Lihat ke Halaman Asli

Nurul AuliaMijayanti

UPNVJ Political Science Student

Dampak UU Omnibus Law terhadap Buruh Perempuan di Indonesia

Diperbarui: 21 April 2021   17:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Melihat isu yang sedang hangat dikalangan masyarakat terkait disahkannya UU Omnibus Law Cipta Kerja pada tanggal 5 Oktober 2020 oleh DPR RI dan diundangkan pada 2 November 2020. UU ini menuai banyak kontrovesi dikalangan masyarakat terutama bagi perempuan. Mengapa demikian? Sebab, omnibus law memberikan dampak keberbagai lapisan masyarakat. Banyak masyarakat merasa dirugikan oleh UU omnibus law ini. Omnibus law ini merupakan sebuah kata yang merujuk dengan berbagai macam topik yang mana topik-topik tersebut dimaksudkan untuk diamandemen, baik diubah atau dicabut dengan sejumlah UU lainnya. Wacana UU cipta kerja ini sebetulnya sudah muncul sejak awal tahun 2019 namun baru dimulai akhir tahun 2020 dan tahap finalisasi yang sudah harus diimplementasikan pada Februari tahun ini, yang menariknya dari omnibus law di Indonesia yaitu omnibus law bisa mereformasi beberapa undang-undang sekaligus. 

Maka dari itu, beberapa pihak menganggap bahwa mengamangamdemen beberapa undang-undang sekaligus bertentengan dengan demokrasi. Dalam penyusunan omnibus law di Indonesia bisa terbilang sangat berbeda dengan penyusunan omnibus law dinegara lain sebab dinegara lain perlu waktu bertahun-tahun dengan menimbang berbagai dampak dari menggabungkan beberapa UU. Namun, di Indonesia hanya memerlukan waktu kurang dari satu tahun untuk menggabungkan banyak UU ini.

Secara keseluruhan omnibus law memiliki 11 klaster yang dibahas dalam RUU Cipta Kerja, yang pertama tentang penyederhanaan perizinan tanah, persyaratan investasi, ketanagakerjaan, kemudahan dan perlindungan UMKM, kemudahaan berusaha, dukungan riset dan inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi, pengendalian lahan, kemudahan proyek pemerintah, dan yang terakhir Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Namun, hal yang paling memberatkan kaum buruh terutama buruh perempuan adalah klaster pembahasan mengenai ketenagakerjaan. Sebab, ada beberapa butir pasal UU Cipta Kerja Omnibus Law yang menuai banyak kontrovensi yang pertama mengenai waktu kerja dan lembur yang diperpanjang otomatis hal ini berdampak terkait waktu libur yang dikurangi, pasal 79 ayat 1 b disebutkan bahwa waktu istirahat mingguan hanya 1 hari untuk 6 hari dalam seminggu. Penghapusan upah minimun, pada pasal 88 UU Ciptaker menghapus ketentuan rinci mengenai perhitungan upah yaitu tidak ada lagi ketentuan upah minimum. Dari pasal ini bisa kita lihat upah tenaga kerja berpotensi jauh dari kata layak sehingga perhitungan upah akan berubah. 

Selanjutnya mengenai upah cuti haid dan melahirkan akan dihapuskan memang ketentuan UU Cipta Kerja tidak menghilangkan pasal dalam UU No 13 tahun 2003 mengenai cuti haid dan cuti melahirkan. Lalu, bagaimana jika buruh perempuan sedang haid dihari pertama atau hari kedua. Pada saat haid hari pertama dan kedua biasanya kebanyakan perempuan akan merasakan sakit perut dan nyeri pada bagian perut. Maksud sakit disini perusahaan harus memberikan kelonggaran izin cuti kepada buruh perempuan, bukan dengan memberikan surat sakit sebab kebanyakan perempuan haid hari pertama dan kedua membutuhkan istirahat dirumah tanpa melakukan aktivitas apapun. Haid merupakan fase reproduksi yang dialami oleh setiap perempuan dan harus dihargai oleh perusahaan dimana perempuan bekerja. Sangat disayangkan, UU cipta kerja seolah melemahkan hak kesehatan reproduksi buruh perempuan. Maka dari itu, buruh perempuan sepakat menolak UU cipta kerja. Selain itu yang membuat mirisnya perwakilan buruh perempuan seolah tidak dianggap dalam penyusunan proses UU cipta kerja dibentuk oleh pemerintah. tentunya hal ini serikat buruh perempuan di Indonesia tidak terlibat dalam proses penyusunan RUU cipta kerja.

Megaitkan antara dampak omnibus law terhadap perempuan dengan teori feminisme yang mana dari tujuan feminisme sebagai gerakan politik adalah menjadikan perempuan dan laki-laki lebih setara. Maka dari itu, pentingnya kesetaraan gender sebab kesetaraan gender adalah kesempatan yang sama bagi gender laki-laki dan perempuan dalam hal partisipasi ekonomi, kesetaraan akses pendidikan, kesehatan serta political empowerment. Dalam UU cipta kerja terlihat jelas ketimpangan keseteraan gender bahkan hampir dikatakan bahwa UU omnibus law cipta kerja ini tidak ramah terhadap perempuan. Jika UU cipta kerja memberlakukan upah per satuan waktu. 

Lalu, bagaimana jika perempuan yang di sela-sela waktu bekerjanya harus sambil menyusui anak? Jika upah per satuan waktu ini diberlakukan maka perempuan yang bekerja sambil mengurus anak berpotensi tidak mendapatkan upah. Tidak bisa kita pungkiri saat kini perempuan Indonesia memiliki peran ganda, disatu sisi sebagai ibu rumah tangga dan disisi lainnya sebagai wanita karier. Namun jika, hal itu  mengharuskan perempuan untuk mencari nafkah sambil mengurus anak bukankah dengan adanya pemberlakuan UU cipta kerja ini sangat kejam. Pengimplementasian UU cipta kerja ini seolah menggambarkan Indonesia pada masa orde baru, yang mana kita ketahui pada masa orde baru eksploitasi tenaga kerja secara umum, khususnya tenaga kerja perempuan. Pengusaha dan pemilik modal memegang kendali penuh atas setiap kebijakan yang diberlakukan di Indonesia. Buruh-buruh digaji dengan gaji yang tidak sebanding dengan tenaga yang dikeluarkan untuk bekerja. 

Bukan hanya itu saja, pada masa orde baru pemerintah digambarkan seakan menguasai hampir seluruh masalah yang berkaitan dengan organisasi perempuan. Orientasi organisasi wanita ini antara lain (a) kesemuanya dipolitisir untuk kemenangan Golkar dan sebagai alat untuk menjaga agar tak ada orang atau golongan masyarakat yang menentang rezim yang berkuasa, (b) menetang kecenderungan laki-laki melecehkan perempuan, (c) kegiatan lebih banyak berhubungan dengan kepentingan suami, (d) mendukung birokrasi militer. Sehingga wanita kurang berkiprah di dalam birokrasi dan pembangunan. Hal ini, persis terjadi di masa kini yang mana dalam pengesahan UU omnibus law aspirasi masyarakat seakan dibungkam sehingga tidak ada orang ataupun golongan yang dapat menentang UU omnibus law walaupun dampak dari UU omnibus law cipta kerja ini memberikan dampak yang merugikan buruh khusunya buruh perempuan.

Jumlah pekerja informal di Indonesia mencapai 70,49 juta dari 126 juta angkatan kerja. Sebanyak 5 juta di antaranya adalah pekerja rumah tangga yang mayoritas perempuan. Yang berarti 5 juta perempuan berpotensi tertindas oleh UU cipta kerja ini.

Ini membuktikan bahwa kenyataannya diskriminasi berdasarkan gender masih terjadi bahkan para pekerja-pekerja perempuan masih banyak yang merasakan diskriminasi gender, di seluruh dunia. Padahal perempuan di Indonesia pada saat kini banyak yang memiliki peran ganda yang tidak ringan. Namun, ketidaksetaraan gender masih terjadi dalam kesempatan dan kendali atas sumber daya, ekonomi, kekuasaan, dan partisipasi politik di Indonesia. Akibatnya, perempuan dan anak perempuan menanggung beban paling berat akibat ketidaksetaraan yang terjadi, namun pada dasarnya ketidaksetaraan itu merugikan semua orang. Oleh sebab itu, kesetaraan gender merupakan persoalan pokok suatu tujuan pembangunan suatu negara. Perempuan Indonesia di zaman sekarang harus dapat berhati-hati menentukan posisi dan perannya, hingga dalam melakukan kegiatannya tidak menjadi korban berbagai kepentingan individu maupun kelompok, swasta maupun birokrat.

Referensi :

Djoeffan, Sri Hidayati. Juli – September 2001. “GERAKAN FEMINISME DI INDONESIA : TANTANGAN DAN STRATEGI MENDATANG”. Mimbar No. 3 Th.XVII.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline