Lihat ke Halaman Asli

dodo si pahing

semoga rindumu masih untukku.

Toa dan Toleransi Beragama Kita

Diperbarui: 24 Februari 2022   23:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: pnghut.com

Kurang dari dua bulan  lagi puasa bulan Ramadlan tahun 2022  akan menghampiri umat Islam. Bulan yang dijadikan muslimin di seluruh dunia untuk berlomba menabung amal akhirat sebanyak-banyaknya. Amalan-amalan berjamaah maupun mandiri banyak dilakukan. Misalnya sholat tarawih di malam hari selepas sholat isya',  mendengarkan khutbah, tadarrus, iktikaf, dan amalan shodaqoh, maupun zakat fitrah.  

Kemeriahan kaum mukmin menjalankan ibadah di bulan Ramadlan sangat tampak terutama di Masjid-masjid, Mushola-mushola, bahkan di rumah-rumah. Kegiatan membaca Al-quran, sholawatan, bahkan khutbah yang diadakan tidak  jarang menggunakan pengeras suara atau toa. Sangat ramai meriah, saking meriahnya seolah-olah ada orang punya kerja sebulan. Ya, punya kerja meramaikan bulan ramadlan ketika  semua amalan kebaikan dilipatgandakan pahalanya.

Suara Sholawatan, maupun tadarrusan memang sangat menyejukkan hati ketika yang melantunkan adalah orang-orang yang mempunyai kompetensi. Kemampuan orang-orang yang melantunkan adzan,  sholawatan, mempunyai kemerduan suara, kepaduan, kefasihan dalam mengucapkan bahasa arab. Mungkin begitu yang diinginkan oleh Menteri Agama Republik Indonesia No SE 5 Tahun 2022.

Menikmati bulan Ramadalan dengan amalan-amalan pribadi maupun sosial akan sangat terasa jika membekas kebaikan mengurangi bahkan meniadakan gesekan-gesekan dengan orang yang tidak melaksanakan ibadah puasa. Sebagaimana kasus di tahun 2018 gara-gara memprotes suara toa dari masjid yang dirasa bising si pelapor Meiliana dari Tanjung Balai Sumatera Utara harus masuk bui.

Mengatur suara dari toa Masjid dan Mushola sepertinya memang harus dilakukan. Karena kenikmatan beribadah puasa antara satu orang dengan orang yang lainnya juga berbeda. Ada yang lebih khusuk jika bisa melakukan ibadah puasa dengan tidak diganggu kebisingan dari orang lain baik yang berasal dari rumah bahkan tempat-tempat ibadah.

Kearifan dalam berpuasa sangat diutamakan ketika orang beragama. Semua agama pastilah mengajarkan toleranasi, saling menghargai dan menghormati dalam agamanya sendiri maupun antaragama lainnya. Bentuk-bentuk menghargai itu sangat indah manakala tidak hanya dalam khutbah-khutbah namun akan lebih baik lagi jika bisa dimanifestasikan dalam kehidupan bermasyarakat, di antaranya yang paling sederhana adalah membatasi suara yang dihasilkan dari toa masjid dengan tidak melebih 100 dB (desibel).

Sebagai gambaran saja suara pesawat jet terdengar oleh kita adalah  120 dB, sementara itu seberisiknya  restauran berkisar antara 90 dB. Sehingga sangat jarang ada orang bisa tidur di restauran yang tengah ramai-ramainya. Kalau ada yang bisa tidur dengan suara musik yang menggema, orang yang berlalu lalang, suara orang-orang yang saling memanggil, suara mobil dari jalan raya memang benar-benar lelah lahir batin. Mungkin tidak "apple to apple to apple" suara toa masjid dengan kebisingan dari jet dan resatauran.

Misalnya juga seseorang yang sangat sensitif dengan suara sekecil apapun  ketika tidur, kasihan kan ketika sedang menahan lapar tiba-tiba ada suara bising yang pasti bisa membangunkan?. 

Atau ada orang yang sakit butuh istirahat harus menahan istirahatnya agar suara kebisingan yang tidak hanya berasal dari pengeras suara tetapi bisa juga dari  berantemnya tetangga, tangisan bayi, sapi yang melenguh karena tidak diberi makan,  kambing yang kelaparan, ribuan ayam dan bebek di peternakan, bahkan gonggongan anjing berpotensi juga membuat keributan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline