Lihat ke Halaman Asli

Karya Seni Tak Semata sebagai "Background" Foto Kekinian, Sayangku ....

Diperbarui: 30 Maret 2018   22:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Saya terbilang jarang mengunjungi galeri seni. Jika sedang ada event atau sedang butuh refreshing, saya akan pergi ke galeri seni. Mengagumi ide, identitas dan gagasan seseorang dari sebuah karya cukup untuk menyegarkan kembali dan mengisi memori untuk otak sebelah kanan saya. Saya senang berkunjung ke galeri seni bersama teman.

Saya selalu mengajak teman yang berbeda jika berkunjung ke galeri seni. Selain melihat karya yang ada di sana, saya juga mengamati teman saya, seberapa tertariknya mereka melihat sebuah seni. Saya tak pernah mengajak teman yang sama sekali tak suka seni. Pernah saya mengajak teman yang salah. Sampai di tempat dia hanya kebingungan, kebosanan, dan buru-buru mengajak pergi ke tempat lain. Sayang di ongkos dan tiket masuk bukan? Pffft.

Semakin hari galeri seni semakin ramai pengunjung, di mana menurut saya pengunjung tersebut terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah mereka yang ingin refreshing sembari mengamati dan belajar. Dari hasil pengamatan saya, waktu pergerakan kaki mereka untuk berpindah dari satu karya ke karya lain cukup lama karena mereka mengamati detail dan materi suatu karya. Badan mereka agak membungkuk dan tangan yang gatal untuk menyentuh karya namun patuh pada peraturan bahwa pengunjung dilarang menyentuh karya. Hal terakhir yang dilakukan adalah mengeluarkan kamera atau smartphone untuk mengabadikan karya yang mereka kagumi.

Kelompok kedua adalah mereka yang membawa seperangkat perlatan foto ataupun smartphone dengan front camera mumpuni dan tak lupa memakai model baju yang pas untuk ber-OOTD. Karya yang aesthetic nan instagramable cocok bagi mereka. Buru-buru mengeluarkan kamera atau smartphone andalan untuk segera menekan tombol shutter untuk mengabadikan diri sebagai fokus utama dan karya sebagai background. Jadilah bahan unggahan ke media sosial kesayangan. Saya amat menyayangkan mereka yang masuk ke kelompok dua. Sejujurnya saya pernah masuk ke kelompok dua sih, namun saya sudah insyaf kok. Hehe. 

Pernah saya ke galeri seni di daerah Kota Lama Semarang. Saya berbincang dengan satpam yang ada disana. Dan lalu satpam tersebut merangkap sebagai guide gratis bagi saya dan teman saya. Satpam tersebut menjelaskan karya-karya yang terpajang di sana. Sembari melihat-lihat karya, perhatian saya tertuju pada pintu yang terbuka namun ditutup dengan boks kayu besar, padahal terlihat jelas masih ada karya yang berada di dalamnya. Karya di dalamnya sebagian besar berisi patung. Penasaran saya pun bertanya pada satpam tersebut. Dia menjelaskan bahwa lorong gelap tersebut sering digunakan muda-mudi untuk bercumbu dan bermesraan. Dih parah! Pernah suatu ketika patung yang terpajang di sana tersenggol dan kemudian jatuh. Sungguh disayangkan. Dahulu saat awal museum berdiri lukisan yang tepajang belum dilengkapi pengaman berupa besi melintang sebagai pemberi jarak antara pengunjung dengan lukisan. Pengunjung yang masih awam menyentuh lukisan hingga cat sedikit rusak. Sungguh sangat disayangkan.

Galeri seni mempunyai banyak fungsi. Di antaranya ruang pajang karya, sebagai mesin ekonomi, sarana pendidikan, ruang sosial dan ruang ekspresi. Namun semakin berjalannya waktu fungsi bertambah sebagai studio foto. Ya, banyak di antaranya pengunjung yang pergi ke galeri seni hanya untuk berswafoto untuk diunggahnya ke media sosial. Saya masih memaklumi mereka yang berswafoto namun masih mengikuti aturan yang berlaku dan masih pada batas kesopanan. Dan saya tak habis pikir pada mereka yang "sembrono" terhadap karya bahkan sampai merusak ya walaupun tak disengaja.

Contoh insiden yang masih segar adalah seorang wanita yang merusak karya seni seharga Rp 2,66 miliar akibat berswafoto di galeri seni. Wanita tersebut terekam kamera pengawas yang ada di ruangan. Awalnya terlihat seorang wanita berpakaian hitam sedang memotret objek berbentuk mahkota yang diletakkan berderet di atas kotak tumpuan. Objek tersebut merupakan karya instalasi berjudul Hypercanine, hasil kolaborasi antara Birch, Gabriel Chan, Jacob Blitzer serta Gloria Yu. Bahan pembuatnya bervariasi mulai dari kayu, nilon, logam bekas hingga emas dan pualam.

Wanita berpakaian tersebut memotret lalu mundur. Sementara itu tampak wanita lain tampak memakai baju krem, bergerak mendekat ke arah tumpuan mahkota tersebut. Wanita berbaju krem ini kemudian duduk dan bersandar pada salah satu penumpu Hypercanine. Seketika tumpuan tersebut ambruk dan menimpa tumpuan lain yang disusun berderet, mirip dekat kartu domino yang jatuh beruntun.

Insiden lain terjadi di Museum Hirshhron di Washington DC, Amerika Serikat. Insiden tersebut berupa rusaknya patung labu hasil karya seniman Yayoi Kusama yang dilaporkan rusak karena pengunjung yang berswafoto. Harga patung tersebut ditaksir mencapai Rp 10 miliar.

Galeri seni merupakan wadah untuk sharing gagasan dan ide berupa karya dari artis ke penikmatnya yang tentu mahal harganya. Peraturan yang ada harus kita patuhi tak semata-mata untuk menjaga sebuah karya namun juga menghormati karya yang ada disana. Tulisan ini terlihat seperti saya "mendewakan" karya seni, namun sebenarnya tidak kok. Saya hanya merasa tergelitik melihat pengunjung yang menggunakan galeri seni sebagai studio foto karena tuntutan eksis media sosial. Kegiatan oversharing dan sembrono tentu berdampak buruk bagi diri sendiri dan orang lain. Apalagi jika sampai merusak dan harus ganti rugi, sedi banget akutuuu!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline