Guru merupakan profesi yang sangat mulia serta memiliki potensi yang sangat luhur di masyarakat. Guru tidak hanya sebatas mengajar di ruang lingkup sekolah atau di kelas saja, namun guru juga bisa mengajar di tengah-tengah ruang lingkup masyarakat seperti halnya guru yang mengajar di tempat pendidikan Al-Qur'an (TPA). TPA bukan hanya tempat membaca Al-Qur'an saja, namun juga menjadi tempat untuk pembentukan pikiran dan akhlak, agar menjadi generasi yang baik untuk masa depan.
Di zaman sekarang, banyak yang mendirikan TPA sehingga juga membutuhkan banyak guru untuk mendidik anak muridnya. Seperti halnya sosok guru ngaji kali ini yang namanya dikenal banyak orang karena menjadi tokoh agama di desa. Beliau bernama bapak Rozak. Beliau lahir di Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah pada tanggal 07 Agustus 1970. Beliau memiliki keluarga kecil yang terdiri dari istri dan mempunyai dua anak laki-laki.
Dan setelah menikah itu, bapak Rozak mendapat tanah wakaf, sehingga beliau dengan keluarganya tinggal di Dusun Karang Anyar, Desa Sidomukti, Kecamatan Kenduruan, Kabupaten Tuban Jawa Timur. Dulu tempat belajar ngajinya berada di dalam musholla. Dan akhirnya lahan kosong yang di samping rumahnya yang berada di depan musholla itu dibangun untuk tempat mengaji khusus Al-Qur'an dan kitab. Bapak Rozak adalah sosok guru yang dikenal baik dan ramah baik di kalangan masyarakat maupun di luar masyarakat. Selain menjadi guru ngaji, beliau juga menjadi imam di musholla nya sendiri yang berada tepat di samping rumahnya, dimana musholla nya juga menjadi tempat ia mengajar anak-anak belajar mengaji.
Di dalam mengajar membaca Al-Qur'an, beliau juga mengajarkan berbagai macam kitab seperti kitab nahwu, shorof, aqidah akhlak, dan tajwid. Cara mengajar beliau itu sangat enak dan para muridnya dianggap seperti teman sendiri. Sehingga para muridnya merasa enjoy ketika belajar dan materi pun mudah untuk dipahami. Beliau mempunyai Istri yang bernama ibu Yati. Ibu Yati juga menjadi guru ngaji yang mengajar anak-anak tingkat iqra' di TPA yang sama, namun di tempat yang berbeda.
Selain itu, pak Rozak juga menjadi seorang pedagang yang menjual berbagai peralatan bangunan seperti semen, besi, cat, paku, dan bahan bangunan lainnya. Beliau juga menjual gas elpiji. Beliau ketika hendak berangkat ke toko kadang-kadang dengan berjalan kaki karena jarak dari rumah ke toko sekitar kurang lebih 1 menit. Dan tokonya tepat berada di sebelah barat pasar Sidomukti. Selain menjadi guru ngaji dan pedagang, beliau juga terpilih menjadi sekretaris organisasi Nadhlatul Ulama (NU).
Kesehariannya beliau yaitu ketika setelah sholat shubuh, beliau membaca Al-Qur'an di toko sambil berjualan, kemudian di waktu menjelang sehabis sholat ashar, beliau menutup tokonya dan mulai berangkat mengajar di TPA Al-Hidayah Sidomukti. Kemudian sehabis sholat maghrib, beliau ngaji kitab di rumahnya sendiri. Tak lupa dari itu, beliau juga selalu mengantarkan anak laki-laki pertamanya yang menjalani kuliah jenjang S1 di kabupaten Rembang. Beliau rela mengantar dan menjemput anaknya dari kota yang agak jauh itu dengan alasan anaknya yang tidak bisa mengendarai sepeda motor.
Biasanya musholla itu mengadakan acara haul K.H. Said, dimana acara tersebut dimeriahkan dan para anak-anak yang mengaji disana juga ikut berpartisipasi dalam acara haul tersebut. Seperti halnya sebagai hiburan yaitu menyumbang lagu-lagu sholawat, nari, dan masih banyak lagi. Dan terpenting mengundang orang-orang tokoh agama di desa dan para kyai.
Dulu TPA Al-Hidayah itu menjadi saingan dengan para TPA lainnya, karena TPA Al-Hidayah ini dulu zaman saya masih mengaji disana terkenal dengan banyak santri dan santrinya sangat kompak dan selalu menjadi juara ketika ada ajang perlombaan di seluruh TPA. Tak lain dari itu, TPA Al-Hidayah juga mempunyai seragam khusus agar para masyarakat tahu bahwa seragam dengan pakaian batik hijau itu bagian dari santri TPA Al- Hidayah. Namun, pada zaman saya mengaji belum ada seragam khusus para santri. Seiring berjalannya waktu, TPA Al-Hidayah yang sekarang tak serame dulu.
Banyak para pedagang di samping TPA, namun santrinya semakin kesini semakin berkurang. Bisa jadi faktor yang menjadi penyebab karena kualitas guru yang mengajar atau dan lain sebagainya.
Karena dulu zaman saya masih mengaji sampai sekitar 2017 itu belum ada pedagang yang menjual berbagai jajajan, tapi mereka setelah ngaji bermain di sekitar musholla dengan permainan tradisional. Berbeda dengan zaman sekarang yang santrinya selesai mengaji dan istirahat selalu membeli jajanan, sehingga orang tua mungkin juga tidak terlalu menyukai jika ngaji disertai membeli makanan. Dan juga dulu setelah ngaji tingkat Al-Qur'an tuntas, diadakan acara besar-besaran dengan tujuan khataman Qur'an dengan mengundang para kyai.Sebelum acara di panggung mulai, pagi harinya para santri yang berkhataman dikumpulkan untuk membaca Qur'an bareng-bareng. Lalu sore harinya mereka bersiap-siap berdandan bagi kaum wanita, dan laki hanya ganti kostum. Berbeda dengan sekarang yang tidak rutin diadakan dikarenakan muridnya sedikit atau semakin berkurang.
Kemudian, di TPA itu memiliki khas khusus untuk bahan mengajar, yaitu dengan menggunakan jari untuk mengetuk dengan tujuan agar para santri tahu panjang pendek bacaan tersebut sesuai dengan tajwid. Maka dari itu, kita patut menghargai dan menghormati beliau meski sudah tidak mengaji disana. Karena bagaimanapun keadaanmu yang sekarang, tanpa mereka mungkin kita tidak tahu cara baca mulai dari Iqra sampai dengan Al-Qur'an.