Brada Richard Eliezer Pudihang Lumiu bukan anakku. Tetapi naluri keibuan ini menjerit usai JPU membacakan tuntutan baginya 12 tahun penjara, atas keterlibatannya dalam pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat.
Seluruh persendian saya lunglai. Ingin rasanya berpuasa nonton berita di televisi. Sebab, dua hari terakhir, bahkan sampai hari ke 3 ini, berbagai saluran televisi mewartanya berulang-ulang.
Kenyataan tak sesuai harapan
Dari awal saya, mungkin juga kita semua haqqul yakin, bahwa Richard Eliezer akan dituntut hukuman lebih ringan daripada 3 tersangka lainnya. Yaitu, PC, RE, dan KM. Masing-masing mereka cuman didakwa 8 tahun. Kecuali Ferdi Sambo yang desebut sebagai otak pembunuhan dituntut seumur hidup.
Ekspektasi tersebut bukan tanpa alasan. Richard Eliezer dengan statusnya sebagai JC telah berkontribusi besar dalam membongkar kasus yang merenggut nyawa Brigadir Yosua. Pekerjaan hakim dan Jaksa menjadi mudah, masalahnya terang-benderang.
Dia sopan dalam persidangan, menjawab pertanyaan apa adanya. Beda dengan 4 terdakwa lainnya, banyak keterangan mereka dinilai berbelit-belit.
Selain itu, beberapa pakar hukum kriminal, ahli forinsik, dan entah ahli-ahli apa lagi namanya, sering bernarasi optimis. Berdasarkan pasal-pasal yeng mereka hafal luar kepala, Eliezer dapat dihukum ringan. Bahkan ada yang mempediksi bisa bebas dari segala tuntutan. Sebab, dia membunuh Yosua karena perintah atasannya FS. Bukan kehendaknya sendiri.
Oleh sebab itu, munurut saya orang awam ini, sudah selayaknya Eliezer mendapat reword dari negara. Namun, kenyataan berkata lain.
Kasian. Tak terbayang sedih dan kecewanya Richard Eliezer. Saya saja sebagai penonton sempat meneteskan air mata melihat dia menangis, setelah tuntutan 12 tahun penjara itu diberikan padanya.
Duh ..., kok saya yang nyesak dan baper, ya. Padahal dia bukan anakku. Hanya terlanjur simpati atas keberaniannya berkata jujur, sopan, muda masa depannya masih panjang, dan ganteng pula.