Kuinjak pedal gas mobil tipis-tipis agar tidak terlihat memaksa barang tua dengan kecepatan tinggi prinsipnya "alon-alon waton kelakon" lambat asal selamat. Sentuhan mesin sudah begitu akrab denganku kalau mobil ini punya nyawa tidak perlu distir lagi sudah tahu kemauan empunya, sambil menikmati perjalanan menuju Rumah Sakit di tengah kota Pati aku dengar cerita ibu tentang adat "ngubengi" pasar untuk temanten baru dan hal lain lain yang pernah nyata ada dan betul ditemui di masyrakat Gabus.
Ibu (Mertua) yang sangat baik ini tanpa Dodo (pen.) minta mau juga bercerita tentang orang-orang yang pernah mengalami sendiri bertemu dengan Nyi Serambi dan "benda" yang dianggap mempunyai nilai lebih bagi masyarakat Gabus. Ibu bercerita banyak sekali karena sebelumnya Dodo bilang kalau kemarin sempat melawat ke makam Nyi serambi yang sekarang terlihat tidak terawat. Di atas petilasannya banyak sampah yang menumpuk tidak terkira kalau itu adalah makam yang mempunyai nama di daerah Gabus dan sekitar.
Ibu yang sudah berusia tujuh puluh lima tahun lebih namun masih terlihat kuat ini rupanya tergerak hatinya untuk bercerita kala mendengar kataku sebelumnya. Kata Ibu memang itu makam nyi serambi sebagai salah satu cikal bakal desa Gabus dan mempunyai keterampilan merias temanten, di samping sebagai pendamping suami yang baik untuk menata pasar sebagai poros ekonomi keluarga dan masyarakatnya pada saat itu. Meski sayangnya untuk urusan keluarga Nyi Serambi tidak dikarunai keturunan. Hanya nama baiklah yang akan selalu dikenang. Mungkin demikian akan selalu berlaku untuk orang baik seperti Beliau.
Di tengah-tengah bercerita Ibu mengambil napas terlihat tersenyum dan secara spontan aku tanya mengapa Ibu Tersenyum. Kata beliau, Bapak (mertua) dulu mengalami sendiri bertemu dengan Nyi serambi kejadian itu pada tahun 1970-an. Salahnya sendiri kata ibuku, sudah malam jalan di tengah pasar sendiran mungkin cerita yang diterima Bapak tidak begitu diyakininya. Saat berjalan bertemu langsung dengan sosok perempuan dengan rambut terurai sampai ke pinggang tinggi semampai tidak gemuk dan tidak pendek hanya memandang Bapak.
Kata Bapak pandanganya sangat menghipnotis kalau pandangan manusia biasa tidaklah mungkin sinar matanya terlihat dan auranya menghujam ke langsung simpul keberanian dan ketakutan. Dan simpul ketakutanlah yang diterima Bapak. Sehingga ketika sampai rumah tidak bisa berbicara, kaku seluruh persendian dan kelu untuk bicara. Gemetar seluruh tubuhnya "ndrodok" paginya Bapak tidak bisa ke kantor hanya diam berselimutan. Mengetahui kejadian seperti itu ibu sebenarnya ingin marah tapi kasihlah yang ada, dicarikanlah obat pada tetangga yang bisa menyembuhkan karena hal gaib. Setelah diobati agak reda kelunya dan siangnya sudah berangsur membaik.
Masih dalam mobil ibu berkata ingin tertawa sebenarnya jika ingat kejadian itu, sedangakan anak dan istriku mendengarnya tentu saja terpingkal-pingkal dan sekali-kali memberikan komentar. Ada juga kejadian lain katanya (sambil menahan tertawa meskipun dalam hati juga kasihan) yaitu sepasang temanten yang tidak mau "ngubengi" pasar. Kebetulan rumahnya di RW 5 RT 4 di Desa Gabus kalau dari pasar sekitar 300 meter ke arah utara atau empat blok dari pasar sebut saja nama beliau Nyai Wage (nama asli boleh ditanya) sampai sekarang masih belum ada tanda kesembuhan dari kurang sadarnya memandang dunia alias kurang sedikit (tidak enak ngatain tetangga sarkastis).
Pada saat itu Nyai Wage sudah diingatkan untuk ngubengi pasar Gabus bukan bermaksud mengurangi aqidah yang dimiliki. Tradisi itu sudah dimiliki turun temurun hendaknya dipatuhi. Seperti kata pepatah di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Namun kekerasan hati atau tidak mau memercayai yang hanya sifatnya penuturan apalagi katanya ia bukan asli penduduk Gabus maka diabaikanlah tradisi itu. Akhirnya malang tak dapat ditolak untuk tak dapat diraih, sampai sekarang keadaan beliau seperti itu. Dan seluruh warga sekitar ketika berpapasan memohon akan kesehatan Beliau.
Setelah kunjungan ke dokter untuk kontrol dan mengambil obat selesai kami pun pulang baru keluar dari rumah sakit rupanya Ibu melanjutkan cerita katanya ada juga yang seperti itu, ingin melupakan adat ngubengi pasar. Beliau masih sama bertdomisili di RW 5 RT 1 sebut saja Nyai Bunga pada saat pesta berlangsung ia berlari dengan pakaian awut-awutan kalau tidak mau dikatakan setengah telanjang. Dan pesta pun dibuat heboh oleh kejadian itu. Ada yang teriak-teriak ada yang berlari mengejar namun ada juga yang pinter segera nemui orang yang pernah menyembuhkan Bapak dari kejadian saat drodog karena ditemui Nyi Serambi.
Dan benar setelah Nyai Bunga bisa ditemukan dalam keadaan mengharu-pilu ia diobati dengan cara Sang Pengobat, lambat laun kesadarannya pulih meski tidak seratus persen. Segera saja acara temu nganten dilaksanakan tentunya dengan melaksanakan tradisi ngubengi pasar Gabus. Selesailah acara pertemuan dua kekasih dalam mahligai yang indah sampai sekarang langgeng. Kata orang untung ketutan kalau tidak bagaimana nanti namun kata nanti yang diucapkan pada waktu dulu telah menjadi kenyataan sekarang mereka berbahagia sampai sekarang.
Cerita Ibu rupanya melenakan kami yang sebenarnya ingin menikmati nasi gandul di pasar Sleko Pati malah roda ban mobil tiba-tiba sudah sampai menghantarkan kami di Gabus. Tidak apa-apa kami pun "nggandul" di Gabus toh sama-sama nasi gandul yang rasanya juga enak dan suasananya sama menyenangkan. Malam hampir pukul sembilan kami sampai di rumah tidak lupa"ngubengi" pasar terlebih dahulu bukan sebagi temanten baru tetapi hanya sekedar mengenang masa lampau jadi temanten baru ngubengi pasar.
(Pati, 7 September 2019)