Lihat ke Halaman Asli

Menularkan Kebaikan di Kompasiana

Diperbarui: 26 Juni 2015   13:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kemarin tempat pijat di Santa 1, Kebayoran Baru penuh.  Lebih dari 50 orang pijat sekaligus, baik di ruang AC maupun yang non AC.  Beberapa orang malah ada yang rela menunggu.

"Ini rejeki kami pak, sehabis lebaran memang seperti ini", kata seorang pemijat yang tuna netra sejak umur3 tahun.

Pak Marno, umur 58 tahun, sudah memijat di Santa ini sejak tahun 1976.  Anaknya 2 orang sudah menikah semua.  Ia juga sudah punya cucu 4 orang.  Sekarang ia sudah tinggal berdua saja dengan istrinya yang juga tunanetra.  Tetapi ia tidak kesepian, beberapa keponakannya ikut di rumahnya.  Bahkan pak Marno juga ikut membiayai sekolah keponakan2nya.

Rumahnya di Depok timur, dibeli pak Marno sejak tahun 1981, rumah BTN itu dicicilnya selama 10 tahun, dengan cicilan per bulan hanya Rp 12.500,-

Menantu pak Marno sendiri sudah bekerja di perusahaan milik Jerman di Solo.  Perusahaan mebel kayu jati.  Kayu gelondongan jati disulap jadi furnitur mewah, sebelum diangkut ke Jerman dan negara2 Eropa lainnya.

Dengan bayaran dari hasil pijetannya, pak Marno sudah dapat membiayai 3 keponakannya.  Ia hanya menyekolahkan keponakannya hingga tingkat SMA atau STM, salah seorang keponakannya ada yang kuliah juga.  Sekarang 3 keponakannya itu sudah bekerja semua, ada yang sudah punya rumah sendiri juga.  Satu lagi keponakannya yang masih kelas 3 SMA sekarang masih ikut dengan keluarga pak Marno di Depok.

Istri pak Marno juga menjadi tukang pijat di Santa.  Panti pijat tunanetra ini sudah berdiri sejak tahun 1972, menampung para tunanetra yang mau mandiri.  Upah pijat yang 40.000 rupiah itu dibagi dua, separuh untuk pengelola dan separuhnya lagi untuk pemijat.  Kalau sedang ramai, seorang pemijat dapat meraup uang hingga 100 ribu rupiah.

Pelanggannya yang datang ke situ sangat beragam.  Menteri dan anggota DPR juga pesan tukang pijat ke situ.  Biasanya dipanggil ke rumahnya masing2.

Kemarin, di sebelah ruangan saya, entah seorang anggota DPR atau staf ahli anggota DPR, bicaranya teriak2, mungkin suara di seberang sana agak tidak jelas.  Isi telponnya, seorang anggota DPR komisi tujuh minta ditransfer uang sebesar 1,7 M.  Si penelpon diseberang sana tidak jelas, sehingga orang di sebelah ruangan saya itu terpaksa mengulangi, iya 1,7 Milyar katanya sambil teriak2.

Ironi kehidupan, saya baru dengar cerita pak Marno, si tukang pijet, dengan uang secukupnya ia dapat menyekolahkan keponakan2nya. Sementara itu, si anggota DPR komisi tujuh minta ditransfer uang sebesar 1,7 Milyar, katanya untuk membiayai sebuah organisasi.

"Tapi jangan dikirim ke rekening si anggota DPR ya, kirim ke staf ahlinya" kata si penelpon tadi.  Ngomongnya tetap saja mbengok2.  Mungkin dia tidak tahu kalau di sebelahnya ada kompasianer yang suka usil menulis apa saja yang didengar, dilihat dan dialaminya sendiri.

Menularkan kebaikan di Kompasiana, siapa tahu dapat sepotong jalan ke surga.  Hihihi....




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline