Kebebasan beragama kembali tergores dengan ditangkapnya Sudarto seorang aktivis di Dharmasraya, Sumatera Barat. Dia ditangkap dengan alasan dapat menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargologan (sara) sebagaimana yang diaturr dalam pasal 28 ayat (2) Juncto Pasa 45 Undang-undang UU ITE.
Sebenarnya Sudarto hanya menyuarakan surat pelarangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Dharmasraya tentang larangan perayaan natal melaui surat pemberitahuan pada tanggal 10 Desember 2019, yang intinya menyebutkan pelarangan perayaan Natal yang diselenggarakan di selain tempat-tempat yang telah ditentukan. Lanjutnya kata Sudarto untuk melaksanakan ibadah bersama harus di gereja dengan jarak yang ditempuh sekitar 120 km.
Mengingat jarak yang sangat jauh maka masyarakat setempat yang beragama Kristen yang berjumlah kurang lebih empat puluh orang mengadakan perayaan natal di rumah anggota jamaah. Karena adanya larangan mengadakan perayaan agama atau kebaktian selain di tempat yang telah ditentukan maka dengan kerelaan meniadakan kegiatan tersebut secara bersama-sama. Artinya tiap keluarga yang beragama Kristen hanya mengadakan kegiatan di rumah masing-masing.
Kira-kira begitu gambaran pemeluk agama minoritas di daerah yang mayoritasnya agama lain. Tidak semua tempat di Indonesia memiliki karakter yang sama dengan masyarakat di Dharmasraya atau di Sijunjung seperti yang disebutkan Oleh Sudarto, masih banyak toleransi yang terjaga di Nusantara ini.
Di tempat saya misalnya, di kota kecamatan Gabus, Kabupaten Pati toleransi beragama itu terjaga dengan apa adanya. Tidak dibuat-buat berjalan normal sebagaimana lazimnya. penduduknya beragam dari suku Batak, Padang, Etnis Tionghoa, bersanding dengan wajar. Bahkan ada yang menikah antar etnis. Ada yang lelakinya beragama Islam perempuannya beragama Kristen semua berlangsung tidak ada gejolak. Ini hanya contoh lho, kalau ingin bertandang silakan... hehehehe....
Sekadar mengingatkan, perlakuan Negara Indonesia kepada pemeluk agama yang beragam sudah dijamin sebagaimana pasal 29 UUD 1945 (1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. (2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Mungkin dari kita sudah hapal dasar hukum bangsa Indonesia itu. Hanya saja implementasi masih harus dipertanyakan jika masih ada sebagian kecil dari masyarakat kita untuk beribadah masih harus melalui kesepakatan-kesepakatan.
Beragama adalah bentuk kesadaran pribadi manusia yang merasa sebagai ciptaan Yang Esa. Adanya kontemplasi yang menunjukkan kalau dirinya masih sebatas debu yang sangat butuh kehadiran Tuhannya. Tidak ada kesombongan di sana, saat beribadah.
Hanya keterbatasan yang ia yakini, bahwa ia butuh kehadiran orang lain untuk menuju suatu cita-cita, baik untuk dirinya, untuk keluarganya, untuk masyarakat, berbangsa dan bernegara. Hanya saja cara yang dilakukan sesuai dengan keyakinan yang dianutnya.
Ketika semua bentuk idealis bernegara tersumbat karena adanya aturan kemasyarakatan yang notabenenya berada di bawah UUD 1945, dan itu lebih dominan maka alasan yang dipilih mereka yang dalam posisi di bawah tekanan pastilah mengalah dan mengindari suatu gejolak yang mungkin akan timbul. Dan ketika ada seseorang yang menyuarakan suatu keadaan sebagaimana tulisannya, maka ia dianggap sebagai penyebar suatu kebencian, dapat meresahkan, dan memicu perpecahan di masyarakat.
Bisa dicomotkan di sini seperti cuitan yang wira-wiri di medsos yang diunggah oleh Sudarto Toto pada tanggal 14 Desember 2019 pukul 21.04
Agama kami damai. Kalau nggak mau bilang
agama kami damai, kami serang kalian.