Fiqih Mualamah merupakan ilmu yang berkaitan dengan hokum-hukum dalam kehidupan sehari-hari kita, khususnya pada hal transaksi dalam hubungan ekonomi. Salah satu pembahasan yang sering di bahas dalam fiqih muamalah ialah gadai atau yang disebut dalam fiqih muamalah yakni Rahn. Dalam artikel ini, saya akan membahas tentang gadai/ Rahn dalam islam dalam persfektif fiqih muamalah.
Gadai/ Rahn adalah sebuah transaksi atau sebuah perjanjian yang dilakukan antara rahin (pemberi barang jaminan) dan murtahin. (yang menerima barang jaminan).Dalam perjanjian gadai/ rahn, seorang rahin (pemberi barang jaminan) memberikan barang yang berharga/ bernilai sebgai jaminan kepada murtahin (penerima barang jaminan) untuk mendapatkan pinjaman atau untuk menjamin pelunasan hutang. Dalam gadai/ Rahn, barang yang dijadikan jaminan pinjaman disebut Mahrun bih. Barang yang dijadikan jaminan haruslah barang yang mempunyai nilai. Karena jika barang yang di jadikan jaminan merupakan barang yang tidak bernilai, tidak akan sesuai dengan barang yang dipinjamkan. Selain itu, alasan mengapa barang gadai harus yang bernilai karena dapat menjamin keadilan transaksi, menjamin pelunasan hutang jika peminjam tidak dapat memenuhi kewajiban pembayarannya,menjamin keberlanjutan transaksi untuk memastikan bahwa barang dapat dijual dengan harga yang memadai untuk menutupi hutang yang belum dilunasi, dan dapat mencegah penyalahgunaan gadai tersebut.
Dalam sejarah islam, system gadai sudah dilaksanakan pada zaman Rasulullah SAW. Pada saat itu, gadai dilaksanakan sesuai dengan prinsip keadilan dan penuh kehati-hatian. Rasulullah sendiri pernah melakukan gadai, ketika beliau membeli gandum dari orang yahudi. Lalu beliau tidak punya uang untuk membayarnya. Lalu beliau menggadaikan baju besinya, bahkan sampai beliau wafat, beliau belum sanggup untuk melunasinya. Dan yang melunasinya ialah sahabat beliau yaitu Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq. Maka baju besi tersebut tidak sempat ditebus pada saat beliau masi hidup, dan di tebus ketika sudah zaman Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq. Rasulullah juga mengizinkan untuk umatnya melakukan gadai dengan mengikuti syarat-syarat yang sudah di tentukan. Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa islam tidak secara mutlak melarang pergadaian, akan tetapi sudah menetapkan prinsip dan syarat-syarat yang harus diikuti. Hukum gadai tersebut dapat diliat dari prinsip-prinsip yang ada didalam fiqih muamalah diantaranya yaitu keadilan adanya kesepakatan yang salih menguntungkan antara pemberi gadai dan penerima gadai. selanjuutnya keterbukaan dan transparansi terhadap nilai barang yang digadaikan (mahrun bih). Kemudian kepemilikan yang sah tidak boleh memakai barang yang bukan milik pemberi gadai sebagai jaminan. Dan yang terakhir yakni memiliki rasa tanggung jawab menjaga barang serta merawat barang yang sudah dijaminkan.
Ada beberapa yang harus diperhatikan dalam melakukan pergadaian, yaitu:
1. Gadai itu jaminan atas hutang bukan dijadikan objek jual beli.Karena gadai menjadi jaminan untuk hutang bukan jual beli maka konsekuensinya ialah tidak pindah hak milik. Sehingga barang gadai itu tetap milik orang yang berhutang, bukan orang yang memberikan pinjaman hutang. Meskipun barang itu diserahkan dan diterima oleh pemberi hutang.
2. Tidak memanfaatkan barang gadaian. Karena jika ia memanfaatkan barang gadai, maka ia sama saja mendapatkan manfaat gadai hutang dan termasuk riba. Akan tetapi, barang gadai boleh di manfaatkan jika sudah disepakati bersma antara pemberi barang gadai dan penerima barang gadai. Namun, pemanfaatan barang gadai tersebut dilakukan dengan tidak merugikan pihak pemberi gadai dan tidak menentang dari prinsip syariah. Contohnya, barang yang digadaikan ialah sepeda motor, maka penerima gadai tersebut dapat menggunakan sepeda motor tersebut untuk keperluan operasional usaha, bukan untuk keperluan pribadi. Penerima barang gadai juga tidak boleh mengurangi nilai barang gadai dan tidak merugikan pihak siapapun.
3. Jika objek gadai memerlukan biaya perawatan, maka biaya tersebut menjadi tanggung jawab pemiliknya (pemberi barang gadai). Dalam arti, pemiliknya harus membayar jika barang memerlukan biaya perawatan. Contohnya, pada masa dahulu, barang gadai boleh berupa hewan seperti kambing atau unta kemudian dirawat oleh penerima barang gadai tersebut. Nabi SAW mengizinkan untuk merawat barang gadai tersebut. Nabi SAW juga mengizinkan unta tersebut untuk ditunggangi sebagai ganti dari biaya perawatan. Dan ada juga orang yang menggadaikan kambing, maka Nabi SAW mengizinkan untuk diperas susunya sebagai ganti biaya perawatan. Itulah salah satu dari contoh, dimana Nabi Muhammad SAW mengizinkan orang yang memegang barang gadai, dan dia butuh tenaga atau biaya, maka ia dapat menggantikan dengan hasil yang didapatkan dari barang gadai tersebut.
Maka dari itu, dalam mempraktikkan gadai/ rahn harus menjaga keseimbangan antara kebutuhan ekonomi dan nilai nilai moral dalam islam. Dimana pihak yang memberikan barang gadai perlu berhati-hati dalam memilih barang yang dijadikan jaminan. Sedangkan pihak penerima gadai harus bertanggung jawab dalam menjaga dan merawat barang yang sudah digadaikan tanpa mengurangi nilai barang tersebut agar tidak merugikan satu sama lain. Oleh karena itu, melakukan gadai dalam islam harus dengan kehati-hatian dan kewaspadaan yang dijalankan sesuai dengan prinsip syariah. Mendalami pemahaman yang bagus tentang hokum-hukum gadai dalam fiqih muamalah yang dapat memastikan bahwa tranksasi gadai tersebut berlangsung dengan adil, transparan, dan sesuai dengan nilai-nilai syariah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H