Lihat ke Halaman Asli

Kicauan Sang Nuri #2

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Chapter 2

Saat Perusuh Datang

Suatu hari ketika sedang ramai-ramainya dengan acara penerimaan mahasiswa baru, sebut saja OSPEK di kampus-kampus mana pun. Begitu pula Universitas Sakti Jaya. Entah apa yang terjadi. Konon kabarnya, ada seorang mahasiswa baru yang ternyata adalah anak rektor kampus tersebut. Mahasiswa atau mahasiswi di sana banyak sekali yang penasaran dengan pemberitaan itu. Namun, kenyataannya, saat OSPEK tidak sekali pun ia mengikuti acara tahunan tersebut. Apa mungkin karena dia adalah anak seorang rektor, jadi terbebas dari acara tersebut? Padahal, biasanya mahasiswa yang ingin masuk Universitas Sakti Jaya wajib mengikuti acara tahunan terebut. Hal ini mengundang pertanyaan dan juga sedikit kritikan dari mahasiswa lain.

Kabar itu pun sampai pada telinga Nuri. Itu pun karena Rina yang memberitahunya. Nuri memang memiliki sifat yang sedikit tidak peduli dengan keadaan sekitarnya selama itu tidak merugikannya. Baginya mengurusi urusan orang lain hanyalah menambah beban bagi dirinya, selama memang orang itu tidak membutuhkan bantuannya. Beda dengan temannya, Rina. Ia selalu heboh dengan kabar-kabar ter’update. Dari gosip-gosip infotainment TV hingga gosip-gosip di kampusnya.

“Nur, tau enggak? Katanya ada mahasiswa baru. Anak rektor lho! Tapi, enggak ikut OSPEK. Curang banget ‘kan? Huhh, kita dulu aja sampe dipaksa-paksa. Kalau enggak mau ikut, bakalan kena sanksi. Enak banget tuh anak,” Rina mulai menggosip tidak jelas. Melihat tingkah sahabatnya itu, Nuri hanya dapat menghembuskan napas malasnya.

“Kamu itu pagi-pagi udah ngegosip. Mau anak rektor atau bukan, mau dia OSPEK atau enggak, itu ‘kan bukan urusan kita, Rin! Enggak baik punya sifat pendendam, Allah benci itu,” jawab Nuri yang terlihat fokus mengerjakan tugas-tugas kuliahnya dan tidak sekali pun memandang temannya itu.

“Yah, mulai deh ceramahnya. Gue ‘kan cuma ngeluarin kekeselan Gue aja. Sekali-kali peduli sama beginian juga kek, Nur,”

“Ngapain juga, Rin. Enggak penting banget. Mending Kamu kerjain aja tugas-tugas kuliah Kamu. Malah mikirin yang lain,” Nuri masih tetap fokus pada tugas-tugasnya karena ia malas jika sudah mendengar sahabatnya itu membicarakan urusan orang lain. Rina hanya menggembungkan pipinya kesal karena teman cupu’nya itu terlalu memedulikan urusan kuliahnya saja.

Masa OSPEK telah berakhir. Mahasiswa-mahasiswa wajah baru pun mulai bermunculan. Namun, ada satu masalah dengan mahasiswa yang dikabarkan sebagai anak rektor yang baru-baru ini gosipnya hangat di kampus. Ia bernama Erlando Yudhistira yang belakangan dikabarkan sudah dua kali di Drop Out (DO) dari kampus-kampus sebelumnya. Dan dengan alasan yang sama, yaitu tidak pernah menjalankan tugasnya sebagai mahasiswa. Sebaliknya, ia malah selalu menjadi perusuh di kampus-kampus tersebut.

Sebenarnya, sejak awal Erlando memang tidak berniat untuk melanjutkan studinya sejak lulus SMA. Ia hanya ingin melanjutkan prestasinya dalam bidang olahraga terutama basket. Ternyata dibalik kenakalannya tidak disangka bahwa ia itu adalah pemain basket nasional. Beberapa kali ia sudah menjadi pemain terbaik tingkat nasional bahkan internasional. Ia merasa prestasinya saja seharusnya sudah cukup untuk memuaskan keluarganya, tetapi pemikiran ayahnya yang keras dan juga kekerasan kepalaannya tidak pernah mencapai satu pemikiran.

Rektor Universitas Sakti Jaya, Chandra Yudhistira, menyuruh putra semata wayangnya itu untuk berkuliah di tempatnya. Bukan karena alasan apa pun, ia sudah terlalu malu oleh perbuatan putra yang sebenarnya adalah putra angkatnya itu. Awalnya memang Erlando menolak keinginan ayahnya tersebut. Namun, kali ini Erlando tidak dapat berkutik lagi karena ayahnya benar-benar mengancamnya habis-habisan. Ia terancam tidak dapat bermain basket lagi seumur hidupnya dan juga tidak akan mendapatkan uang saku lagi dari ayahnya. Akhirnya, dengan sangat terpaksa ia menuruti permintaan ayahnya itu.

Kemudian, rektor yang sangat dikagumi sebagian mahasiswa di sana itu menemukan sebuah ide untuk menghilangkan atau setidaknya membuat anaknya sedikit jera dengan kelakuannya selama ini. Karena jurusan yang sebidang dengannya tidak ada, ia akhirnya memasukkan putranya itu ke salah satu Fakultas Bahasa. Fakultas yang mungkin setidaknya dapat membuatnya jera karena biasanya mahasiswa dari fakultas ini benar-benar mahasiswa yang ahli di bidangnya.

Terlebih lagi, Chandra Yudhistira memaksa putranya untuk masuk jurusan bahasa Jepang. Jurusan Bahasa Jepang adalah jurusan yang ditakuti oleh mahasiswa-mahasiswa dari jurusan lain karena menurut mereka bahasa Jepang itu sangat menjengkelkan. Mulai dari tulisannya yang sangat berbeda dengan alfabet di Indonesia, sampai pembagian logat yang benar-benar menyusahkan. Itu adalah pemikiran kebanyakan mahasiswa dari jurusan bahasa selain Jepang.

~*~*~*~

Suatu hari, pada saat Nuri sedang terburu-buru menuju kelasnya, tidak sengaja ia menabrak laki-laki dari arah berlawanan dengannya. Namun, sebaliknya yang tersungkur jatuh malah Nuri sendiri.

“ADUHHH... SAKIT!” Nuri mengeluh sambil memegangi pinggangnya yang kesakitan. Sesaat ia melihat siapa yang menabraknya tadi. Laki-laki itu hanya menghembusan napas malasnya.

“EH, ! KAMU ENGGAK BISA LIAT JALAN, YA?” marah Nuri sambil melototi laki-laki di hadapannya itu.

“Woi, sadar bos! Yang enggak liat jalan tuh siapa, HAH? Siapa yang nabrak, siapa yang marah-marah. Dasar cewek ‘ANEH’,” ucap laki-laki itu dengan gaya yang sedikit sombong sambil mengibas-ngibaskan telapak tangannya ke depan wajah Nuri. Namun, dengan polos atau mungkin sifat bodoh atau mungkin juga sifat terlalu baiknya, hingga ia langsung berpikir ternyata memang dialah yang salah. Benar-benar anak yang mudah dibohongi.

“Hah? Emang Aku yang nabrak, ya? Tapi, iya juga sih. Aku ‘kan tadi buru-buru. Ya udah deh, Aku minta maaf. Biar cepet beres. Maaf ya,” Dengan bodohnya, Nuri begitu saja minta maaf dengan tidak memikirkan apa pun lagi. Lalu, ia pun bergegas kembali pergi karena menurutnya ia sudah benar-benar terlambat masuk kelas. Laki-laki itu hanya terdiam, lebih tepatnya terheran-heran melihat tingkah aneh gadis yang baru saja menabraknya.

“Kok dia malah langsung minta maaf gitu aja deh? Aneh. Atau tuh anak emang oon beneran? Hehh...” laki-laki itu bicara pada dirinya sendiri memikirkan keanehan sikap Nuri.

Sesaat berlalu, Nuri pun akhirnya tiba di kelasnya. Ia sangat kecewa karena hari ini ia terlambat kuliah. Ia selalu merasa tidak enak jika Dosen hadir lebih dulu dari dirinya. Menurutnya itu tidaklah sopan. Namun, apa daya. Macetnya Jakarta ternyata menjadi penghalang doanya untuk tidak terlambat masuk kuliah.

“Sensei, Osokunatte sumimasen..”[1] Nuri meminta maaf karena terlambat dengan menggunakan  bahasa Jepang. Dalam jurusan bahasa, memang sudah diajarkan sejak semester III harus terbiasa menggunakan bahasa asing sesuai  jurusan bahasa masing-masing dalam kelas bahasa tersebut.

“Doushita no?”[2]

“Michi ga konde imashita kara, sumimasen~~”[3]

“Mata? Jaa, hayaku haitte kudasai, Nuri-san,”[4]

Betapa leganya hati Nuri karena dosen yang mengajar pada saat itu ternyata tidak memarahinya. Sebenarnya memang kalau sudah menjadi mahasiswa, keterlambatan itu sudah menjadi hal yang wajar. Memang Nuri saja yang terlalu berlebihan terlalu terpaku pada prinsip kakunya itu. Namun, yang sebenarnya dilakukan Nuri adalah sesuatu yang paling benar.

Pelajaran pun dimulai. Nuri dan teman-teman lainnya pun memulai pelajaran mereka. Kebetulan, hari ini Nuri tidak ada kelas yang sama dengan sahabatnya, Rina. Karena Rina terlalu banyak mengulang pelajaran, jadi ia tertinggal oleh Nuri. Entah mengapa jika seharian tidak bersama dengan Rina, Nuri merasa sedikit kesepian. Karena tidak ada yang mau berteman dengannya kecuali Rina dan juga teman-teman di klub manga dan rohis saja. Itu pun hanya jika Nuri dengan dalam kegiatan klub saja. Di luar klub, mereka sama sekali tidak pernah menyapa bahkan melirik ke arah Nuri pun enggan. Memang benar-benar hanya Rina saja yang mau menemaninya saat ia sedang dalam keadaan apa pun.

Suatu ketika, berita mengejutkan datang menghampiri Nuri. Mungkin akan sampai membuat Nuri tercengang. Awalnya Rina lah yang mengabari Nuri. Entah mengapa kabar-kabar selalu saja berasal darinya. Berita itu menyebutkan bahwa Nuri harus mengajari mahasiswa baru yang ternyata anak rektor itu secara intensif. Dan lagi, Pak Rektor sendiri yang langsung meminta Nuri untuk mengajari anaknya tersebut.

“Nur, demi Allah Gue enggak bohong. Loe disuruh ngajar anak Pak Rektor yang Gue ceritain tempo lalu itu, lho!” jelas Rina yang tiba-tiba datang menghampiri Nuri yang sedang asyik menggambar manga di halaman kampus yang tidak terlalu luas itu.

Serentak Nuri langsung mematahkan kepalanya ke arah Rina dan tercengang tidak percaya. Matanya yang terbalut kacamata tutup botol, semakin menambah kesan bahwa matanya juga bulat besar seperti kacamatanya.

“WHATTTTTTTTTTTTTT???????? SERIUSAN KAMU, RIN? Kenapa harus Aku, sih?” Nuri begitu terkejut mendengar berita dari sahabatnya itu hingga hampir saja menjatuhkan sketchbook kesanyangannya.

“Iya, serius Gue. Tadi ‘kan Gue ke ruang dosen. Terus, tumben-tumbenan ada Pak Rektor. Dia nanya-nanyain nama Loe gitu ke dosen-dosen. Pas kebeneran Gue di situ. Fika Sensei, dosen yang kebetulan kenal sama Gue manggil-manggil Gue. Mungkin dia tau kalo Gue itu temen Loe,” jelas Rina dengan antusiasnya.

“Terus?” Nuri semakin penasaran dengan hal yang dibicarakan temannya itu.

“Ya gitu. Pak Rektor nyuruh Gue buat nyampein ke Loe, kalau anaknya butuh tutor pribadi,” tambah Rina menjelaskan.

“Aih~ gimana dong? Gimana kalau dia itu cowok? ‘Kan bukan muhrim,” Dengan bodohnya Nuri bertanya seperti itu pada Rina.

“Ya ampun, Nur.... Emang anaknya Pak Rektor itu cowok, DODOL! Makanya kalau orang cerita tuh dengerin. Gue ‘kan pernah cerita ama Loe sebelumnya dan Loe malah balik nyeramahin Gue. Tau rasa ‘kan Loe sekarang!” Rina balik memarahinya setelah apa yang Nuri lakukan padanya waktu itu, menceramahinya karena menggosipkan orang lain.

“Terus, Aku harus gimana dong, Rin! Nanti kuliahku gimana? Kamu ‘kan tau Aku ini beasiswa di sini. Nanti kalau Aku ambil job begituan, Aku bakal dipecat jadi mahasiswa,”

“Hih~ Lebai banget sih Loe. Pake mikir bakal dipecat segala. Ya, kaga lah. Udah sana! Temuin Pak Rektor dulu, biar Loe jelas sejelasnya. Males Gue ngejelasinnya ke Loe. Kaga nyambung-nyambung,” Setelah itu Rina pun meninggalkan Nuri yang masih terbengong sendirian. Saat itu secara tidak langsung sebenarnya Rina sangat mengkhawatirkan sahabatnya itu. Namun, menurutnya ini bagus juga dengan begini mungkin ia dapat sedikit membaur dengan orang lain.

~*~*~*~*~

Nuri berjalan menyusuri tiap lorong kampus bermaksud untuk meminta penjelasan dari Pak Rektor mengenai apa yang telah diberitakan Rina padanya. Ia berjalan gontai menghampiri ruangan Rektor. Ia masih merasa ‘galau’ dan tidak percaya dengan apa yang dibicarakan temannya itu.

Akhirnya, sampailah Nuri di depan ruangan Rektor. Entah apa yang dipikirkannya, ia ragu untuk masuk ke ruangan tersebut. Beberapa saat ia hanya berdiri saja di sana, hingga akhirnya ada seseorang yang ke luar dari ruangan tersebut. Ternyata dia adalah Pak Rektor. Beliau sedikit terkejut melihat seorang mahasiswi yang berpenampilan sedikit ‘aneh’ hanya berdiri di depan ruangannya.

“Anda siapa? Mahasiswi sini? Ada urusan dengan Saya?” kata-kata Pak Rektor seakan menginterogasi Nuri secara tidak langsung. Nuri mulai menelan ludahnya dalam-dalam. Namun, ia tetap berusaha bersikap santai dan berusaha untuk mengungkapkan tujuannya datang ke sana.

“Be.. benar, Pak. Saya Nuri Ilmi, mahasiswa semester V Fakultas Bahasa. Teman Saya mengatakatan bahwa Pak Rektor memanggil Saya. Karena itu, Saya ke mari, Pak,” jawab Nuri dengan agak sedikit segan.

“Oh, Anda yang bernama Nuri Ilmi, mahasiswi beasiswa jurusan bahasa Jepang itu, ya? Benar, benar. Saya menyuruh teman Anda untuk menyampaikan urusan tentang hal itu,”

“Hal itu? Maksud Bapak?” Nuri kebingungan mencerna kata-kata Pak Rektor. Sebaliknya Pak Rektor malah menoleh ke kanan kirinya seperti tidak ingin orang lain mengetahui tentang hal yang berkaitan dengan anaknya itu.

“Kalau begitu masuk dulu saja. Kita bicarakan di dalam saja, ya!” Pak Rektor mengajaknya masuk karena sepertinya hal tersebut sangat privasi.

Awalnya Nuri merasa sedikit ragu akan ajakan Pak Rektor, tetapi ia mencoba untuk tidak berburuk sangka pada hal yang belum pasti. Ia pun masuk ke ruangan Rektor masih dengan perasaan penasaran.

“Silakan duduk. Santai aja. Enggak perlu takut. Bukan hal yang serius-serius amat, kok!” kata Pak Rektor menyilakan Nuri duduk. Seketika Nuri merasa aneh. Tadi Pak Rektor berkata dengan bahasa yang sopan, tetapi sekarang malah sebaliknya. Awalnya Nuri merasa tidak enak, tetapi ia berusaha untuk menyesuaikan diri.

“Kamu pasti udah denger dari temanmu, ya?”

“Tentang apa, Pak?” Nuri begitu penasaran dengan apa yang dibicarakan Pak Rektor hingga alisnya mengkerut-kerut.

“Hah? Memang dia belum cerita masalah anak Saya? ‘Kan Saya udah bilang sama dia untuk cerita sama Kamu,”

“Oh, tentang anak Bapak yang baru masuk itu ya? Iya, Pak. Dia sudah cerita. Tapi masa Saya sih, Pak? Saya ‘kan belum ada pengalaman mengajar siapa pun. Kenapa enggak panggil guru dari luar aja, Pak? Bukannya lebih bisa menjanjikan?” Nuri merasa tidak percaya diri dengan dirinya yang sekarang. Meskipun ia mengakui kalau dalam akademik dia tidak seburuk apa yang dikatakannya.

“Kamu benar. Tapi Saya udah sering sekali memanggilkannya guru privat. Tapi tetap aja. Saya enggak pernah ngerti jalan pikirannya dia. Dia udah dua kali di DO dari kampus yang sebelumnya. Daripada dia menambah malu keluarga, jadi Saya bawa paksa aja dia ke kampus ini,” jelas Pak Rektor meyakinkan Nuri.

“….”

“Kamu mau ‘kan bantu Saya? Saya perlu sekali bantuan Kamu. Mungkin dengan diajarkan oleh seseorang yang seumuran dengannya, dia akan sedikit bisa merubah pola pikirnya. Terserah Kamu saja mau mengajarkannya dengan cara apa. Saya akan bebaskan Kamu dalam hal itu. Masalah gaji, tenang aja. Saya akan gaji Kamu secara personal,” Pak Rektor terus saja membujuk Nuri agar mau mengajar anaknya yang sulit diatur itu. Ia berharap jika Nuri yang mengambil alih, mungkin ia dapat setidaknya sedikit berubah.

‘Gimana nih? Kalau Aku tolak, kasian Pak Rektor. Lagi juga dia ngomongin tentang duit tadi. Astaghfirulloh…. Kok Aku jadi kaya orang yang pamrih gini, ya? Tapi emang saat ini Aku lagi butuh banget duit. Apa Aku terima aja ya tawaran Pak Rektor. Enggak ada salahnya juga ini,’ Kegalauan mulai merasuki diri Nuri lagi. Ia bingung dengan pilihan-pilihan yang dihadapinya saat ini.

“Hei, kok malah melamun? Kalau memang Kamu enggak mau, ya Saya enggak memaksa. Daripada jadi beban,”

“E..enggak kok, Pak! Saya hanya sedikit berpikir aja. Kalau memang Bapak mempercayakan hal ini sama Saya, ya baiklah. Lagipula ‘kan Bapak juga sudah baik pada Saya. Memberi Saya beasiswa secara penuh di kampus yang super elit seperti ini,” jawab Nuri dengan sedikit menyunggingkan senyum segannya.

“Itu ‘kan memang sudah menjadi hak Kamu. Kamu mendapatkan beasiswa bukan karena cuma-cuma, tetapi memang kemampuan Kamu yang mengharuskan Kamu berada di sini. Jadi, sudah deal ‘kan? Kamu benar-benar mau mengajar Erlando? tanya Pak Rektor untuk terakhir kalinya.

“Erlando?” tanya balik Nuri dengan wajah super polosnya(baca:bodoh).

“Iya, Erlando. Anak Saya namanya Erlando Yudishtira. Nanti Saya kenalkan ke Kamu ya,” jelas Pak Rektor.

“Oh, anak Bapak toh! Baik, Pak. Saya mulai mengajarnya kapan? Biar Saya cocokkan jadwalnya dengan jadwal kuliah Saya,

“Kamu kuliah pagi terus, kan? Kalau begitu setiap malam aja Kamu ke rumah Saya. Nanti Saya akan menyuruh supir Saya untuk jemput Kamu,”

“Hah? Supir? Enggak usah, Pak. Nanti merepotkan. Biar Saya sendiri aja yang ke rumah Bapak,” tolak Nuri dengan penuh penghormatan.

“Enggak apa kok. Kan Saya yang minta Kamu. Saya juga yang harus bertanggung jawab penuh sama Kamu. Nanti kalau saya tiba-tiba digugat sama bapak Kamu kan enggak lucu,” kata Pak Rektor dengan sedikit menggoda Nuri.

“Hee... Bapak bisa aja. Emang iya sih. Saya juga harus setengah mati cari alasan untuk ke luar malam. Terima kasih banyak ya, Pak. Insya Allah Abah saya mengizinkan,” Nuri sedikit bergurau dengan Pak Rektor.

~*~*~

Setelah lama berbincang, Nuri pun bergegas kembali pada kegiatannya. Sambil menuju ke halaman kampus, Nuri terus-menerus menghembuskan napasnya pertanda kesukaran telah datang melanda hidupnya. Lama menelusuri lorong-lorong kelas, akhirnya sampai juga ia di halaman kampus yang menjadi sumber inspirasinya. Ia pun duduk bersantai sambil menyiapkan peralatan gambar seperti biasanya ia lakukan jika tidak ada kuliah.

Masih dengan perasaan galaunya, Nuri hanya melihat kertas putih di hadapannya tanpa berbuat apa pun. Masih termenung rupanya ia. Lalu, ia dikejutkan oleh hal yang tidak terduga. Lamunannya seakan hilang digantikan ketidakpercayaan untuk ke sekian kalinya. Rupanya Raihan sang pujaan hatinya sedang menuju ke arahnya.  Mata yang sejak tadi hanya melihat kertas putih di hadapannya, sekarang berbalik melihat Raihan yang memang sedang menghampirinya.

“Assalamualaikum…” sapa Raihan yang telah tiba dan terduduk di samping Nuri, tetapi agak berjauhan.

“Wa..wa’alaikum salam… Rai..han..” dengan gugup Nuri membalas salam sang pujaan hatinya itu.

(tersenyum menatap Nuri). Santai aja. Masih aja gugup. Ngomong-ngomong lagi ngapain nih? Ngelamun sendirian,” tanya Raihan berusaha membuka perbincangan.

“Eh..Oh..ini lagi mau bikin sketsa. Hee..biasa lah. Iseng-iseng aja,” Nuri menjawab dengan malu-malu sambil menyunggingkan senyuman garingnya.

“Oh, Kamu bikin sketsa juga toh. Wah, keren dong!” Raihan yang terkejut seakan mengagumi bakat Nuri.

“Ah, biasa aja. Cuma hobi doang.Abis daripada ngelamun enggak jelas, mendingan aja gitu kalau ada kegiatan mah,”

“Iya sih. Tapi, Aku liat kertas Kamu masih putih-putih aja tuh. Kamu cuma mandangin kertas Kamu dari tadi tahu,” heran Raihan sambil memandangi kertas putih Nuri.

“Ah, iya… itu… ehhhh…” Nuri yang canggung hanya dapat menggakrukkan kepalannya yang tidak gatal.

“Kok eh’, sih? Kamu ada masalah pasti ‘kan?”

“Enggak kok. Be..beneran deh,” jawab Nuri sambil tersenyum berusaha menyembunyikan sesuatu pada Raihan. Dia tidak ingin bercerita apa-apa pada sang pujaan hatinya itu karena ia tidak ingin merepotkan Raihan.

“Aku emang biasa gitu kok. Mikir dulu kalau mau ngegambar. Jadi kaya keliatan ngelamun deh. Maaf ya,” lanjut Nuri sebelum Raihan mengatakan sesuatu.

“Oh. Lha, kenapa minta maaf? Santai aja kali. Kayanya seneng deh kalau bisa digambarin juga. Hihihi…” Ucapan Raihan membuat Nuri terbengong-bengong. Seakan-akan Raihan memintanya secara tidak langsung untuk membuatkan sketsa wajahnya. Bagaimana tidak, padahal selama ini memang selalu dirinya lah yang menjadi sketsa di dalam kertas-kertas gambarnya selain dari tokoh-tokoh animasi Jepang kesukaannya.

“Nur.. Nur.. Yah, dia ngelamun lagi. Seneng banget ngelamun ya? Atau terlalu terpesona melihat Muhammad Raihan ini? Hahaha…” Raihan mencoba membuat suasana yang santai dengan melontarkan ke’narsis’annya.

“(sadar dari lamunannya). Oh, enggak kok. Ya, kalau Raihan mau sih Insya Allah nanti Aku bikinin. Tapi, risiko ditanggung sendiri ya. Soalnya Aku juga masih amatir,” jawab Nuri yang masih saja malu-malu untuk menatap wajah Raihan secara langsung.

“Seriusan boleh nih! Mau Nur, mau banget. Ah, Aku mah percaya aja kalau Nuri yang buat mah pasti bagus, meskipun emang Aku belum liat juga sih. Tapi, beneran ya mau bikinin?”

“I.. iya. Insya Allah ya,”

“Yes. Yaudah kalau gitu Aku tunggu lho, ya. (melihat jam tangannya). Masya Allah… Aku lupa ada make up class. Nur, maaf ya ditinggal dulu. Lupa banget nih,” pamit Raihan sambil menyunggingkan sedikit senyumnya.

“I…iya silakan,” Nuri yang masih saja gugup membalas kata-kata Raihan. Lalu, Raihan pun pergi begitu saja. Namun, sejenak ia menghentikan langkahnya dan menatap Nuri kembali.

“Lupa, Nur. Hehehe… Tukeran nomor hp boleh enggak? Biar enakkan gitu. Kalau boleh sih itu juga,” Raihan pun malu-malu ketika meminta nomor Nuri. Mungkin ia mulai tertarik dengan pribadi Nuri yang polos.

“Hah? Nomor hp? Se…serius?”

“Serius? (menatap Nuri heran). Ya, serius lah, Nur. Kan tadi Aku bilang ya kalau emang enggak boleh enggak apa-apa,” Raut wajah Raihan berubah seperti menunjukkan kekecewaan.

“Bukan gitu. I… iya deh. Nih, simpen aja duluan nomormu. Nanti biar Aku sms aja,” kata Nuri sambil menyerahkan handphone-nya. Seketika Raihan tertawa melihat tingkah Nuri yang lucu. Ia sangat senang menggodanya karena Nuri begitu polos dan selalu gugup jika dekat-dekat dengannya. Namun, memang saat itu Raihan pun belum menyadari Nuri seperti itu sebenarnya karena suka padanya.

“Hahaha.... Beneran lucu ya Kamu. (mengambil hp Nuri dan memasukkan nomor hp-nya). Nih. (menyerahkan kembali hp-nya pada Nuri). Tapi, bener ya jangan lupa sms balik. Aku bakal marah kalau enggak ada sms  dari Kamu,” ancam Raihan sambil menyunggingkan senyumannya.

“In… sya Allah ya, Rai,”

“Ok.Kalau gitu Aku kelas dulu, ya! Sampai ketemu nanti. Assalamu’alaikum,” Raihan pergi sambil melambaikan tangannya ke arah Nuri.

“Iya, wa’alaikum salam..”Nuri yang melihat Raihan yang semakin menjauh darinya hanya tersenyum-senyum tidak jelas karena begitu senangnya ia.

~*~*~*~

[1]Ungkapan dalam bahasa Jepang untuk menyatakan keterlambatan.

[2]Kenapa terlambat?

[3]Maaf, saya kena macet di jalan.

[4]Lagi? Ya, sudah. Cepatlah masuk, Nuri.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline