan proses, God does appreciate the process,”

Dia:“Biar gak bosen sama persiapan UN, kita ketemuan yuk!”

Aku:“Gimana kalo kita bikin proyek yang lebih besar dari sekedar ketemuan? Bikin proyek yang sangat besar! Kita keliling dunia!”

Dia:“Setuju! Sangat setuju! kita teguk pengalaman sebanyak-banyaknya, kita makan saripati ilmu, kita cari kebenaran yang bersifat abadi, kita jelajahi dunia, kita kenali ciptaan Tuhan lebih dekat agar kita semakin kagum pada-Nya, agar kita sadar bahwa kita bukan apa-apa”

Aku:“Proyek keliling dunia kita mulai di Paris, 5 tahun dari sekarang, gimana?”

Dia:“Iya deal, mau tanggal berapa?”

Aku:“Januari?

Dia:“Jangan ah, jangan spring deh! Summer aja ya, biar asik, bulan April aja ya?”

Aku:“Tanggalnya samaain sama tanggal hari ini,”

Dia:“Iya tanggal 1 bulan April 5 tahun mendatang,”

Aku:“Kita makan di Roma, Numpang lewat ke Bassilica, hahaha”

Dia;“Renang di Sungai Seine, Foto-foto depan piramida, cihuy!”

Dia:“Kita namai proyek ini dengan nama World 2016 Summer project,”

Aku:“Ah, sotoy, mana mungkin! Mustahil amat!”

Dia:“Ga, Nanai, kamu belum ngerti aja kalo di dunia ini gak ada yang mustahil,”

Aku:“Ga, aku ga ngerti. Aku hanya mengerti bahwa proyek kita itu sangat mengada-ada. Oh iya, aku ngantuk. Aku harus tidur, selamat malam,”

~nu~

“Jadi, sekarang kamu masih ingin mewujudkan mimpi konyol itu?” Shanti terpana

“Iya, aku yakin bisa mewujudkannya, Law of Attraction. Sebenarnya, dunia memiliki gaya tarik menarik seperti magnet yang akan membantu kita menarik apa yang kita fokuskan. Hukum tarik-menarik ini akan menarik apa yang kita bayangkan, ketika kita fokus pada pikiran-pikiran seperti cita-cita, maka kondisi keberhasilanpun akan menyertai kita,”

“Ckck, bukan main, pantas saja kau sangat merindukannya,”

“Iya, sangat, tapi sekarang dia sudah menghilang, Dia sudah tidak bisa kutemui di SMS, Facebook, Yahoo Messenger, Twitter, bahkan Blogger. Kata apa lagi yang lebih tepat digunakan selain kata hilang?”

“Lupakanlah dia, Nai. Jangan larut dalam kesedihan, kamu akan menemukan hal-hal yang lebih menarik daripada sekedar menghabiskan kaffeine sambil berbincang dengannya. Pergilah ke luar gua itu, hiruplah udara sebanyak mungkin, kenalilah teman-teman dan situasi barumu disini, rasakan kalau kamu merasa lebih segar dan hidup,”

“Teori Gua Plato, akhirnya aku mengetahui maknanya, dia sengaja meninggalkanku, tepat saat aku betul-betul membutuhkan cerita-ceritanya. Mungkin ini yang dia maksud”

“Bagaimana dengan World 2016 Summer Project?”

“Akan aku tepati,”

“Walau dia telah meninggalkanmu? “

“Aku akan berusaha untuk fokus pada janji kami, bukan pada dirinya, Aku akan berjuang keras untuk proyek ini,”

“Shanti, ini sudah jam 12 malam, aku hampir mati,” ucapku sambil menarik selimutnya

“Silakan tidur dan jangan lupa bermimpi tentang tahun 2016. Naaai!itu selimut Guee!!”

~nu~

Seiring dengan katupan kedua kelopak mataku, suasana baru bermunculan, suasana yang sangat aku rindukan.

Akan kunamai suasana yang kurindukan itu sebagai Aforisma Cita-Cinta; Aforisma cita cinta karena cerita kita yang panjang ini harus ku pepatkan sedemikian rupa agar membentuk saripati cerita yang menjadi penyemangat saat aku putus asa. Cita; karena inilah yang harus kucapai.Cinta; karena dengan cinta pada cita-cita aku bisa terus berusaha. Demikianlah semuanya terbentuk menjadi sebuah mozaik yang menakjubkan, Aforisma Cita-Cinta.

16 April 2016, 11.30 AM

Langit yang jernih menyiratkan keceriaan di atas Musee de Louvre, menciptakan suatu pemandangan yang anggun, megah, namun bersahabat.

Di depan Musee de Louvre berdiri megah sebuah piramida kaca, bangunan itu berkilauan ditimpa cahaya matahari. Aku berdiri sendirian, memandangi orang-orang berlalu lalang yang terlihat bersemangat untuk berfoto di depan piramida megah itu, di sela-sela jubelan orang-orang itu tampak wanita Gypsi dengan rok boho dan tunik, dia meminta sejumlah uang pada turis. Aku memindahkan pandangan, menjejakan pandangan pada alam sekitar, menarik napas, menghirup aroma aroma musim panas. Paris, inikah kau?

Sesosok laki-laki kurus berkalung kamera SLR berusia 25 tahun mengagetkanku dengan menepuk bahuku, kaos warna putihnya terlihat lebih cerah saat cahaya matahari menimpa tubuhnya, dia menyapaku dengan tawa,“Welcome to World 2016 Summer Project,” matanya menyipit, gigi putihnya berbaris menantang sinar matahari.

Aku ikut tertawa.

Inilah akhir dari sebuah harapan dan persahabatan.

Dalam larutan mimpi-mimpiku, seseorang di entah membisikan sesuatu padaku, “semoga ini akan menjadi de javu”.

“Iya, ini akan menjadi de javu,” batinku mengangguk

~Selesai~

oleh nurulaaisyah




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline