Polemik tentang Minol --minuman beralkohol-- selesai, kala Presiden Joko Widodo mencabut lampiran yang termaktub dalam Peraturan Presiden No 10 Tahun 2021 tentang Bidang Usaha Penanaman Modal.
Dengan pencabutan lampiran tersebut artinya rencana para investor yang akan menanamkan modalnya di Bali, Papua, NTT, maupun Sulawesi Utara harus menggigit jari.
Masukan dari Organisasi NU, Muhammadiyah, dan ulama-ulama lainnya agar menghentikan berlakunya Perpres itu menjadi pertimbangan utama dari Jokowi.
Masukan dari para penggiat sosial pun menjadi pertimbangan berikutnya. Dengan adanya kritikan-kritikan yang disertai dengan dalil-dalil agama maupun kenyataan-kenyataan yang ada di lapangan ketika Minol berada di tangan masyarakat lebih banyak ruginya daripada faedahnya. Kira-kira begitu usulan yang masuk.
Tidak sedikit yang memuji keputusan presiden tersebut, dengan alasan seorang Presiden masih memerima kritikan-kritikan dan itu sesuai dengan pernyataan Jokowi sebelumnya, yang megharapkan adanya kritikan-kritikan kepada pemerintah.
Namun kritikan tersebut sebaiknya konstruktif tidak mencaci, memfitnah maupun menyebarkan hoak.
Tetapi ada juga sebagian masyarakat yang mencibir penganuliran Peraturan Presiden tersebut. Alasan yang diberikan pun dari yang realis misalnya, Pemerintah telah mengecawakan para calon investor yang sudah siap-siap menanamkan modalnya.
Dengan tidak adanya modal yang masuk bagi pengrajin Minol di daerah tersebut maka jelas UKM yang ada pun masih akan jalan di tempat bahkan kalah dengan Minol import.
Atau, ada juga yang mengatakan Pencabutan Peraturan Presiden tersebut menggambarkan jika pemerintahan Jokowi tidak siap dengan peraturan yang telah dibuatnya sendiri. Bahkan terkesan plintat- plintut, cengengesan, atau menganggap jika Jokowi hanya bermain-main dengan dialektika.
Apapun dalih yang diberikan atas rencana penolakan Investasi terhadap Minol/Miras adalah permainan yang akan kembali lagi kepada besarnya uang yang beredar dari Minol itu sendiri. penerimaan negara dari cukai Minuman Menggandung Etil Alkohol (MMEA) sampai akhir Juli lalu hanya sebesar Rp 2,64 triliun Kompas(13/11/2020).
Nilai yang cukup besar bila dikaitkan dengan penerimaan negara dari sektor minuman yang membuat orang mabuk ini.