Lihat ke Halaman Asli

Nurul Chojimah

Dosen Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan UIN Sayyid Ali Rahmatullah (SATU) Tulungagung

Ramadhan dan Lebaran yang Selalu Eksotis

Diperbarui: 2 Juli 2024   20:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suasana salat Ied di helipad UMM (koleksi pribadi) 

Bulan Ramadhan telah berlalu agak lama. Gegap gempita lebaran juga sudah  berakhir. Meski demikian, kenangan tentang eksotisme Ramadhan dan lebaran masih melekat di benak saya. Ramadhan memang beda dengan bulan-bulan lain. Ramadhan sangat eksotis secara spiritual dan sosial.

Secara spiritual, Ramadhan itu eksotis karena dia bisa memberi banyak ruang yang membuat kita sangat intens berdialog dengan-Nya. Shalat tarawih di masjid atau surau yang biasanya disambung dengan tadarus adalah ruang tambahan bagi kita untuk 'berjumpa' dengan-Nya sehingga kita memiliki lebih banyak kesempatan untuk menumpahkan banyak uneg-uneg dan memanjatkan permintaan. Sesaat setelah dini hari, panggilan sahur baik dari toa masjid maupun dari pemuda yang keliling kampung menjadikan malam terasa sangat pendek. 

Dini hari bukan lagi saat yang sunyi dan beku, melainkan saat yang penuh semangat dan gairah untuk mempersiapkan segala sesuatunya supaya puasa di esok hari berjalan lancar. 

Di sepuluh hari terakhir, eksotisme Ramadhan semakin terasa dengan i'tikaf yang dilakukan di masijid-masjid. Keluar rumah menuju masjid ketika dini hari memberikan pengalaman batin tersendiri. 

Sesampai di masjid, berbagai ibadah bisa dilakukan oleh umat baik secara berjamaah maupun secara mandiri. Waktu pelaksanaan yang di sepertiga malam, pelaksanaan yang di masjid dengan lampu temaram, dengan nyaris tanpa suara selain suara merdu imam, menjadikan i'tikaf seperti media pendekat antara hamba dan sang Khaliq. Saat inilah hamba dengan leluasanya melangitkan berbagai harapan dan doa dengan penuh kepasrahan.

Eksotisme Ramadhan secara spiritual ditutup dengan kumandang takbir di hampir sepanjang malam di hari terakhir Ramadhan yang dilanjutkan dengan shalat Ied keesokan harinya. Ramadhan tahun 2024 atau 1445 H saya dan keluarga melaksanakan shalat Ied di lapangan helipad Kampus III Universitas Muhammadiyah Malang. 

Shalat sunat dua rakaat ini dipimpin seorang imam dengan suara sangat merdu dan dengan tartil yang sangat melodious. Di rakaat pertama dibacakannya Surat Al-A'la ayat 1-19 dan Surat Al-Ghasiyah ayat 1-26 di rakaat kedua dengan sangat indahnya. Keindahan tartil dan kemerduan suaranya menjadikan shalat dua rakaat ini terasa sangat singkat. Rasanya ingin berdiri lebih lama lagi untuk menjadi makmumnya supaya bisa mendengar indahnya alunan Al-Qur'an.

Keindahan dan keasyikan shalat Ied menjadi semakin lengkap dengan ceramah yang disampaikan oleh Prof. Hilman Latief, MA, Ph.D, Bendahara Umum PP Muhammadiyah. Yang beliau sampaikan adalah inti sari dari QS Al-Balad ayat 11-20. 

Beliau menyampaikan empat kebajikan sosial yang sulit dilakukan yang tersampaikan di ayat-ayat tersebut:  melepaskan diri dari sikap eksploitatif terhadap sesama terutama kepada pihak-pihak yang menjadi subordinate, konsisten memberi makan kepada pihak yang membutuhkan di saat kita dalam kondisi krisis, membantu anak yatim, terutama yang masih memiliki hubungan kerabat, dan membantu orang yang sangat miskin. Inilah empat Kebajikan yang patut kita renungkan untuk selanjutnya kita jalankan walau itu sulit untuk mengisi hari-hari pasca Ramadhan.

Secara sosial, Ramadhan juga sangat eksotis alias menarik karena Ramadhan selalu ditutup dengan tradisi mudik. Puasa terasa tidak lengkap bila tidak diakhiri dengan mudik. Mudik alias pulang kampung di hari pasca Ramdhan berbeda dengan mudik di hari-hari biasa. Mudik lebaran bisa dikata sebagai mudik nasional. Hampir semua penduduk negeri ini pulang kampung ketika lebaran. 

Dari pejabat tinggi sampai rakyat jelata semuanya berbondong-bondong pulang kampung dan menghabiskan waktu selama beberapa hari di kampung halaman. Menasionalnya tradisi mudik ini, maka lalulintas jauh lebih ramai dari biasanya. Kemacetan Panjang menjadi pemandangan lazim. Penuhnya rest area oleh mobil pemudik menjadi kelumrahan. Panjangnya antrian mobil di pintu tol sangatlah biasa. Pendek kata, mudik adalah peristiwa dan gawe nasional.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline