Setelah angin utara yang berhembus membawa kabar kalau saatnya musim penghujan hampir selesai dan diganti musim kemarau yang siap-siap bertamu. Baru-baru ini datang juga angin, tetapi angin simbol dari kelompok yang membawa kabar jika Jokowi sebagai presiden ke-7 akan diperpanjang masa jabatannya hingga tiga kali. Namanya saja angin yang membawa kabar bisa dipercaya bisa juga diserahkan pada pembawa acara prakiraan cuaca.
Setelah era reformasi tahun 1998 dalam rentang waktu 23 tahun sudah ada lima kali pergantian presiden. Bandingan saja sejak Soekarno dilantik dari tahun 1945 oleh PPKI. Kemudian Soeharto dilantik oleh MPRS tahun 1967 hingga 1998, jadi hampir 53 tahun hanya ada dua presiden. Dengan perbandingan itu sebenarnya rakyat Indonesia sudah bisa menilai setiap presidennya.
Pendewasaan berpolitik di Indonesia akan selalu diuji setiap masanya,jikalau presiden itu tidak membawa perubahan apa-apa sebenarnya mudah saja dengan pikiran rasional dan atas nama Tuhan, ganti saja dalam periode pilihan keduanya. Namun sebaliknya, jika sebagai presiden sangat baik bahkan seperti malaikat baiknya akan sangat merugi jika harus melabrak UUD dengan memperpanjang masa jabatannya. Cara yang paling elegan adalah menuruti apa kata UUD 1945.
Jikalau dipaksa untuk memperpanjang masa jabatan presiden Jokowi dari dua kali periode menjadi tiga kali bisa saja. dengan syarat mengubah UUD 1945, terutama pasal 7 yang sudah diamandemen yang berbunyi "Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan" Sehingga jelaslah tidak ada kemungkinan untuk memperpanjang masa jabatan Jokowi untuk periode ketiganya.
Namun jika ada politukus yang ada di senayan menghendaki perubahan itu bisa saja dilaksanakan dengan mengubah pasal tersebut dengan mengembalikan redaksional kalimat itu. Misalnya, "Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali" jadi, mudah saja bagi politikus menafsirkan ayat tersebut kemudian menggunakannya sebagai landasan memperpanjang masa jabatan presiden Jokowi untuk periode ketiganya, meskipun tentu saja harus melalui Pemilu.
Usulan Baik tetapi tidak tepat
Sebagian besar rakyat Indonesia pasti setuju jika dalam era Jokowi pembangunan Indonesia sangat cepat dan pesat. Karena dasar itulah ada sebagian yang berkomentar ingin memperpanjang masa periode Jokowi untuk ketiga kalinya. Usulan itu mungkin bisa diterima karena euforia atas kinerja yang mencapai indeks kepuasan lebih dari 60%.
Masyarakat Indonesia sangat terkagum-kagum dengan Soekarno sehingga ada keinginan untuk mejadikannya presiden seumur hidup Indonesia. Setelah Soekarno lengser kemudia diganti dengan Soerharto eolah-olah ada harapan baru akan zaman keemasan, karena memang pada masa Soehartolah Indonesia mencapai tahun ke-50 kemerdekaannya. Sehingga tahun 1995 dalam balutan aksesoris keemasan umbul-umbul dan logo untuk memperingati hari tersebut.
Namun bukan Indnesia yang benar-benar sejahtera karena semuanya hanya dalam wacana emas. Bahkan ada seolah-olah negara diibaratkan dalam masa perkawinan ada masa usia perkawinan perak kala berusia tiga puluh tahun, kemudian usia perkawinan emas jika sudah sampai masa 50 tahun. Mungkin begitu kira-kira pemikiran masa itu usia kemerdekaan disamakan dengan usia perkawinan seseorang. Atau memang Indonesia disamakan dengan milik keluarga.
Dinamika kepuasan publik yang berlebihan pada Jokowi bisa saja menjadikan ketakutan pada oposisi. Ketakutan akan semakin kuatnya pengaruh Jokowi pada segala lini dan sendi, baik di budaya, ekonomi, militer bahkan pada pengaruhnya pada agama. Pada tataran ini ditandai semakin mesranya Jokowi dengan Ormas Islam terutama NU dan Muhammadiyah. Jikalau dengan militer, tokoh agama, dan rakyat sangat welcome pada Jokowi maka tidak ada ruang bagi Oposisi untuk masuk ke dalam lingkaran kekuasaan.
Hembusan Tiga Periode untuk Presiden Joko Widodo
Mungkin karena kekhawatiran-khawatiran jikalau pada masa masa pemerintahan di Indonesia tidak mendapat jatah kue kekuasaan yang mencukupi. Selanjutnya dibuatlah seolah-olah memang berasal dari lingkaran Presiden Joko Widodo yang ingin mengubah UUD 1945 terutama pasal 7, kemudian dikembalikan pada pasal yang seperti sebelum di amandemen. Dan jikalau isu ini diterima mentah-mentah oleh Jokowi maka jelas sudah angin dihembuskan yang pertama-tama semilir meninabobokkan, maka akan berubah menjadi badai. Karena memang itu kir-kira yang diharapkan.
Sebab jelas para oposisi dengan segala upaya diibaratkan perang puputan akan masuk mengganti juga pasal lain yang selama ini tidak mengadopsi kepentingan Oposisi. Bahkan sudah jelas ada golongan yang mengarah ingin mengganti Pembukaan UUD 1945, terutama Sila ke-1 dari Pancasila yang kita kenal ke piagam Jakarta. Bagai kotak Pandora, semuanya akan menjadi celah polemik yang tak berkesudahan.