"Pak, kenapa bisa botak" tanya temanku bercanda
"Brow, jangan bilang botak gitu gak enak di hati." Jawabku dengan memasang wajah serius. "Ya paling tidak diganti dengan mengapa rambutnya sedikit, begitu."
Ilustrasi tersebut saya pergunakan untuk menyebutkan suatu kata atau istilah yang berbeda dengan suatu maksud sama yaitu tidak berambut di kepala atau botak Kadang-kadang Pemakai bahasa lebih suka menggunakan kata yang bermakna lebih sopan untuk menggantikan kata yang berkesan menyinggung perasaan mitra bicaranya.
Kecermatan berbahasa juga mencerminkan pengguna bahasa itu sendiri, bahkan saat bercakap-cakap bisa dilihat seberapa derajat kesantunanya. Dalam istilah Jawa; Ajining diri margo lati, harga diri seseorang dapat dilihat cara ucapan yang disampaikan.
Semakin tinggi kedudukan seseorang maka semakin pandai pula cara mengucapkan suatu kata yang dipilih dan dipilah. Namun akan berbanding terbalik dengan cara seseorang mengucapkan suatu kata secara sembrono, dapat dilihat kadar keceradasan dan kesantunannya.
Saat masih di bangku SD, saya diajarakan oleh guru dan orang tua tingkatan berahasa kepada adik, saudara, dan berbahasa kepada yang lebih tua. Semuanya ada tataran dan sikap yang berbeda. Saat menggunakannya juga tidak luput dari perhatian orang tua dan guru saya. Meskipun pelajaran itu tidak ditulis namun karena secara konsisten diperhatian saat berkomunikasi baik di sekolah maupun di rumah maka kesantunan itu hingga sekarang masih dapat saya rasakan.
Dan kesantunan itu harus mampu mengendalikan gejolak emosi seberapapun besar amarah yang dipunya. Sangat terlihat manakala pengguna bahasa sangat emosional dalam bertutur maupun menulis. Tulisan ataupun tuturan tidak menenteramkan, cenderung agitatif. Namun sebaliknya, wujud dari komunikasi yang baik adalah diterimanya pesan yang ingin disampaikan dengan tingkat penerimaan yang sangat baik pula. Selama pengertian atau kode itu sama-sama dipahami oleh keduanya.
Tidak selamanya kode itu dapat diterima jika tidak ada suatu dasar kejadian yang secara umum pernah dialami bersama-sama. Atau kejadian yang merupakan kode kelompok dan sering diucapkan bersama sehingga menjadi pemahaman bersama. Atau bisa juga kode itu dituturkan secara dari mulut kemulut karena mempunyai nilai sama sehingga dapat diterima. Kesantunan berbahasa kadang-kadang banyak menggunakan diksi eufimistis.
Suatu pilihan kata yang memperhalus suatu ungkapan dengan maksud agar tidak terlihat sarkastis atau kasar. Eufimis juga diperlukan karena memang betul-betul untuk menggantikan kata yang sifatnya peyorasi atau sarkastis. Betapa tidak enaknya kala guru menggunakan kata "goblok" untuk mengacu satu murid yang selalu mendapat nilai terjelek dan atitude yang jauh dari sopan. Meskipun seperti apa keadaan si murid seorang guru harus mengganti kata "goblok" yang dapat diterima diterima oleh murid, misalnya, " Jangan jadi murid yang malas berpikir".
Diksi eufimis memang sedikit banyak akan mengalihkan sifat kata aslinya, apalagi jika berhubungan dengan politik pemerintah. Diksi eufimistis harus dipahami secara utuh dengan melihat latar belakang dan suatu perististiwa terjadi.
Generasi milenial akan sedikit kesusahan manakala diberi kosa kata "dipetruskan", namun generasi yang terlahir sebelum tahun 70-an pasti sudah mahfum akan kata itu yaitu, suatu operasi rahasia dari pemerintahan Presiden Soeharto untuk megurangi tindakan kriminal yang sangat tinggi pada tahun 1980-an dengan cara diadakannya Penembak Misterius atau Petrus.
Meskipun petrus hanya suatu akronim namun sudah dipahami oleh orang yang mengalami pada masa itu yaitu penghilangan nyawa orang lain. Yang diduga atau benar-benar penjahat.
Dan masih banyak diksi eumistis pada dari tiap zaman yang disematkan oleh pemerintah untuk mengganti kebijaksanaan politik yang tidak enak dirasakan.