Sekolah vs Pendidikan
Pendidikan identik dengan belajar. Dan manusia adalah pembelajar sepanjang rentang usia. Pendidikan adalah proses mengubah diri seseorang (sekelompok individu) secara sadar, aktif, dan sistematis. Karena menuntut kesadaran dan proses belajar, serta harus berdampak adanya perubahan, maka tanpa ketiga unsur tersebut, seseorang tidak bisa dikatakan terdidik. Meskipun boleh jadi ia telah bersekolah berpuluh tahun lamanya.
Sejauh ingatan saya, dalam bahasa latin, pendidikan (education) berasal dari akar kata educare yang artinya mengukir. Maka pendidikan memang harus berjejak, membekas kuat. Keberhasilannya salah satunya diukur dari: Sudahkah individu yang mengenyam pendidikan itu berubah mind set-nya? (ranah kognitif) Telahkah mereka yang terdidik itu berubah menjadi lebih peka dan responsif terhadap berbagai persoalan kemanusiaan dan masyarakat? (ranah afektif) Apakah mereka yang telah menjalani pendidikan itu telah memanfaatkan pengetahuan dan ketrampilannya secara nyata di tengah-tengah masyarakat sebagai wujud rasa tanggung jawabnya? (ranah psikomotorik)
Pendidikan sudah setua usia manusia itu sendiri. Dan madrasah pertama dan terutama yakni pendidikan keluarga. Biasanya kedua orang tua berperan penting dalam hal ini.
Sekolah memang lekat dengan pelaksanaan pendidikan, namun tidak selalu identik. Seperti yang saya kemukakan di awal, boleh jadi seseorang “kenyang makan bangku sekolah” tapi tidak terdidik. Salahe dhewe, lha wong bangku sekolah kok dimakan? He he he. Guyon, lho..
Schooling vs Deschooling Society
Sebenarnya kalau kita mau menarik persoalan yang lebih mendasar, dibandingkan perdebatan panjang lebar dikali tinggi (sama dengan volume, hehe) mengenai Sekolah Sehari Penuh (Full Day School) atau Sekolah Setengah Hari….ya saya berpendapat, kita kembali saja pada esensi pendidikan itu.
Di Era Internet ini, di era multimedia dan dengan generasi digital yang sangat haus informasi dan memiliki hampir semua akses terhadap pengetahuan, No Excuse untuk individu yang memilih untuk tidak terdidik.
Sudah jauh-jauh hari Mas Ivan Illich ngobrolin deschooling society, lha masa kita sekarang ribut-ribut lagi perlunya sekolah full day atau half day atau day care atau “day-day” yang lain. Kesian lho, nanti beliau-nya ngambek… merasa nggak didengerin sama orang-orang Indonesia.
Full Day School: Siapa Takut!
Oke, saya coba bersingkat kata saja. Saya sangat setuju dengan Full Day School. Saya akan bocorin ya alasannya. Satu, saya termasuk orang tua yang bekerja. Jadi, saya sekalian nitipin anak saya.. (eh, ini rahasia (umum), lho)….di tempat yang amanah dan terpercaya tentunya. Dalam hal ini, pilihan saya tergolong rasional dan realistis. Iya apa Iyaaa? Dua, saya ngeman ibu saya di rumah. Masa, beliau sudah sepuh masih saya bebani ikut berpartisipasi aktif momong anak saya yang aktif-aktif itu. Jadi, alasan kedua adalah saya takut kualat. Tiga,saya dan suami bekerja. Maka, pembagian pembiayaan hidup kami kurang lebihnya adalah: penghasilan suami untuk A,B,C,D. Penghasilan istri untuk E, F, G, H, I. Lho, kok banyakan alokasipengeluaran dari penghasilan istri. Iya, yang I itu untuk jalan-jalan, kok…