Lihat ke Halaman Asli

dodo si pahing

semoga rindumu masih untukku.

Nostalgia Menonton Wayang, (Kok) Sekarang Tega-teganya Ada yang Mengharamkan

Diperbarui: 17 Februari 2022   18:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: regional.kompas.com

Saat itu Pada tahun 70-an ketika listrik belum sampai ke desa-desa dan penerangan di malam hari hanya lampu sentir dari minyak tanah, jarang ada hiburan dari media elektronik kalaupun ada hanya suara radio transistor. Mau melihat televisi? Ke balai desa dulu.

Maka ketika ada hiburan orang-orang ramai berbondong menonton tidak terkecuali saya.  Dan wayang adalah hiburan rakyat yang sangat disukai. Terlebih kalau dalangnya sangat masyhur kalau di tempat saya (Klaten) dahulu dalang kondangnya  ki Joko.  Terus Ki Anom Suroto. Jangan ditanya kalau ada kabar yang jadi dalang ki Anom Suroto tumpek blek ratusan bahkan ribuan penonton berjubel.

Biasanya perhelatan wayang kulit akan digelar siang dan malam hari. Kalau pertunjukan pagi dari jam 10 hingga jam 5 sore, kemudian malam harinya dari jam 9 malam hingga subuh. Biasanya dalang siang akan diisi oleh dalang yang masih nyantrik dari dalang yang terkenal, nah kalau malam harinya baru dalang utamanya yang pentas.

Pernah suatu saat ada kabar ki Joko akan pentas di sebelah desa, namun jangan bayangkan mudahnya untuk mengunjungi tempat pakeliran itu,  karena harus menyeberangi sungai yang cukup lebar dan dahulu masih deras airnya. Saat itu kira-kira  habis sholat isya kemudian tadarusan bersama-sama berangkatlah serombongan kurang lebih 15 orang. Cukup ramai, karena di samping nantinya akan melewati sungai yang cukup lebar, melewati sawah, melewati pinggir kuburan dan yang pasti jalan kaki tidak memakai sandal.

Dan kalau sudah sampai di tempat pakeliran wayang kulit tempat favorit kita adalah di pojok dekat pesinden karena di sana banyak sesajen pisang, lemper, mendut, dan lain-lain. Pengrawit, niyogo, hingga  pesinden memaklumi kami yang kala itu masih anak SD. Toh yang dimakan hanya sedikit, tidak banyak alias secukupnya.

Sampai sekarang pun jikalau masih ada pertunjukan wayang di Pati disempat-sempatkan menonton meskipun pas goro-goro atau ketika punakawan keluar. Kalau bisa menyebutnya saat bagian goro-goro inilah sang dalang mengelurkan kritik-kritik dan pandangan-pandangan keagamaannya lewat tokoh Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong.

Wayang Sebagai Tontonan Sekaligus sebagai Tuntunan
Konon kata para ahli antara lain dari Timbul Haryono, wayang sudah ada sejak 840 M di Joho, Sidoharjo. Dari sini jelas sekali kelihatan jika wayang itu sendiri sudah ada sejak sebelum agama Islam tersebar pada eranya para Wali. 

Kemudian karena kearifan dan kecerdasa para  penyebar agama islam itu maka  wayang menjadi media dakwah  yang sangat efektif. Hingga kini pun sebenarnya wayang sudah dimanfaatkanjuga oleh agama selain Islam untuk menyebarkan agamanya.

Sedikit banyak nurani saya tergores mungkin juga teman-teman saya atau penikmat wayang bahkan lebih umum lagi penduduk Indonesia ketika tiada hujan tiada angina ribut ada orang yang disebut ustad membuat suatu opini jika wayang itu sesuatu yang haram dan harus dimusnahkan. Mungkin dia tidak mempunyai nostalgia bahkan masa kecil yang bahagia ketika bisa menikmati pertunjukan wayang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline